Dari Seruyan Meniti Jalan Pasar Global Sawit Berkelanjutan
Industri sawit masih jadi lokomotif ekonomi perdesaan dan salah satu penopang utama ekonomi nasional. Karena itu, sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan dengan pendekatan yurisdiksi diakselerasi.
Industri sawit masih jadi lokomotif ekonomi perdesaan dan salah satu penopang utama ekonomi nasional. Karena itu, sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan dengan pendekatan yurisdiksi diakselerasi guna menjawab persoalan lingkungan, sosial, dan tantangan perdagangan global.
Salah satu isu perdagangan global yang mengemuka saat ini, regulasi komoditas bebas deforestasi (European Union Deforestation-Free Regulation) atau EUDR. Kebijakan yang berlaku sejak Juni 2023 itu mensyaratkan penjualan produk sawit harus melewati uji tuntas guna memastikan tak berasal dari lahan hasil penggundulan, pembakaran, maupun perambahan hutan.
Ikhtiar yang sudah dilakukan antara lain, mendorong sertifikasi sawit berkelanjutan berdasarkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) ataupun Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, sertifikasi dengan pendekatan konvensional yang saat ini berjalan, dinilai kurang efektif dan efisien, baik dari segi proses maupun biayanya.
Pendekatan ini berbasis perusahaan dan petani swadaya sebagai penerima sertifikat sekaligus pihak yang bertanggung jawab. Proses pengurusan sertifikat dilakukan pemohon dan biayanya ditanggung sendiri oleh penerima manfaat.
Baca Juga: Menyelamatkan Industri Sawit Nasional-dan Peta Jalan hingga-2045
Agar lebih efektif dan efisien, saat ini tengah dikembangkan konsep sertifikasi berkelanjutan dengan pendekatan yurisdiksi atau kewilayahan (Jurisdiction Approach/JA) sejak 2015. Proyek percontohan sertifikasi JA ini ada Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Negara Bagian Sabah Malaysia dan Ekuador.
Buruh sawit sedang memanen di salah satu perusahaan sawit di Kabupaten Seruyan pada akhir tahun 2019.
Kabupaten Seruyan merupakan salah satu produsen sawit di Indonesia, tetapi bukan yang terbesar. Produksi sawitnya hanya 62.310 ton pada 2020, jauh dibandingkan dengan Kabupaten Rokan Hulu, Riau yang produksinya mencapai 690.942 ton tahun 2021.
Akan tetapi, komoditas sawit ini menjadi penopang utama ekonomi Seruyan selain komoditas kayu bulat. Adapun kontributor pertumbuhan ekonomi terbesar kedua adalah industri pengolahan dengan komoditas utama sawit dan kayu bulat. Artinya, sawit beserta produk hasil olahannya tetap menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat di kabupaten yang lahir pada tahun 2002 ini.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan Albidinnor mengatakan sawit menggerakkan ekonomi dari desa hingga kota karena memiliki efek ganda yang jauh lebih besar dibandingkan komoditas kayu bulat. Hal itu karena sawit membuka mata rantai usaha lainnya seperti penyuplai bahan kebutuhan pokok, pupuk, benih, tenaga kerja, dan alat produksi pertanian.
”Karena itu, penting sekali menjaga keberlangsungan usaha perkebunan sawit. Ada tiga jenis perkebunan sawit, yakni yang dikelola oleh petani swadaya, petani plasma, dan perusahaan. Total ada 32 perusahaan sawit yang beroperasi saat ini,” ujar Albidinnor, Senin (28/8/2023) di Bali.
Baca Juga: Masalah Kerja Layak Belum Tuntas Buruh Pengusaha Dan Pemerintah Perlu Dialog Sosial
Albidin berada di Bali untuk menghadiri acara Working Grup (kelompok kerja) RSPO. Hal itu menjadi bagian dari ikhtiar mempercepat implementasi sertifikasi RSPO berbasis JA. Sebab, menurut dia, upaya menjaga keberlangsungan sawit bukanlah perkara mudah.
Di tataran hulu, konflik antara masyarakat atau petani kecil dengan perusahaan sawit kerap terjadi. Pemicunya masalah legalitas lahan garapan. Sesuai ketentuan perundangan, perusahaan sawit wajib memberikan 20 persen lahannya untuk kebun masyarakat atau petani swadaya. Namun, tidak banyak perusahaan yang mengimplementasikannya.
Adapun jumlah petani swadaya saat ini mencapai 20.000 orang, tetapi yang terdata oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sekitar 15.000 orang. Luas lahan garapan mereka beragam, rata-rata sekitar 1-2 ha per petani. Lokasi lahan garapan itu terpencar-pencar bahkan kerap beririsan dengan lahan konsesi dan hutan konservasi.
Untuk memberdayakan petani swadaya, Pemkab Seruyan bekerja sama dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), salah satunya Kaleka. Adapun guna mengakselerasi sertifikasi yurisdiksi, sejumlah upaya strategis telah dilakukan.
Salah satunya mendata jumlah petani, luas lahan yang digarap, dan sebarannya. Data itu penting untuk memetakan wilayah perkebunan sawit secara menyeluruh, baik yang dikelola petani swadaya, petani plasma, maupun perusahaan.
Pemkab Seruyan juga telah merampungkan regulasi berupa peraturan bupati tentang pendataan konflik usaha perkebunan di tingkat desa serta peraturan daerah tentang perkebunan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial.
infografik Rata-rata Harga TBS Sawit di Petani
Albidinnor mengatakan, bagi Seruyan, pengelolaan sawit secara berkelanjutan tidak hanya penting untuk menjaga bentang alam dan keberlangsungan usaha. Hal itu juga berimplikasi pada kepastian produk sawitnya bisa diterima di pasar global sehingga mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi petani.
Chairman Kaleka, Bernadius Steni Sugiarto mengatakan tantangan terbesar sertifikasi berkelanjutan adalah ketidakjelasan legalitas lahan garapan karena bersinggungan dengan kawasan hutan dan kawasan kebun yang dikelola perusahaan sawit. Karena itulah, perlu kolaborasi dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Pertanian.
”Selain itu, sumber daya petani perlu ditingkatkan agar lebih banyak yang tergabung dalam organisasi petani. Hal itu berdampak pada akses terhadap program-program pemerintah seperti pinjaman modal budidaya dan bantuan lainnya,” kata Steni.
Berdasarkan data Kaleka, total penerima sertifikasi RSPO di Seruyan 624 petani dan 619 lainnya masih proses pengurusan, dari total sekitar 20.000 petani sawit swadaya. Jumlah itu sangat kecil dan butuh waktu lama untuk menuntaskannya melalui pendekatan konvensional.
Dia optimistis, sertifikasi yurisdiksi bisa memangkas proses pengurusan karena dilakukan secara kolektif. Selain itu, meringankan beban petani karena biaya sertifikasinya berpeluang ditanggung bersama oleh perusahaan sawit dan pemerintah daerah setempat.
Permasalahannya, RSPO belum menerima pendekatan yurisdiksi (JA) sebagai salah satu sistem sertifikasi sawit berkelanjutan. Chief Executive Officer (CEO) RSPO Joseph D'Cruz mengatakan sertifikasi perkebunan sawit sebenarnya menguntungkan, terutama bagi petani swadaya karena membuka peluang masuk pasar global dan memasarkan produknya dengan harga yang lebih kompetitif.
Namun, sertifikasi bukanlah barang murah, karena prosesnya yang memang tidak mudah. Karena itulah, sertifikasi yurisdiksi digadang-gadang sebagai solusinya. Akan tetapi, tantangannya cukup banyak karena sertifikasi yurisdiksi melibatkan banyak pihak di wilayah tersebut mulai petani swadaya, organisasi petani, perusahaan perkebunan, perusahaan pengolah sawit, LSM, dan pemerintah.
”Yang juga harus dipikirkan, kalau di dalam satu yurisdiksi terdapat satu pelanggaran, jadi itu menjadi obligasi (tanggung jawab) siapa,” kata Joseph di Bali, Rabu (29/8/2023).
Pihaknya masih terus mengkaji proyek percontohan penerapan sertifikasi yurisdiksi di Indonesia, Malaysia, dan Ekuador. Hasil kajian itu menjadi kerangka acuan dalam menyusun standar sertifikasi yurisdiksi yang bisa diterapkan di seluruh anggota RSPO yang tersebar di berbagai negara.
Bagi Seruyan, pengelolaan sawit secara berkelanjutan tidak hanya penting untuk menjaga bentang alam dan keberlangsungan usaha. Hal itu juga berimplikasi pada kepastian produk sawitnya bisa diterima di pasar global sehingga mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi petani.
Joseph menambahkan, sejatinya, implementasi sertifikasi yurisdiksi di tiga lokasi percontohan itu berbeda-beda. Salah satunya, perbedaan level pemerintah yang terlibat. Di Seruyan, misalnya, entitas pemohon sertifikasi yurisdiksi melibatkan pemerintah kabupaten. Sementara di Sabah, melibatkan pemerintah negara bagian. Adapun di Ekuador, melibatkan pemerintah pusat.
”(Namun), dengan adanya proyek percontohan di tiga lokasi ini bisa menunjukkan, sertifikasi ini valid, bisa digunakan, jadi bisa diterapkan di tempat lain. Jadi kita mau belajar kepada yang sudah melaksanakan sertifikasi ini bagaimana kita bisa standardisasi dan memastikan sistem dan prosesnya bisa didukung oleh RSPO,” papar Joseph.
Dia mengakui, proses menuju sertifikasi yurisdiksi masih panjang karena banyak hal yang harus dibahas sebelum diumumkan ke seluruh anggota RSPO. Namun, dia optimis akan ada jalan keluarnya untuk mengatasi tantangan tersebut.
Nah, Seruyan bisa jadi hanya sentra kecil perkebunan sawit di Tanah Air. Namun, dengan kolaborasi yang kuat dari berbagai pihak, daerah ini bisa berkontribusi besar dalam membangun peta jalan menuju pasar global sawit berkelanjutan yang mampu memberikan nilai tambah bagi petaninya.
Baca Juga: Sawit Berkelanjutan