Insiden Pembubaran Ibadah Umat Kristen di Padang Disayangkan
Belasan jemaat Kristen di Kota Padang, Sumatera Barat, diduga mengalami insiden pembubaran dan pengancaman saat mengadakan kebaktian di sebuah rumah kontrakan. Kejadian itu dinilai melanggar hak kebebasan beragama.
PADANG, KOMPAS — Berbagai pihak menyayangkan insiden pembubaran doa bersama belasan jemaat Kristen di Kota Padang, Sumatera Barat, di sebuah rumah kontrakan. Kejadian itu dinilai melanggar hak kebebasan beragama. Namun, polisi dan pemerintah setempat menilai kasus ini hanya perselisihan antartetangga, bukan pelarangan ibadah.
Ketua Tim Pembela Hukum Masyarakat Yutiasa Fakho, penasihat hukum Juni Anton Zai (26), penghuni kontrakan sekaligus korban, Jumat (1/9/2023), mengatakan, pihaknya telah menemui Kepala Polresta Padang pada Jumat. Timnya menemukan adanya tindak pidana pada kejadian Selasa malam itu, antara lain pengancaman dengan senjata tajam, perusakan, penggunaan senjata tajam, dan pelanggaran HAM.
”Kami meminta polisi melakukan proses hukum sesuai fakta dan bukti yang ada,” katanya.
Adapun Juni telah melaporkan insiden pada Selasa (29/8/2023) malam tersebut ke Polresta Padang beberapa jam usai kejadian. Selain pembubaran ibadah, Juni juga melaporkan tindak perusakan rumah dan ancaman pembunuhan serta kekerasan oleh para pelaku kepada jemaat.
Video insiden pembubaran dan pengancaman kegiatan kebaktian yang diadakan jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Solagracia Kampung Nias 3 Kota Padang itu viral di media sosial. Salah satu potongan video berdurasi 4 menit 22 detik di akun Instagram @matarakyat_sumbar yang diunggah dua hari lalu menampilkan perdebatan antara keluarga pemilik rumah dan jemaat yang mengikuti kebaktian.
Seorang perempuan yang mengaku keluarga pemilik rumah keberatan dengan kegiatan jemaat karena tidak diberitahukan kepadanya. Seorang pria berambut pendek (suami perempuan itu) menjelaskan, rumah itu rumah tua, rumah keluarga besar, yang dikontrakkan anggota keluarga lainnya, sehingga mereka juga berhak tahu kegiatan itu. Semestinya kegiatan itu mendapat konfirmasi dari RT, RW, dan warga sekitar.
Baca juga: PGI Sesalkan Penghentian Ibadah Jemaat GMS di Deli Serdang
Ibadah bergiliran
Juni menjelaskan, peristiwa tersebut terjadi di rumah yang ia kontrak di Jalan Raya Banuaran, Kelurahan Banuaran Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, pada Selasa (29/8) malam sekitar pukul 20.30. Saat kejadian, Juni bersama belasan jemaat lainnya sedang ibadah. Jemaat mulai berkumpul di rumahnya pukul 19.00, sedangkan ibadah dimulai pukul 20.10. Ibadah dimulai dengan berdoa, kemudian mengangkat pujian dan membawakan lagu.
”Setelah itu, kami sudah mulai ibadah. Saya mendengar suara ibu (perempuan dalam video) itu dari belakang rumah kami. Dia sambil berteriak datang ke rumah kami, sambil memecahkan kaca jendela kami. Kami terkejut, anak bayi saya dan anak-anak terkejut. Ibu itu berteriak-teriak sambil ia membatalkan ibadah kami,” kata Juni ketika dijumpai di Padang, Kamis (31/8/2023).
Mendengar keributan itu, Juni bersama pendeta dan jemaat lain keluar untuk menemui perempuan bernama Liza itu. Liza mempertanyakan kenapa ada ibadah umat Kristen di rumah itu. Perempuan itu merasa terganggu dengan kegiatan tersebut, terutama soal lagu yang dimainkan.
”Saya belum tentu suka lagu yang kamu putar, lagu yang saya gak tentu suka,” kata Juni menirukan perkataan Liza.
Baca juga: Tantangan Menjaga Toleransi
Suami Liza, pria berambut pendek di video, kata Juni, datang menyusul. Sang suami turut menjelaskan, rumah tua itu bukan tempat ibadah. Jemaat berupaya menyelesaikan perselisihan ini secara baik-baik, tetapi pihak keluarga pemilik rumah mengancam.
”Ada adiknya (adik Liza) rambut panjang, namanya Dodo. Dia bawa parang, bikin kami takut. Katanya, mau digorok, sama artinya mau dibunuhnya kami. Kemudian, datang juga adiknya satu lagi, bawa kayu, memukul-mukulkan kayu, menyuruh bubar, ‘Kalau tidak bubar, kami bunuh kalian di sini’,” kata Juni.
Juni menjelaskan, ia menyewa rumah itu sejak 5 Juli 2023 seharga Rp 13,2 juta per tahun. Dalam transaksi tersebut, dia berurusan dengan pemilik rumah Yuliarnis yang berdomisili di Pekanbaru, Riau, bukan dengan Liza. Saat transaksi, Juni sudah menjelaskan, dirinya beragama Kristen, punya banyak teman organisasi, dan mengadakan ibadah di rumah secara bergantian.
”Ibu Yuli(-arnis) bilang, boleh dek, boleh beribadah. Setelah itu kami sepakat dengan catatan itu, dia tanda tangan. Sudah seperti itu, kami terima,” ujar Juni. Ia menambahkan, kegiatan ibadah di rumah secara bergiliran itu juga sudah mendapat persetujuan dari ketua RT.
Menurut Juni, saat pertama kali ia menempati rumah itu, ia tidak tahu ada Liza, anggota keluarga Yuliarnis, tinggal di belakang rumah yang masih dalam satu area itu. ”Saya baru tahu ada dia. Dalam dua bulan tinggal di sini, baru seminggu terakhir saya tahu bahwa ada dia di situ,” kata pria yang bekerja sebagai buruh harian lepas ini.
Juni melanjutkan, sejak dua bulan tinggal di rumah itu bersama istri, tiga anak, dan dua adik laki-laki, baru kali ini terjadi keributan. Sebelumnya sudah tiga kali ia menggelar ibadah dengan kelompok kecil di rumah itu. ”Walaupun saya berkaraoke pun, tidak ada larangan,” ujarnya.
Pascakejadian pembubaran ibadah dan pengancaman itu, Juni mengatakan tidak nyaman lagi tinggal di rumah itu. Ia berharap aparat mengusut kasus ini seadil-adilnya. ”Kalau mereka tidak mengizinkan kami mengontrak di situ, terpaksalah kembalikan uang kontrakan kami bulat-bulat,” ujarnya.
Pendeta Tani Ziduhu Hia, yang memimpin kebaktian malam itu, menjelaskan, kronologi serupa dengan apa yang disampaikan Juni Anton Zai. Pria yang diketahui sebagai suami Liza bahkan masuk ke ruangan ibadah dan mengatakan, ”Stop, berhenti ibadah, bubar.”
”Setelah dia katakan kata-kata larangan itu, dia keluar, kami ikuti ke luar untuk mempertanyakan. Namun, dia tidak mendengarkan semua yang hendak kami sampaikan. Seakan-akan, selalu dia bantah kami, ’Bubar, bubar, tidak boleh ada ibadah di sini’,” ujar Pendeta Hia.
Pendeta Hia menjelaskan, ibadah pada Selasa malam yang dibubarkan itu adalah ibadah akhir bulan. Lokasi kegiatannya bergiliran dan kebetulan akhir bulan ini Juni Anton Zai menjadi tuan rumah. Sebelumnya, rumah Juni tiga kali menggelar ibadah, tetapi dengan kelompok lebih kecil (5-9 orang) dan tidak dipimpin pendeta.
”Ibadah di rumah itu pendalaman Alkitab. Memberikan pemahaman-pemahaman sehingga jemaat bisa tanya jawab. Kalau khotbah di gereja, kan, tidak bisa tanya jawab, karena bentuknya ceramah. Kebaktian di rumah-rumah ini kami adakan supaya jemaat lebih mendalam dan memahami apa yang ada di Alkitabiah,” katanya.
Pendeta Hia menyayangkan insiden pembubaran dan pengancaman saat kebaktian ini. ”Harapan kami ke polisi supaya diselesaikan seadil-adilnya masalah ini. Harapan ke polisi agar tidak ada lagi intimidasi kepada korban. Korban ditekan. Katanya, ini masalah sepele, tidak perlu dibawa ke ranah hukum, tetapi dengan nada seakan-akan emosi dan marah,” ujarnya.
Kebebasan beragama
Ketua Pelita Padang Angelique Maria Cuaca, Kamis, menyayangkan tindakan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Apalagi, kejadian itu berujung pada tindakan kriminal.
”Pelarangan beribadah adalah tindakan yang mencederai hak asasi manusia. Setiap manusia itu apa pun etnik dan agamanya adalah setara dan semartabat, sudah seharusnya saling memberi ruang. Bukan sebaliknya malah meniadakannya kelompok yang berbeda,” kata Angelique.
Pelita Padang meminta pemangku kebijakan maupun aparatur negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan warga negaranya. Pemerintah kota sampai level terkecil, yakni tingkat RT dan RW, wajib memfasilitasi dan memastikan setiap warganya bisa mengekspresikan keagamaan mereka dengan aman dan nyaman.
Pemerintah kota sampai level terkecil, yakni tingkat RT dan RW, wajib memfasilitasi dan memastikan setiap warganya bisa mengekspresikan keagamaan mereka dengan aman dan nyaman.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga menyatakan mengecam keras tindakan anarkistis dalam pembubaran ibadah keluarga Kristen di Padang yang bahkan diduga mengarah kepada ancamana pembunuhan.
”Tindakan seperti ini sangat bertentangan dengan amanat konstitusi, serta menistakan nilai dan ajaran agama apa pun yang mengedepankan cinta, keadilan, dan kedamaian,” kata Pendeta Henrek Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, dalam siaran pers, Rabu (30/8/2023).
PGI meminta pihak kepolisian menindak tegas pelaku ancaman pembunuhan tersebut sehingga tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari dan memperluas keresahan di masyarakat. Upaya-upaya musyawarah dan dialog perlu tetap dijaga dan dikembangkan seiring dengan penegakan hukum terhadap tindakan-tindakan yang telah menyentuh ranah pidana terhadap kasus ini.
”Hendaknya mediasi yang dilakukan aparat keamanan dan muspida setempat tidaklah malah menekan korban yang justru menyebabkan korban mengalami intimidasi berlapis. PGI meminta umat Kristen untuk tetap tenang dan mengedepan proses hukum oleh aparat kepolisian,” kata Pendeta Henrek Lokra.
Baca juga : Warga AS Jadi Sorotan karena Protes soal ”Toa” Gereja di Manado
Rumah keluarga
Saat Kompas mengonfirmasi hal itu pada Liza, ia bersama adik-adiknya, Dodo dan Nova, berada di rumah, tetapi ia tidak mau berkomentar banyak terkait kasus itu. Kepolisian sektor setempat memintanya menahan diri.
”Polsek sedang melakukan mediasi,” katanya.
Rumah tempat pembubaran kebaktian dan rumah yang dihuni Liza berada di areal lahan yang sama. Di areal yang memiliki gerbang atau pintu masuk sama itu juga ada satu warung dan satu rumah lain yang dikontrakkan keluarga Liza ke orang lain.
Rumah yang dihuni Juni berada paling depan dekat jalan raya, sebelah kanan warung, sedangkan rumah Liza berada paling belakang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah Juni. Di antara rumah Juni dan Liza ada rumah yang dikontrak orang lain dan menempel dengan rumah Juni.
Terkait kepemilikan rumah, Liza menjelaskan, rumah yang dikontrak Juni merupakan rumah peninggalan nenek dan kakeknya dari pihak ibu. Sesuai adat Minangkabau yang matrilineal, Liza mengaku, dirinya juga punya hak dan wewenang terhadap rumah tersebut.
Soal sewa-menyewa rumah itu, katanya, memang dikelola Yuliarnis yang merupakan etek-nya atau adik dari almarhumah ibunya. Namun, penjagaan rumah tersebut diserahkan kepada keluarga Liza yang berada di kampung.
Terkait kejadian itu, kepolisian, pemerintah, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sepakat menyebut kejadian tersebut hanya perselisihan antartetangga, bukan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pihak-pihak tersebut sedang mengupayakan mediasi antara kedua belah pihak.
Mediasi
Kepala Seksi Humas Polresta Padang Inspektur Dua Yanti Devina mengatakan, yang terjadi di Kelurahan Banuaran Nan XX adalah kesalahpahaman antara dua belah pihak.
”Tidak ada kaitannya dengan pelarangan ibadah segala macam. Tidak ada. Itu hanya miskomunikasi antara kedua belah pihak,” katanya.
Kemudian, pelaku yang dilaporkan memberikan ancaman pembunuhan, kata Yanti, ternyata punya riwayat gangguan jiwa. ”Makanya di dalam video itu orang ketawa-ketawa saja. Masyarakat di situ tahu dia ada gangguan jiwa, pernah dirawat di rumah sakit jiwa dan memeriksakan diri secara rutin di salah satu rumah sakit,” ujar Yanti.
Terkait laporan Juni, Yanti menyebutkan, polisi sudah menindaklanjuti. Para saksi dan terduga pelaku sudah diperiksa. Terduga pelaku dipulangkan karena punya riwayat gangguan jiwa. Bhabinkantibmas, babinsa, pihak RT, dan kelurahan sudah memediasi kedua belah pihak.
”Kita lihat nanti tindak lanjutnya,” katanya.
Kepala Kantor Kesbangpol Kota Padang Tarmizi Ismail mengatakan hal senada. Intinya, persoalan itu adalah miskomunikasi antara kedua belah pihak. Pihak keluarga pemilik rumah tidak tahu apa kegiatan yang dilakukan penyewa, sebaliknya penyewa tidak mengerti pelaksanaan kegiatan yang bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban.
”Kejadian ini bukan penghentian ibadah atau konflik SARA. Ini adalah perselisihan paham, masalah sosial kemasyarakatan, karena adanya musik keras menggunakan kibor yang ada di sebuah rumah yang melaksanakan kegiatan itu antara waktu magrib dan isya. Ditegur. Puncak teguran itu mungkin kurang ditanggapi sehingga terjadilah cekcok seperti itu,” kata Tarmizi.
Menurut Tarmizi, FKUB Padang dan pihak terkait akan memediasi kedua belah pihak. Ia berharap ada titik temu sehingga permasalahan ini berakhir damai secara kekeluargaan.
Tarmizi melanjutkan, Padang adalah kota menjemuk yang terdiri atas beragam suku, ras, dan hampir semua agama yang diakui negara. Sejak dulu masyarakat hidup berdampingan, tidak melihat hal-hal mengganggu peribadatan agama orang lain. Ia berharap warga di Padang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat berada, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
”Kami berharap ini jadi pembelajaran agar kita saling menghargai dan menghormati ke depan karena memang kita hidup berdampingan bermasyarakat dengan suasana kota multietnis dan multiagama,” katanya.
Sementara itu, Ketua FKUB Padang Salmadanis mengatakan, persoalan yang terjadi di Kelurahan Banuaran Nan XX sesungguhnya tidak menjurus kepada aspek agama, tetapi kepada aspek perilaku sosial. Ia menyebutnya patologi sosial, yaitu mengganggu terlaksananya kegiatan dalam hal kepentingan umum yang menyebabkan ketidaksamaan pandangan.
”Akibatnya, dia sebagai orang yang menyewa rumah, dia melakukan kegiatan doa bersama di rumah itu. Ketika doa bersama itu, mungkin oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai sesuatu yang aneh, unik, tidak biasa, maka dianggap itu sebagai sebuah kegiatan rumah ibadah. Rumah ibadah itu, kan, ada aturannya,” katanya.
Di samping itu, Salmadanis juga menyinggung soal keluarga pemilik rumah yang komunikasinya tidak lancar. Orang yang menyewakan rumah tidak memberitahu keluarganya di kampung bahwa penyewa sudah minta izin beribadah di rumah itu. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara keluarga yang menjaga rumah dan penyewa rumah.
Salmadanis menambahkan, pihaknya sudah bertemu dengan para pendeta dari paguyuban gereja di Padang. Pihaknya berupaya memediasi dan melakukan pendekatan agar kedua belah pihak mencabut laporan ke polisi.
”Tadi itu sudah sepakat masalah ini diselesaikan secara musyawarah mufakat dan kembali ke jati negara kita yang damai dan nyaman serta toleran. Sepakat perjanjian perdamaian. Miskomunikasi saja. Paguyuban gereja sepakat. Tinggal mediasi dan mempertemukan kedua belah pihak kembali secara damai dan baik-baik,” katanya.