98 Dokter di Jayapura Mogok Layani Poliklinik, Pengurus Besar IDI Turun Tangan
Sebanyak 98 dokter spesialis dan subspesialis mogok melayani di poliklinik tiga rumah sakit di Jayapura karena pemotongan tunjangan. Ikatan Dokter Indonesia ikut turun tangan mencari solusi.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia turun tangan menemui perwakilan dari 98 dokter yang melakukan aksi mogok kerja di Kota Jayapura, Papua. Para dokter dari tiga rumah sakit itu mogok melayani di poliklinik sejak Kamis (31/8/2023) karena adanya pengurangan tunjangan tambahan penghasilan pegawai hingga 72,5 persen.
Dari pantauan Kompas, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi menemui perwakilan para dokter spesialis dan subspesialis yang melakukan aksi mogok kerja, Jumat (1/9/2023). Pertemuan berlangsung di ruang aula Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura mulai pukul 14.30 WIT.
Sebanyak 98 dokter spesialis dan subspesialis yang melakukan aksi mogok kerja itu berasal dari tiga rumah sakit pemerintah, yakni RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura.
Dalam pertemuan selama dua jam di RSUD Jayapura, hadiri sekitar 30 dokter yang melakukan mogok kerja. Mereka menyampaikan dampak dari pengurangan tunjangan tambahan penghasilan pegawai (TPP) hingga 72,5 persen oleh Pemerintah Provinsi Papua sejak bulan Januari hingga kini.
Selama delapan bulan terakhir, mayoritas dokter itu mendapatkan tunjangan TPP antara Rp 3,9 juta hingga Rp 7 juta per bulan sesuai kepangkatan sebagai pegawai negeri sipil. Padahal, pada tahun 2022, rata-rata mereka mendapatkan Rp 15 juta per bulan.
Adib mengatakan, permasalahan para dokter spesialis dan subspesialis di tiga rumah sakit itu telah menjadi perhatian di tingkat nasional. Dia pun meminta Pemprov Papua segera mengatasi masalah tersebut agar tidak berdampak pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
”Masalah kekurangan dokter spesialis dan subspesialis di daerah tak akan terselesaikan jika perhatian untuk mereka yang merupakan aset negara belum terpenuhi. Menurut kami, TPP bukanlah tuntutan para dokter untuk gaji, tetapi penghargaan bagi mereka dalam menjalankan profesinya,” kata Adib.
Adib menuturkan, IDI akan bertemu dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk mencari solusi terkait masalah yang dialami para dokter spesialis dan subspesialis di tiga rumah sakit itu. Melalui pertemuan itu, diharapkan pemerintah pusat menyiapkan solusi permanen agar masalah pembayaran TPP tidak terulang kembali.
Adib pun menilai, peraturan daerah yang dikeluarkan Pemprov Papua terkait pembayaran tunjangan TPP tidak sejalan dengan regulasi dari pusat, yakni Peraturan Menteri Kesehatan No HK 01.07/Menkes/545 Tahun 2019.
Menurut permenkes itu, dokter spesialis dan subspesialis yang bekerja di rumah sakit provinsi mendapatkan TPP senilai Rp 24 juta per bulan dan dokter spesialis serta subspesialis di rumah sakit rujukan regional mendapat TPP Rp 25,5 juta per bulan. Sementara itu, dokter spesialis serta subspesialis di rumah sakit pemerintah daerah lainnya memperoleh TPP Rp 27 juta per bulan.
”Diperlukan sebuah sistem yang mengatur pemenuhan hak tenaga medis dan paramedis. Karena itu, pusat harus menyiapkan sebuah regulasi terkait pemberian tunjangan bagi dokter yang sesuai haknya,” ujarnya.
Masalah kekurangan dokter spesialis dan subspesialis di daerah tak akan terselesaikan jika perhatian untuk mereka yang merupakan aset negara belum terpenuh.
Nickanor Wonatorey, salah satu dokter spesialis di RSUD Jayapura, mengatakan, para dokter hanya berhenti bertugas di ruang pelayanan poliklinik di tiga rumah sakit tersebut. Sementara itu, pelayanan dokter spesialis dan subspesialis untuk instalasi gawat darurat hingga pasien rawat inap tetap berjalan normal.
”Kami masih menunggu solusi dari Pemprov Papua hingga kini. Kami berharap regulasi Pemprov Papua yang mengurangi tunjangan TPP hingga 72,5 persen direvisi,” ucap Nickanor.
Beni Mofu, salah satu pengunjung di ruang layanan poliklinik RSUD Jayapura, menyebut, istrinya tidak bisa mendapatkan layanan dari dokter spesialis jantung karena masalah tersebut. Ia berharap para dokter kembali bertugas seperti biasa di ruang pelayanan poliklinik.
”Pemprov Papua jangan menutup mata atas kesejahteraan para dokter. Saya berharap masalah ini segera terselesaikan karena istri saya sedang menjalani pengobatan karena sakit jantung,” kata Beni.