Menguat Desakan Sanksi terhadap Guru Cukur Paksa Siswi di Lamongan
Desakan agar ada tindakan tegas terhadap EWP, guru SMP Negeri 1 Sukodadi, Lamongan, yang cukur paksa belasan siswinya, menguat karena merupakan tindakan intoleransi dan kekerasan terhadap anak.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Lamongan diharapkan menindak tegas guru SMP Negeri 1 Sukodadi, pencukur paksa belasan siswi karena tak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung. Sanksi tegas diperlukan karena tindakan guru berinisial EWP itu wujud intoleransi dan kekerasan terhadap anak.
Menurut Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak, Kamis (31/8/2023), perlu tindakan tegas terhadap guru EWP. Salah satu alasannya, tindakan guru EWP berdampak fisik dan psikis bagi 14 siswi kelas IX yang terkena cukur paksa. ”Harus ditindak tegas dan adil,” ujarnya.
Emil mengakui, provinsi tak berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan SMP. Namun, dalam konteks pemerintahan daerah, salah satu kewenangan provinsi ialah membina kabupaten/kota. Untuk itu, Lamongan diharapkan menerapkan kebijakan yang adil dan tegas, terutama pada pelanggaran penyelenggaraan pendidikan usia dini, dasar, dan menengah pertama.
Menurut Kepala SMP Negeri 1 Sukodadi Harto, kasus cukur paksa itu terjadi pada Rabu (23/8/2023). EWP adalah guru Bahasa Inggris yang hari itu menghukum para siswi yang tidak memakai ciput atau bagian dalam kerudung (jilbab). Dengan mesin cukur elektrik, EWP mengakibatkan botak sebagian pada kepala belasan siswinya.
Korban melapor ke orangtua dan wali yang selanjutnya mempersoalkan sanksi itu. Padahal, lanjut Harto, tidak ada kewajiban apalagi tertulis bagi siswi untuk mengenakan ciput. Sehari setelah kasus itu, diadakan mediasi antara sekolah dan orangtua atau wali. EWP dan sekolah memohon maaf lalu kasus dianggap selesai melalui musyawarah. EWP dilaporkan ke Dinas Pendidikan Lamongan.
Perlu ada tindakan hukum sebagai jalan keadilan bagi korban
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munir Syarif mengatakan, sejak Senin (28/8/2023), EWP terkena bebas tugas dari hak mengajar. Guru itu ditarik ke dinas untuk menjalani pembinaan sampai batas waktu belum ditentukan. Belum ada tindakan lanjutan yang lebih tegas terhadap EWP. ”Sedang dalam pembinaan,” ujarnya.
Untuk membantu pemulihan psikis siswi yang terkena cukur paksa, telah didatangkan psikolog dari Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP5A) Lamongan. Pendampingan psikolog diharapkan memulihkan trauma siswi korban cukur paksa. Selain itu, tetap memotivasi keluarga. Para siswi korban cukur paksa sudah masuk sekolah.
Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya Habibus Shalihin mengatakan, tindakan EWP telah memenuhi unsur kejahatan atau tindak pidana. Adapun yang dilanggar ialah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain itu, melanggar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah serta Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
”Perlu ada tindakan hukum sebagai jalan keadilan bagi korban,” kata Habibus. Kasus EWP dinilai delik biasa sehingga aparatur penegak hukum atau Polres Lamongan sepatutnya membuka penyelidikan tanpa menunggu pengaduan. Sejauh ini, belum ada pengaduan tertulis atau laporan kepada polisi dari keluarga siswi korban cukur paksa.
Secara terpisah, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lamongan Sugeng Widodo mengatakan, kasus di SMPN 1 Sukodadi itu menjadi atensi Bupati Yuhronur Efendi. Namun, bupati menyatakan, peristiwa itu sudah selesai di mana ada fasilitasi termasuk oleh tokoh agama di Lamongan. ”Gurunya (EWP) sudah meminta maaf dan dialihtugaskan,” katanya.