LBH Surabaya Dorong Proses Hukum Guru Cukur Paksa Siswi di Lamongan
Tindakan guru SMP di Lamongan yang mencukur paksa rambut belasan siswinya dinilai sebagai bentuk intoleransi dan kekerasan. LBH Surabaya mendorong guru itu diproses hukum.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tindakan seorang guru SMP Negeri 1 Sukodadi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang mencukur paksa rambut belasan siswinya, dinilai sebagai bentuk intoleransi dan kekerasan terhadap anak. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya pun mendorong agar guru itu diproses hukum karena perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur tindak pidana.
Tindakan mencukur paksa itu dilakukan seorang guru berinisial RR EWP terhadap 19 siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi, Rabu (23/8/2023). Perbuatan itu dilakukan karena belasan siswi tersebut tidak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung. Akibat kejadian itu, Dinas Pendidikan Lamongan telah membebastugaskan EWP dari tugas mengajar sampai waktu yang belum ditentukan.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai tindakan EWP telah memenuhi unsur tindak pidana. Perbuatan itu dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tindakan EWP juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah serta Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
”Kami mendesak Polri mengambil tindakan hukum tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban,” ujar Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya Habibus Shalihin, Rabu (30/8/2023).
Habibus menyebut, tindakan EWP merupakan delik biasa sehingga polisi dapat melakukan proses hukum tanpa perlu menunggu laporan dari masyarakat. Dia menambahkan, tindakan EWP itu diduga melanggar Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014.
Pasal itu menyatakan, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Kekerasan yang dimaksud itu ialah perbuatan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Menurut Habibus, ciput bagi siswi SMP pemakai jilbab bukan merupakan bagian dari seragam seperti diatur dalam Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022. Namun, EWP justru mencukur paksa rambut siswi yang tak memakai ciput. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat rasa tidak nyaman.
Selain itu, cukur paksa merupakan tindakan intoleransi yang melanggar Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. Sebab, EWP telah memaksa atau mengharuskan siswi mengenakan pakaian atau aksesori yang menurut regulasi tidak termasuk seragam sekolah.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munif Syarif mengatakan, sejak Senin (28/8/2023), EWP telah dibebastugaskan dari tugas mengajar. Dia menyebut, persoalan itu juga telah dimediasi oleh pihak sekolah dan telah selesai melalui musyawarah sehari setelah kejadian.
Sampai saat ini, kata Munif, belum ada orangtua atau wali siswi korban yang menempuh jalur hukum terkait persoalan tersebut. Dia menambahkan, Pemerintah Kabupaten Lamongan telah menugaskan psikolog untuk memberikan pendampingan kepada para siswi yang menjadi korban.
Setelah kejadian tersebut, Dinas Pendidikan Lamongan juga telah memanggil seluruh kepala SMP dan guru bimbingan konseling. Hal itu dilakukan untuk mencegah agar kejadian serupa tak berulang di masa depan.
Munif mengakui, tindakan EWP itu memang mengagetkan dan meninggalkan trauma bagi para siswi yang menjadi korban. Tindakan tersebut juga memunculkan polemik karena di SMP Negeri 1 Sukodadi tidak ada peraturan tertulis mengenai kewajiban memakai ciput.
”Tindakan guru itu salah dan dia telah ditarik untuk pembinaan,” ujarnya.
Kami mendesak Polri mengambil tindakan hukum tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban.