Masyarakat Dayak di Perbatasan Negeri Perjuangkan Perlindungan Anak
Kearifan lokal dalam bentuk peraturan desa berbasis peraturan adat Dayak di Kecamatan Sajingan Besar pun diharapkan segera hadir, agar menjadi dobrakan baru bagi perlindungan anak-anak Dayak di Kabupaten Sambas.
Isu terkait hak tumbuh kembang dan perlindungan anak masih mewarnai wilayah perbatasan negara di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Upaya untuk melindungi generasi masa depan bangsa di tapal batas itu, salah satunya dilakukan dengan membuat peraturan desa berbasis peraturan adat.
Awan sirus yang mengambang di langit biru menemani anak-anak yang bermain di halaman kompleks Pos Lintas Batas Negara atau PLBN Aruk, Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Beberapa bermain sepeda, yang lainnya asyik berinteraksi dengan kawannya. Mereka menikmati waktu hingga senja habis dilahap gelap.
Pos batas negara yang diperbaiki pemerintah pusat pada 2017 itu memiliki berbagai fasilitas umum, sosial, maupun komersil, yang bisa digunakan warga. Sistem pelayanan keimigrasian terintegrasi untuk menyaring pergerakan orang dan barang juga dihadirkan untuk meningkatkan keamanan di pintu masuk negara.
Namun demikian, Camat Sajingan Besar, Obertus, mengakui masyarakat di wilayah yang berbatasan dengan Negeri Jiran di sisi utara dan timur itu tetap rentan dengan pergerakan orang dan barang yang tidak sesuai prosedur, bahkan melanggar aturan.
"Perlintasan orang dan barang itu ada dampak negatifnya. Sering ditemukan di sini penangkapan narkoba dan lainnya. Belum lagi di perbatasan di kabupaten lain masih ada jalur tidak resmi. Pengaruh-pengaruh ini ada potensi ke anak-anak dan remaja di sini," ungkap pria berdarah Dayak Salako itu saat dijumpai di PLBN Aruk, Senin (28/8/2023).
Tidak sampai di situ, Obertus mengakui, hampir 5.000 warga usia anak, dari total 12.000 jiwa penduduk, di kecamatannya masih harus berhadapan dengan berbagai keterbatasan pembangunan dan sumber daya manusia.
Sebagai gambaran, menurut Badan Pusat Statistik 2022, kecamatan yang terdiri dari lima desa itu hanya memiliki 20 sekolah, dengan 14 di antaranya sekolah dasar. Setiap guru yang mengajar anak di sekolah-sekolah itu pun harus mendidik rata-rata 11 sampai 14 murid.
Realita ini turut mendukung angka rata-rata lama sekolah di Kabupaten Sambas tahun 2021 yang hanya sebesar 6,72 tahun. Artinya, rata-rata penduduk di Kabupaten Sambas tidak tamat pendidikan sekolah menengah pertama.
Baca juga: Anak-anak Sambas Berjibaku Menanggulangi Perkawinan Dini
Rendahnya kapasitas pendidikan ini turut memicu masalah sosial, termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Kabupaten Sambas, antara 2018-2021, terjadi tiga kasus kekerasan seksual pada anak.
"Data kekerasan seksual ini normatif. (Kasus) pasti ada, tetapi banyak orang tidak melaporkan," ujar Obertus.
Situasi itu membuat camat sejak Agustus 2021 itu menginisiasi pembentukan peraturan desa tentang perlindungan anak pada 2022. Ia mengajak keseluruhan lima kepala desa, warga, hingga pendamping swasta dari yayasan sosial kemasyarakatan Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk menghasilkan produk hukum tersebut.
Peraturan desa tentang perlindungan anak itu menjadi dasar pembangunan Desa Layak Anak, yang melindungi hak hidup anak sejak lahir hingga melewati usia anak, tanpa perlakuan diskriminatif.
Penyusunan peraturan desa itu diputuskan setelah dituangkannya aturan adat Dayak di wilayahnya dalam dokumen tertulis pada 2021. Aturan ini mengacu pada subsuku Dayak Salako dan Dayak Rara yang menjadi mayoritas penduduk di Sajingan Besar. Secara adat, mereka dikepalai Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan. Jabatan ini kini dipegang oleh Libertus, pensiunan tentara keturunan Dayak Salako.
Melestarikan adat
Ditemui di rumahnya di Desa Sanatab, Libertus mengatakan, penulisan aturan adat ini memindahkan aturan hukum Dayak di Sajingan Besar yang sudah turun temurun. Peraturan adat itu terdiri dari 10 bab, yang antara lain bab mengenai hukum adat yang bersifat pelanggaran, hukum adat kejahatan, hukum pertunangan dan perkawinan, sampai hukum waris.
Di antara peraturan adat yang telah dituliskan juga turut memuat aturan hak anak hingga hukuman untuk pelaku kekerasan anak. Sebagai contoh, dalam bab hukum pertunangan dan perkawinan, ada aturan mengenai status dan hak anak. Contoh lain, pelaku perzinahan pada anak, baik anak kandung atau tidak, dapat disanksi adat.
"Hukum adat Dayak juga punya aturan terkait perlindungan anak. Peraturan ini disebut rukun, rukun karunia. Rukun kemanusiaan dari lahir sampai meninggal itu udah ada peraturannya. Menyayangi, melindungi, termasuk mengamankan, menyelamatkan, di dalam satu rukun manusia," jelas pria 63 tahun tersebut.
Kendati demikian, dalam perjalanannya menuju era kini, masyarakat Dayak juga menghadapi beragam tantangan untuk menjalankan aturan nenek moyang mereka. Tantangan ini, dimulai ketika pemerintahan orde baru membuat kebijakan terkait perumahan yang justru menggerus kearifan lokal masyarakat setempat. Masyarakat Dayak yang dulu tinggal secara komunal dalam rumah panggung yang disebut rumah Betang, dipaksa untuk berpencar mendirikan rumah untuk masing-masing keluarga. Kondisi ini menyulitkan penerapan hukum adat yang dibentuk struktur kelembagaan adat.
"Dulu semua menyatu enggak ada yang terpecah pecah. Rumah panjang ini membentuk pengurus adat, baik timangong atau binua (ketua wilayah), pengarah uma (pengarah bidang pertanian), tuha kampokng (pengurus adat dusun), tuha laut (pendata penduduk). Struktur itu mengatur rumah Betang. Enggak ada yang melanggar, semua patuh aturan adat," tuturnya.
Baca juga: Pengasuhan Nenek hingga Makanan Instan Picu ”Stunting” di Sambas
Tantangan berikutnya bagi mereka adalah warga pendatang yang membuat masyarakat adat menikah masyarakat beda suku, arus modernisasi lewat kemajuan teknologi komunikasi, hingga invasi perkebunan sawit yang mempersempit lahan mereka.
Ditemui terpisah, Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sambas, Boni, berpendapat, meskipun masyarakat Dayak masih cukup taat dengan aturan adanya, upaya mengarusutamakan hukum lama itu ibarat menegakkan benang basah. "Karena adat ketinggalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi," ujarnya.
Bagaimana pun, ia mendukung adaptasi aturan lisan yang hanya dipahami pemangku adat ke dalam tulisan, agar mudah dibaca dan dipahami penerus adat Dayak yang hidup di sana. Ia juga menantikan peraturan desa tentang perlindungan anak berbasis peraturan adat segera dimiliki warga Sajingan Besar.
"Masa depan negara, masa depan daerah ini adalah anak. Jadi, anak adalah prioritas yang harus dilindungi," kata pria yang berprofesi sebagai dokter itu, saat ditemui Selasa (29/8/2023).
Dukungan pemerintah
Peraturan desa tentang perlindungan anak berbasis peraturan adat itu dinilai bisa menjadi penguat komunitas adat untuk melindungi anak, termasuk dari kekerasan seksual. Boni menjelaskan, aturan adat tidak akan menggantikan hukum positif negara, terutama untuk tindak pidana yang memang harus memberi efek jera pada pelaku.
Dalam hal tindak pidana, hukum adat akan mengenakan kepada pelaku ganti rugi dengan alat peraga ( tahil) dalam jumlah tertentu dan hewan kurban yang dikonversi dalam nominal uang.
Dalam contoh seorang perempuan mendapatkan pelecehan seksual, Boni mengatakan, pelaku bisa membayar ganti rugi hingga Rp 50 juta. Uang itu sebagian besar akan dikembalikan ke korban. Hukuman ini dapat mengurangi beban restitusi yang dapat ditanggung pelaku ketika kasusnya diproses secara hukum di pengadilan.
"Aturan adat mungkin mereduksi tanggung jawab sosial, tetapi hukum positifnya tetap kena. Tidak ada ampun bagi kekerasan anak," tegasnya.
Untuk dapat menerapkan sistem perlindungan anak ini, Sajingan Besar masih menanti evaluasi Pemerintah Kabupaten Sambas setelah aturan itu diserahkan lebih dari tiga bulan lalu.
Baca juga: Seuntai Nyanyian untuk Sungai
Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Desa, peraturan desa tersebut seharusnya dapat berlaku dengan sendirinya jika bupati tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu.
"Sesuai mekanisme peraturan, peraturan desa ini harus diverifikasi bagian hukum. Kemarin ada kendala terkait perlindungan hukum, tapi mekanisme sudah berjalan," ungkap Sunaryo, Asisten I Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Sambas, di kantornya, Rabu (30/8/2023).
Ia mengatakan, pemerintah kabupaten mendukung adanya inovasi aturan dengan kearifan lokal yang dibuat pemerintah desa untuk melindungi anak. Beberapa desa di wilayah Sambas yang juga merancang peraturan desa khusus ini telah menerapkannya. Beberapa desa di Kecamatan Teluk Keramat, yang mayoritas Melayu, misalnya, melarang warga menyumbang untuk acara pernikahan anak.
Kearifan lokal dalam bentuk peraturan desa berbasis peraturan adat Dayak di Kecamatan Sajingan Besar pun diharapkan segera hadir, agar menjadi dobrakan baru bagi perlindungan anak-anak Dayak di Kabupaten Sambas.