Desa-desa di Kawasan Cagar Budaya Borobudur Potensial Jadi Tujuan Wisata
Desa-desa di kawasan cagar budaya Borobudur berpotensi dikembangkan sebagai tujuan wisata. Warga harus kreatif mengembangkan potensi yang ada di desa masing-masing.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Desa-desa di kawasan cagar budaya Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, potensial dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Dikolaborasikan dengan kunjungan ke situs-situs yang ada di sekitarnya, desa-desa tersebut bisa menarik tambahan kunjungan dengan menawarkan aktivitas, tradisi, dan kearifan lokal setempat.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang Andi Gunawan, Rabu (30/8/2023), di sela-sela acara Jelajah Budaya di Kantor Museum dan Cagar Budaya (MCB) Warisan Dunia Borobudur.
Andi mengatakan, dengan keseriusan menata dan mengembangkan aktivitas masyarakat desa dan sejarah situs, desa-desa di kawasan cagar budaya Borobudur bisa memiliki banyak ragam wisata untuk ditawarkan. Ini, misalnya, wisata edukasi, kuliner, budaya, hingga experiential tourism atau wisata dengan merasakan pengalaman menjalankan aktivitas di desa.
Jelajah Budaya selama dua hari tersebut untuk melihat potensi sejumlah desa yang berdekatan dengan empat situs di kawasan cagar budaya Borobudur. Keempat situs itu adalah Samberan di Desa Ringianom, Kecamatan Tempuran; Plandi di Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan; serta Brongsongan dan Dipan yang masing-masing berada di Desa Wringinputih dan Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur.
Wisata merasakan pengalaman menjalankan aktivitas di desa, menurut Andi, antara lain, bisa ditawarkan oleh para pelaku UMKM. Dari pengalamannya mengunjungi produsen es camcau di Desa Wringinputih, misalnya, diperoleh hal menarik.
Banyak warga yang tidak menyadari potensi yang ada di desanya tersebut.
Dia mengatakan, aktivitas meremas daun dan memprosesnya sebagai bahan untuk es camcau menjadi pengalaman tersendiri bagi warga dari luar kota, bahkan luar negeri. Pengalaman menarik serupa juga bisa ditawarkan oleh pelaku usaha jenang lot di Desa Wringinputih dan produsen bata merah di Desa Pasuruhan.
”Di luar masalah mencari laba dengan menjual produk, para pelaku UMKM pun saat ini harus mulai bergerak dan berpikir kreatif untuk mengembangkan produksi di tempat usahanya sebagai daya tarik bagi wisatawan,” ujarnya.
Namun, banyak warga yang tidak menyadari potensi yang ada di desanya. Oleh karena itu, ke depan, Andi menuturkan, pihaknya juga akan melakukan pendampingan untuk mengangkat potensi di desa.
Ketua Forum Rembug Klaster Borobudur Kirno Prasojo mengatakan, di luar potensi produk dari UMKM, sejumlah desa di kawasan cagar budaya Borobudur juga memiliki keunggulan dalam hal karakter masyarakatnya yang masih sangat otentik.
Hal ini, antara lain, ditemuinya di Dusun Samberan di sekitar situs Samberan, di mana warga setempat terbiasa menyapa setiap pengunjung yang datang. Bahkan, warga juga kerap mempersilakan pengunjung masuk ke rumah dan menjamu para tamu tersebut.
”Saat ada pendatang, mereka (warga Dusun Samberan) bisa langsung tiba-tiba berinisiatif menyiapkan minum, menggoreng geblek, kemudian mempersilakan warga luar desa tersebut mampir ke rumah mereka,” ujarnya.
Geblek adalah makanan tradisional khas desa, biasanya berbahan tepung tapioka. Namun, di desa-desa di kawasan Borobudur, geblek biasanya dibuat berbahan ketela.
Sejumlah desa di kawasan cagar budaya Borobudur, menurut Kirno, sudah banyak mengembangkan dan menjual beragam jenis paket wisata. Namun, kebanyakan dari mereka tidak menggabungkan dengan wisata edukasi terkait situs di daerah sekitarnya.
Jiyo Martono, pegiat wisata di Desa Wringinputih, mengatakan, sejak delapan bulan lalu, Wringinputih memiliki destinasi wisata yang diberi nama Pawon Wigati. Di destinasi ini, wisatawan bisa merasakan pengalaman membuat setiap makanan khas desa dan mencicipinya. Ketika makanan itu dipakai untuk ritual tertentu, wisatawan pun dipersilakan mengikuti acara tersebut.
Jiyo mengatakan, ide membuat destinasi wisata berbasis kuliner ini dilatarbelakangi kesadaran warga bahwa Wringinputih memiliki begitu banyak ragam makanan khas. ”Dari hasil penelusuran kami, Desa Wringinputih memiliki lebih dari 50 jenis makanan khas,” ujarnya.
Sejak dibuka delapan bulan lalu, Pawon Wigati sudah menyedot sedikitnya 500 wisatawan, mayoritas dari sekolah-sekolah di sejumlah kota. Ke depan, Jiyo menuturkan, pihaknya juga berencana memadukan kunjungan ke Pawon Wigati dengan kunjungan ke Situs Brongsongan yang ada di desa.