Obyek Budaya Desa Berpotensi Mendukung Pariwisata Borobudur
Obyek budaya lokal bisa dikembangkan sebagai pendukung pariwisata di kawasan Borobudur. Hal ini nantinya sekaligus dapat memberikan dampak pada perekonomian dan kesejahteraan warga.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kesenian tradisional dari warga menghibur peserta lari saat mengikuti pergelaran Borobudur Marathon 2018 di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018). Borobudur Marathon menjadi salah satu agenda tahunan yang mampu menarik wisatawan dan menggerakkan perekonomian kawasan tersebut melalui ajang olahraga.
MAGELANG, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat ini berupaya menggali dan menginventarisasi semua obyek budaya yang ada di desa-desa sekitar Taman Wisata Candi Borobudur. Dalam proses itu akan dilakukan kajian dan analisis untuk membuat konsep perlindungan, pelestarian, dan pengembangannya sebagai muatan wisata pendukung pariwisata di kawasan Borobudur.
Direktur Perlindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewa Wanti mengatakan, upaya ini diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang ada di sekitar candi, membuat warga makin berdaya karena mampu memikat dan menarik kunjungan wisatawan ke obyeknya sendiri. Kondisi ini juga akan mengubah kondisi desa-desa sekitar yang selama ini hanya dilewati dan dikunjungi sesaat.
”Jangan lagi puas menjadi daerah yang sekadar dilewati dan akhirnya hanya menjadi desa yang mendapatkan limpahan sampah dari wisatawan saja,” ujarnya saat ditemui di sela-sela kegiatan penyusunan rencana perlindungan obyek pemajuan kebudayaan (OPK) di kawasan cagar budaya nasional Borobudur, di Balkondes Karanganyar, Selasa (19/4/2022).
Terdapat 10 jenis obyek budaya yang akan diinventarisasi dan dianalisis, yaitu tradisi lisan, manuskrip, ritus, adat istiadat, pengetahuan tradisional, bahasa, seni, permainan rakyat, olahraga, dan teknologi tradisional.
Dalam proses inventarisasi tersebut akan dipilh obyek budaya untuk dianalisis, dikaji, dan dibuat konsep perlindungannya. Obyek lokal tersebut nantinya juga akan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda.
Ilustrasi engklek. Seorang remaja memainkan permainan tradisional yang dikenal sebagai engklek.
Irini mengatakan, ada berbagai macam kriteria yang harus dipenuhi untuk menetapkan obyek budaya tersebut sebagai warisan budaya tak benda. Adapun salah satu kriteria adalah kelangsungan ekosistem, yakni masih adanya tokoh maestro yang bisa melakukan transfer pengetahuan dan kemampuan dengan baik dan benar. Untuk obyek budaya berupa seni tari, misalnya, kriteria lainnya yang harus dipenuhi adalah produsen sarana pendukung atau kostum tari yang dipakai.
Sri Patmiarsi Retnaningtyas, pamong budaya ahli madya Direktorat Perlindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mengatakan, inventarisasi dan analisis obyek budaya untuk sementara ini akan dilakukan di lima desa di Kecamatan Borobudur dan lima desa di Kecamatan Mungkid.
Dalam proses ini, tiap desa akan didampingi dua tenaga pendamping, salah satunya antropolog atau pegiat budaya, dan satu orang lainnya warga desa itu sendiri.
Inventarisasi dan analisis tersebut akan dilangsungkan hingga Juni mendatang.
Sejumlah peserta berlomba egrang dalam Festival Elingpiade singkatan dari “Eling Permainane Dhewek” atau dalam bahasa Indonesia berarti ingat permainannya sendiri digelar yang Forum Komunikasi Guru Cokroaminoto Kabupaten Banjarnegara, Sabtu (13/1/2018).
Panji Kusumah dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Eksotika Desa mengatakan, pada 2021, dia pun pernah dilibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mendata obyek-obyek budaya yang ada di 20 desa di Kecamatan Borobudur. Dari kegiatan pendataan yang dilakukan selama dua bulan tersebut, akhirnya ditemukan 840 obyek budaya.
Dari kegiatan tersebut, Panji menemukan, upaya pelestarian obyek budaya menemui sejumlah kendala. Di Desa Tuksongo dan Karangrejo, misalnya, hambatan muncul karena dua maestro tari lokal di dua desa tersebut telah meninggal. Di desa lainnya di Desa Giripurno, pelestarian sejumlah obyek budaya sulit dilakukan karena tidak adanya regenerasi.