Warga AS Jadi Sorotan karena Protes soal ”Toa” Gereja di Manado
Seorang warga AS menjadi sorotan di Manado setelah memprotes penggunaan megafon di sebuah gereja Kristen di Pulau Bunaken. Ia sudah minta maaf melalui mediasi oleh Kantor Imigrasi Manado.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS – Seorang warga Amerika Serikat menjadi sorotan di Manado, Sulawesi Utara, setelah memprotes penggunaan megafon di sebuah gereja Kristen di Pulau Bunaken. Pria tersebut telah berdamai dengan umat setempat, sementara sinode gereja meminta orang asing menghargai kebiasaan warga lokal.
Warga AS tersebut adalah Tony James Keene, berumur 50-an tahun yang tinggal bersama istrinya, Sri Yulianti Bolang, di Kalawat, Minahasa Utara. Keduanya diundang ke Kantor Imigrasi Kelas I Manado, Selasa (29/8/2023), dalam konferensi pers untuk memberi pernyataan serta permintaan maaf secara publik.
Menurut Keene, pada Sabtu (19/8/2023) malam, sekitar 20.00 Wita, ia hendak tidur karena merasa sangat lelah. Selama sepekan masa berlibur, ia menginap di sebuah resor di sisi selatan Pulau Bunaken dan menyelam dua kali sehari tanpa absen.
Pada saat yang sama, para umat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Patmos yang sedang menggalang dana pembangunan gereja terus menggunakan megafon untuk menarik perhatian warga setempat. Keene yang sedang sangat lelah pun terganggu.
Sekitar 22.00 Wita, nyaringnya suara megafon terus terdengar sehingga Keene tak tahan lagi. ia pun mendatangi tempat penggalangan dana, lalu menumpahkan amarahnya serta mencaci para umat dengan kata ”bodoh”, ”miskin”, dan ”mafia”.
”Saya ingin meminta maaf karena penggunaan bahasa yang buruk dan tidak sopan. Saat itu saya sangat-sangat lelah dan kesal. Saya salah jika menggunakan kata 'mafia'. Itu istilah dari referensi budaya Amerika untuk menggambarkan organisasi kriminal, tetapi saya tidak pernah bermaksud menyebut GMIM sebagai oganisasi kriminal,” ujarnya.
Keene mengaku sangat suka Pulau Bunaken dan menyebutnya sebagai tempat wisata istimewa. Ia pun mengakui telah gagal menghormati kebiasaan masyarakat setempat. ”Semoga permohonan maaf tulus saya ini dapat diterima. Saya salah,” katanya.
Sri Yulianti kemudian menerjemahkan pernyataan suaminya yang disampaikan dalam Bahasa Inggris. Namun, ia menambahkan, masyarakat Sulut perlu mempertimbangkan tata penggunaan pengeras suara untuk keperluan ibadah agar tidak menjadi polusi suara.
”Sama seperti masjid yang memiliki aturan yang spesifik dan ketat agar tidak jadi polusi suara. Mungkin masyarakat Sulut bisa mulai bicara tentang itu,” kata dia sambil menahan tangis.
Perairan di sekitar Pulau Bunaken memiliki bentangan terumbu karang sekitar 530 hektar sebagai bagian dari Taman Nasional Bunaken. Karena itu, Pulau Bunaken masih menjadi destinasi wisata andalan di Sulut, terutama bagi wisatawan mancanegara.
”Saya ingin meminta maaf karena penggunaan bahasa yang buruk dan tidak sopan. Saat itu saya sangat-sangat lelah dan kesal.”
Sama seperti di wilayah Manado daratan, mayoritas penduduk Bunaken adalah umat GMIM. Gereja ini memiliki tradisi ibadah dengan memanfaatkan megafon, misalnya siaran Ibadah Pengantar Kerja yang dilaksanakan antara 04.30-05.00 Wita secara tersentral dari gedung gereja. Penggalangan dana di tepi jalan raya juga memanfaatkan megafon.
Pendeta Nova Dawoah, ketua Jemaat GMIM Patmos Bunaken, juga menyampaikan permohonan maaf kepada Keene serta para wisatawan asing di Bunaken yang merasa terganggu oleh suara megafon gereja. Ia mengakui, memang jemaat sedang mencari dana pembangunan antara 19.00-20.00 Wita.
”Hari Senin sampai Jumat, biasanya kami hanya sampai pukul 21.00 Wita, tapi karena hari Sabtu adalah hari terakhir dan ada ibadah kolom (lingkungan), jadi berlanjut hingga 22.00,” kata Nova.
Kini, lebih dari 1.000 gereja GMIM yang tersebar di 7 kabupaten/kota di Minahasa Raya untuk melayani sekitar 830.000 umat. Jarak gereja satu dengan lainnya pun berdekatan sehingga tak jarang penggunaan megafon, atau yang dikenal dengan sebutan populer “Toa”, bersahut-sahutan.
Sudah damai, masih viral
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Manado, Made Nur Hepi Juniartha, mengatakan, pihaknya telah memeriksa keabsahan izin tinggal Keene di Indonesia. Pensiunan itu masih memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) yang berlaku hingga 1 Maret 2025. Paspor AS-nya pun masih valid hingga 5 Januari 2027.
Karena itu, sejak Rabu (23/8/2023), Made dan timnya sudah memanggil dan memediasi dan mendorong perdamaian antara Keene dan perwakilan Jemaat GMIM Patmos Bunaken. Namun, viralitas video Keene tidak hilang. Justru beredar foto lain yang menampilkan sekelompok wisawatan asing di Bunaken dengan spanduk protes terhadap megafon gereja.
Spanduk tipis tersebut memuat tulisan tangan, ”Kami sedang berlibur dan tidak ingin dibangunkan oleh gereja GMIM sebelum pukul 7 pagi.”
Hal ini pun menuai kemarahan umat GMIM, tak terkecuali Bupati Minahasa Tenggara James Sumendap yang juga menjabat Panglima Panji Yosua, sebuah perangkat pelayanan khusus para bapak anggota GMIM. Dalam sebuah video, ia terekam menyatakan kemarahannya di depan jemaat sebuah gereja dan menuntut Sinode GMIM untuk bertindak.
”Kalau GMIM sinodenya tidak bertindak, saya akan kumpulkan seluruh anggota Panji Yosua berapa puluh ribu, kita pergi cari bule ini Kita angkat dia, lalu bawa pulang, jangan ada di tanah Minahasa. GMIM tidak boleh dihina. Itu karena kultur, karena budaya. Kita juga menghormati umat lain yang beribadah, Muslim misalnya,” kata James
Made pun kembali memanggil Keene untuk hadir dalam konferensi pers. ”Karena masih viral, masih ramai, makanya kami panggil kembali. Yang bersangkutan juga menyatakan takut kembali ke Bunaken karena ada beberapa ancaman. Maka, kami dari Kantor Imigrasi Manado membantu untuk mediasi,” katanya.
Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Sulut, Friece Sumolang, menyebut Keene berhak untuk berada di Indonesia karena memiliki izin yang sah. Karena itu, pemerintah ingin memitigasi konflik dengan menjadi mediator.
”Mudah-mudahan dengan ini, situasi tetap kondusif. Dan, harapan kami terhadap WNA yang ada di Sulut, harus tunduk kepada aturan-aturan yang ada, tertulis maupun tidak tertulis, harus menjunjung nilai-nilai lokal. Mereka harus beradaptasi,” kata Friece.
Ia pun menegaskan, Kanwil Kemenkumham Sulut bukannya tak mendukung upaya Pemprov Sulut untuk mendongkrak sektor pariwisata yang terakhir pada 2019 mencatatkan kedatangan 129.587 wisatawan asing. ”Kami di Imigrasi ingin keberadaan turis dan nilai-nilai lokalitas itu berjalan beriringan, tidak saling merugikan. Kita juga butuh turis untuk devisa,” katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Sinode GMIM, Penatua John Rori, menegaskan, GMIM akan selalu mendukung program pemerintah, terutama di bidang pariwisata. Namun, ia menegaskan setiap jemaat telah memiliki program ibadah yang terstruktur, termasuk ibadah pada dini hari hingga penggalangan dana yang memang memanfaatkan megafon.
Soal penyesuaian volume megafon, John mengatakan, itu disesuaikan dengan kapasitas jemaat. ”Ada yang rumah jemaatnya sampai di radius 2 kilometer, ada yang 500 meter saja. Itu disesuaikan. Dari kejadian ini, kami akan evaluasi, bekerja sama dengan pemerintah, kemudian memberi pemahaman ke masyarakat sekitar situ, termasuk turis,” katanya.
Kementerian Agama telah memiliki imbauan dalam penggunaan pengeras suara melalui Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022, tetapi hanya ditujukan kepada masjid dan mushala. Hal yang diatur, antara lain, pembatasan volume hingga 100 desibel dan hanya digunakan paling lama 10 menit sebelum azan.