Berjibaku Memadamkan ”Tamu Tahunan” di Sumsel
Hasil laporan di lapangan menunjukan ada berbagai motif warga membakar lahan selain untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan, bisa jadi ada unsur politik atau konflik kepentingan di dalamnya.
Asap membubung tinggi kala puluhan personel Manggala Agni berjibaku memadamkan api di hamparan lahan gambut di Desa Deling, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (26/8/2023). Sudah 17 hari api melahap semak belukar dan perkebunan warga yang dilewatinya. Jejaknya pun terlihat pada sekitar 150 hektar lahan yang menghitam bekas dilalap si jago merah.
Komandan Regu Manggala Agni dari Daerah Operasi (Daops) Ogan Komering Ilir, Muhammad, mengarahkan rekan-rekannya yang sedang memadamkan api agar fokus menyiramkan air di salah satu titik tanah yang masih berasap. ”Jika masih ada asap, berarti api masih menjalar dari dalam tanah,” ungkapnya.
Tidak mudah menjinakkan api di lahan gambut. Walau api tak lagi terlihat di permukaan, sepanjang masih ada asap, itu berarti api masih menjalar di bagian bawah permukaan tanah. Karena itu, penyiraman air harus dilakukan secara terus-menerus setidaknya sampai lumpur menggembur dan asap tidak lagi membumbung.
”Untuk memadamkan satu titik api saja butuh waktu hingga berjam-jam,” jelas Muhammad. Padahal, lahan gambut yang terbakar itu masih terbilang dangkal dengan kedalaman sekitar 20 sentimeter.
Kebakaran akan semakin berbahaya jika api sudah merambat ke gambut yang lebih dalam. Di dekat area ini ada lahan gambut sedalam 8 meter. Tim pemadam berupaya agar api tidak sampai ke sana.
Baca juga: 150 Hektar Lahan Gambut di Ogan Komering Ilir Terbakar, Pemadaman Terhambat
Jika itu sampai terjadi, api akan sulit dipadamkan. ”Mungkin hanya hujan deras berhari-hari yang mampu memadamkannya,” kata Muhammad yang sudah 16 tahun bertugas menjadi anggota Manggala Agni.
Karena itu, sejak 17 hari lalu, 45 personel Manggala Agni yang berasal dari Daops Ogan Komering Ilir dibantu personel dari Daops Lahat dikerahkan untuk tetap berjaga di lokasi kebakaran agar api tidak meluas sampai ke kawasan gambut dalam.
Mereka harus tinggal di tenda sederhana yang didirikan di dalam konsesi sawit yang jaraknya hanya 1 kilometer dari lokasi kebakaran. Selain harus tidur dengan fasilitas seadanya, mereka pun kesulitan mendapatkan logistik karena permukiman penduduk terdekat berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi kebakaran.
Semua konsekuensi itu harus mereka terima agar proses pemadaman bisa berlangsung lebih efektif. ”Kami menargetkan dua minggu kebakaran di kawasan ini bisa teratasi,” ucap Muhammad.
Tidak hanya dari darat, pemadaman kebakaran juga dilakukan dari udara menggunakan helikopter bom air (water bombing) berkapasitas 4-5 ton. Heli itu tampak lalu lalang menyiramkan air dari udara ke lokasi titik api.
Muhammad khawatir jika kebakaran tidak segera dipadamkan, dampak asap bisa terasa sampai Kota Palembang yang berjarak sekitar 67 kilometer dari titik api. ”Kami memang ditugaskan untuk memadamkan api sejak dini agar asap tidak mengganggu aktivitas masyarakat,” ujarnya.
Muhammad berujar, memadamkan api di lahan gambut bukanlah hal yang mudah. Akses jalan menuju titik api cukup sulit. Mereka terhalang kanal yang lebar dan embung yang dalam.
Petugas pun harus berjalan kaki sambil membawa peralatan, seperti mesin pompa dan selang, agar api bisa segera dipadamkan. Langkah kaki pun harus tetap dijaga agar tidak terperosok masuk ke lahan gambut.
Mereka juga harus tetap waspada karena yang dilawan adalah api yang jelajahnya sulit diprediksi. ”Saat tiupan angin tiba-tiba berubah, api bisa saja berubah arah mendekati petugas yang sedang memadamkan api,” ungkapnya.
Tidak hanya petugas Manggala Agni yang berupaya memadamkan api. Warga setempat, terutama pemilik kebun karet, terus berupaya membasahi lahan agar api tidak menyambar perkebunannya.
Sudah empat hari Supohon (60) bersama istrinya menginap di kebun karetnya. Ia gusar karena api sudah mulai mendekat. Dengan cekatan ia membantu petugas membawakan peralatan ke lokasi kebakaran.
Pengalaman tahun 2015 di mana api membakar kebun karet milik warga sudah membuatnya waswas. ”Saya bisa rugi besar jika kebun karet terbakar. Inilah satu-satunya pendapatan keluarga,” ujar Supohon.
Lebih panas
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan Lahan (PPIKHL) Wilayah Sumatera Ferdian Kristanto menuturkan, kebakaran tahun ini memang patut diwaspadai karena jika dibandingkan tiga tahun sebelumnya, musim kemarau di Sumsel tahun ini diprediksi akan lebih panas.
Karena itu, petugas pun telah bersiaga di beberapa daerah yang rawan karhutla, seperti Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim. Prioritasnya adalah memadamkan kebakaran di dekat kawasan pemukiman dan fasilitas umum, seperti jalan tol, bandara, serta fasilitas pelayanan kesehatan.
Baca juga: Kesatria Merah Berjibaku Memadamkan Si Jago Merah
Berdasarkan analisis satelit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), luasan lahan terbakar di Sumsel pada periode Januari-Juli 2023 mencapai 1.178 hektar. Jumlah ini masih lebih rendah jika dibandingkan luas lahan terbakar pada dua tahun sebelumnya yang mencapai 2.446 hektar di tahun 2022 dan 1.298 hektar di tahun 2021.
Meskipun begitu, Sumsel harus tetap waspada karena puncak musim kemarau tahun ini jauh lebih panjang dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni mulai dari Agustus hingga September 2023. Ketika curah hujan menurun, risiko kebakaran lahan pun kian besar.
Beberapa provinsi di Sumatera juga harus melakukan hal serupa. Lampung, misalnya, pada periode Januari-Juli 2023, luas lahan yang terbakar telah mencapai 2.993 hektar, Riau (2.221 hektar), dan Sumatera Utara (1.540 hektar).
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk tidak membakar lahan sangatlah penting. Menelisik dari hasil laporan di lapangan menunjukkan, ada berbagai motif warga membakar lahan selain untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan, bisa jadi ada unsur politik atau konflik kepentingan di dalamnya.
Hal ini dipengaruhi oleh fenomena El Nino yang sudah beranjak dari lemah menuju ke moderat. (Siswanto)
Kepala Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, Palembang, Siswanto, menyebut, hingga September 2023, Sumsel diperkirakan akan mengalami puncak musim kemarau di mana curah hujan akan menurun dan hari tanpa hujan akan semakin panjang.
Bisa saja, di satu daerah, hujan tidak turun hingga sepuluh hari. ”Jika itu terjadi, lahan akan mudah terbakar. Hal ini dipengaruhi oleh fenomena El Nino yang sudah beranjak dari lemah menuju ke moderat,” kata Siswanto.
Ketika kebakaran terus berlangsung, risiko bencana asaplah yang harus diwaspadai. Apalagi ketika kebakaran lahan terjadi di Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin, dan Musi Banyuasin, diperkirakan asap bisa mengarah ke Palembang.
Hasil pemantauan menunjukkan, tiupan angin dari lokasi kebakaran menuju ke barat daya atau tenggara. ”Itu berarti potensi asap mengarah ke Palembang sangatlah besar,” jelasnya.
Siswanto menduga asap sudah memasuki Kota Palembang. Indikatornya terlihat dari konsentrasi partikulat (PM 2,5) yang menunjukkan kualitas udara Palembang pada kategori sedang bahkan menyentuh status tidak sehat terutama di sore dan malam hari.
Terus meningkat
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori mengatakan, tingginya potensi karhutla bisa terlihat dari jumlah titik api yang terus meningkat. Pada periode Januari hingga Agustus 2023, jumlah titik panas di Sumsel mencapai 1.821 titik panas. Titik panas terbanyak ada di bulan Agustus, yakni mencapai 653 titik.
Saat ini, ada tiga kabupaten yang mengalami kebakaran cukup masif, yakni Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir (OKI), dan Banyuasin. Dari ketiga daerah itu, hanya kabupaten OKI yang sudah mengusulkan peningkatan status dari Siaga menuju ke Tanggap Darurat. ”Dengan penetapan ini, anggaran dari belanja tidak terduga dapat dikucurkan untuk membiayai operasi pemadaman,” ungkapnya.
Jika dalam beberapa minggu ke depan ada dua daerah atau lebih yang menetapkan status Tanggap Darurat, penetapan status itu juga akan diikuti di tingkat provinsi.
Ansori mengatakan, kebakaran lahan seakan sudah menjadi tamu yang berkunjung setiap tahun. Karena itu, langkah mitigasi harus terus dilakukan, misalnya, dengan membentuk masyarakat peduli api, menetapkan status siaga lebih awal, dan menjalankan upaya mitigasi salah satunya adalah dengan menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa hujan buatan.
Sayangnya, TMC harus dihentikan pada pertengahan Agustus lalu karena tidak ada lagi potensi awan hujan.
Sebagai gantinya ada lima helikopter bom air dan dua helikopter patroli yang dikerahkan untuk membantu proses pemadaman api dari udara. Dengan upaya ini, diharapkan proses pemadaman dapat lebih efektif sehingga bencana asap tidak terjadi di Sumsel.