BP Batam Akan Sampaikan Aspirasi Warga Rempang ke Pusat
BP Batam berjanji menyampaikan penolakan warga terkait rencana penggusuran permukiman adat di Pulau Rempang. Warga meminta pembangunan proyek di Rempang dilakukan tanpa menggusur masyarakat asli.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Badan Pengusahaan Batam berjanji menyampaikan aspirasi warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, kepada pemerintah pusat. Sebelumnya, ribuan warga Melayu berdemonstrasi menolak rencana penggusuran sejumlah perkampungan adat di Pulau Rempang karena relokasi akan menghapus identitas mereka sebagai orang Melayu pesisir
Dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas, Kamis (24/8/2023), Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol Badan Pengusahaan (BP) Batam Ariastuty Sirait menyatakan Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi telah berupaya mengajak perwakilan warga untuk bertemu kementerian terkait di Jakarta. Hal itu disampaikan Rudi ketika menemui perwakilan massa yang berdemonstrasi pada Rabu (23/8/2023).
Rudi juga telah berupaya menemui langsung warga di Pulau Rempang pada Selasa (22/8/2023). Namun, hanya segelintir warga yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Konflik lahan di Pulau Rempang bermula ketika pemerintah berencana merelokasi warga yang bermukim di pulau itu. Upaya merelokasi warga itu dilakukan pemerintah untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Pembangunan kawasan investasi terpadu di Rempang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek bernama Rempang Eco City itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Pulau Rempang sebanyak 7.512 jiwa pada 2021. Menurut Ariastuty, untuk setiap rumah yang direlokasi, pemerintah telah menyiapkan kavling seluas 500 meter persegi dan rumah tipe 45.
Selain perumahan, pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dan dermaga nelayan. Khusus keluarga nelayan akan diberikan bantuan alat tangkap.
”Pembangunan dan pengembangan Pulau Rempang akan melibatkan warga setempat, terutama rekrutmen tenaga kerja untuk proyek yang akan berlangsung,” kata Ariastuty.
Menurut dia, Pulau Rempang akan dirancang menjadi wilayah dengan industri yang berkonsep green and sustainable city. Pemerintah berharap, dengan begitu kemajuan ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Batam nantinya juga dapat dirasakan oleh warga Rempang.
Menolak penggusuran
Secara terpisah, tokoh warga Pulau Rempang, Gerisman Ahmad, Rabu, mengatakan, penolakan warga terhadap penggusuran kampung adat atau kampung tua merupakan harga mati. Kelestarian kampung tua itu menyangkut harkat dan martabat orang Melayu.
Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua. Warga asli yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
Gerisman mengatakan, 16 kampung tua itu luasnya tidak sampai 10 persen dari total luas Pulau Rempang yang mencapai 16.583 hektar. Ia meminta pemerintah membangun kawasan investasi terpadu di Rempang tanpa menggusur kampung-kampung tua.
”Sampai sekarang pemerintah tak mau mendengar aspirasi warga dan tak mau memahami kondisi warga di Rempang. Itu sebabnya terjadi demonstrasi besar-besaran dari warga Melayu,” kata Gerisman.
Pada 21 Juli, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, menilai, sesuai namanya, Rempang Eco City, seharusnya pembangunan tidak boleh meminggirkan warga. Pembangunan harus berkelanjutan dan warga tidak boleh hanya menjadi penonton.
”Seharusnya pemerintah bisa mendorong perusahaan supaya merangkul kampung-kampung tua menjadi kampung wisata. Warga harus diberdayakan, jangan malah disisihkan,” kata Syuzairi yang juga pernah menjabat Asisten Pemerintahan dan Asisten Ekonomi Pembangungan Pemkot Batam itu.
Sampai sekarang pemerintah tak mau mendengar aspirasi warga dan tak mau memahami kondisi warga di Rempang. Itu sebabnya terjadi demonstrasi besar-besaran dari warga Melayu. (Gerisman Ahmad)
Adapun Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin menyatakan, pemerintah harus melindungi masyarakat pulau-pulau kecil yang hidupnya amat bergantung pada sumber daya di pesisir. Relokasi terhadap warga di pulau-pulau kecil dampaknya akan sangat besar kepada daya hidup mereka.
”Jangan atas nama investasi jangka pendek, pemerintah jadi mengorbankan kehidupan rakyat dan kelestarian lingkungan di Pulau Rempang,” ucap Parid.