Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), banjir di Aceh Tenggara selama sepekan terakhir telah berdampak pada 8.101 jiwa dan 2.230 keluarga.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KUTACANE, KOMPAS — Banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tenggara selama seminggu terakhir menunjukkan semakin parahnya kerusakan hutan. Kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas penebangan liar, perkebunan ilegal, dan pembukaan jalan baru.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Aceh Ahmad Salihin, pembangunan jalan baru juga memicu pembalakan liar, konflik satwa liar, dan kejahatan lingkungan lainnya. Kehadiran jalan tersebut memudahkan para perambah hutan mengakses kawasan hutan untuk melakukan aktivitas penebangan.
”Intensitas banjir di Aceh Tenggara pada Minggu ini membuktikan kerusakan hutan secara masif,” kata Ahmad Salihin, Kamis (24/8/2023).
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), banjir di Aceh Tenggara selama sepekan terakhir telah berdampak pada 8.101 jiwa dan 2.230 keluarga. Sekitar 326 orang harus dievakuasi. Meski demikian, tidak ada korban jiwa.
Sebanyak 28 desa di lima kecamatan terendam banjir sejak 17 Agustus hingga 23 Agustus 2023. Selain permukiman, banjir juga merendam 746 hektar sawah dan 119 hektar ladang jagung. Sebuah jembatan Lawe Hijo Ampera mengalami kerusakan.
Sekitar 92 persen wilayah Kabupaten Aceh Tenggara berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang merupakan hutan dengan nilai konservasi tinggi. Sesuai SK Nomor 580, total luasnya 414.664 hektar, dengan 380.457 hektar merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser.
Hutan tropis terkaya
Ekosistem Leuser adalah salah satu hutan hujan tropis terkaya di Asia Tenggara dan tempat terakhir di dunia di mana gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera hidup berdampingan.
Ahmad mengatakan, kerusakan hutan di Aceh Tenggara sebagian besar terjadi di hutan lindung taman nasional. Kawasan resapan menyusut sehingga saat hujan mempercepat banjir.
Di Aceh Tenggara, di atas kertas luas hutan lindung 79.267 hektar, tetapi kini hanya tersisa 68.218 hektar. Berarti sebanyak 11.049 hektar telah hilang.
Begitu pula dengan taman nasional di Aceh Tenggara yang semula seluas 278.205 hektar, kini hanya menempati 257.610 hektar. Hal ini berarti hilangnya 20.595 hektar pada tahun 2022, sekitar empat kali luas Banda Aceh.
”Sejak 2014 kondisi hutan di Aceh Tenggara kian rusak. Inilah faktor utama pemicu banjir. Ketika hutan habis, tidak ada yang bisa menahan air,” kata Ahmad.
Ia menjelaskan, hutan sangat penting untuk mencegah banjir karena pohon berfungsi sebagai penyerap air. Menurut Ahmad, kondisi serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain di Aceh.
Intensitas banjir di Aceh Tenggara pada Minggu ini membuktikan kerusakan hutan secara masif. (Ahmad Salihin)
Oleh karena itu, Ahmad mendesak Pemprov Aceh untuk melindungi hutan dari kerusakan. Daripada membangun jalan baru, lebih baik meningkatkan kapasitas jalan yang ada.
Kepala BPBA Ilyas menyebutkan, banjir di Aceh Tenggara telah surut. Menurut dia, curah hujan yang tinggi menjadi salah satu pemicu banjir.
Sejumlah infrastruktur, tambah Ilyas, mengalami kerusakan, seperti jalan, tanggul sungai, dan jembatan. Beberapa ruas jalan sempat tergenang, tetapi kini sudah bisa dilalui.
”Beberapa alat berat dikerahkan untuk membersihkan fasilitas umum,” kata Ilyas.
Selain deforestasi, banyak daerah aliran sungai (DAS) di Aceh dalam keadaan rusak. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh menyebutkan, sebanyak 20 DAS dan sedikitnya 251.696 hektar DAS di Aceh harus segera dipulihkan.
Beberapa DAS tersebut berada di Aceh Utara, seperti DAS Keureuto, Jambo Aye, dan Pasee. Sementara di Aceh Timur adalah DAS Peureulak dan Bayeun. Sungai-sungai itulah yang selama ini meluap ke permukiman warga.