Indeks kualitas udara di Surabaya meski diklaim masih layak hirup tetapi sementara dan rentan berubah sehingga perlu kesadaran menyeluruh untuk menjaga udara tetap bersih dengan hidup ramah lingkungan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
Petugas Dinas Perhubungan Kota Surabaya memeriksa kadar emisi gas buang kendaraan di Jalan Kusuma Bangsa, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/3/2019). Uji emisi yang dilakukan secara berkala tersebut untuk memberikan peringatan kepada pemilik yang tidak lolos untuk segera meningkatkan performa kendaraannya sehingga tidak mencemari lingkungan.
SURABAYA, KOMPAS — Kualitas udara di Kota Surabaya, Jawa Timur, sejauh ini diklaim masih layak hirup sesuai indeks standar pencemaran udara atau ISPU pada Januari-Agustus 2023. Sebanyak 20 persen dalam kondisi baik dan kondisi 70 persen lainnya sedang. Namun, penilaian itu berpotensi berubah dengan cepat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya Agus Hebi Djuniantoro saat dihubungi, Rabu (23/8/2023), mengatakan, klaim sesuai ISPU diharapkan membuat masyarakat ”Bumi Pahlawan” tidak cemas dengan kabar ada kualitas udara buruk. Dia juga menyebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga udara tetap bersih dan layak hirup.
Langkah itu, kata Hebi, dilakukan karena kualitas udara dapat menurun dengan cepat. Faktor utamanya, seperti aktivitas industri dan mobilitas masyarakat dengan kendaraan bermotor secara massif, simultan, serta terus menerus.
Berdasarkan pantauan pada situs www.iqair.com pukul 08.30, misalnya, kualitas udara di Surabaya Timur dalam kategori tidak sehat. Ini berdasarkan pantauan stasiun kualitas udara di RespoKare Mask-Kertajaya dan SAQI-Keputih. Di Kertajaya, indeks kualitas udara 159, sedangkan di Keputih tercatat 153 yang dalam kategori tidak sehat.
Di Surabaya Barat sesuai pantauan SAQI-Benowo, indeks kualitas udara sebesar 150 sehingga tidak sehat bagi kelompok sensitif. Sementara dari SAQI-Benowo, indeks kualitas udara Surabaya Tandes tercatat 21 atau baik.
Hebi melanjutkan, untuk menjaga kualitas udara tetap layak hirup, dilanjutkan lagi program penanaman 1.000 pohon setiap hari, uji emisi kendaraan secara rutin, pemantauan udara, dan menghidupkan lagi program satu jiwa satu pohon.
Salah satu mitigasi yang dilakukan adalah menanam penanaman 1.000 pohon setiap hari di wilayah dengan mobilitas dan lalu lintas tinggi. Beberapa titik itu seperti Jalan Margomulyo dan Jalan Raya Wiyung di koridor selatan barat serta Jalan Kalianak dan Jalan Perak Barat di koridor utara. Selain itu, ada Jalan Dr Ir Soekarno (MERR) di koridor selatan timur, Jalan Ahmad Yani, Jalan Raya Darmo, dan Jalan Basuki Rahmat di koridor selatan pusat.
Hal itu, katanya, termasuk diberlakukan lagi program Sajisapo sejak 2007. Setiap warga Surabaya yang melahirkan seorang bayi maka wajib menanam satu pohon di rumahnya.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Corie Indria Prasasti, mengatakan, menjaga kualitas udara tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu mengimplementasikan regulasi dan kebijakan ketat emisi terhadap industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan kontributor polusi udara.
”Harus ada pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dan berwibawa,” ujarnya.
Kampanye untuk masyarakat, kata Corie, juga penting. Selain itu, berinvestasi dalam transportasi umum, teknologi tepat guna pengolahan limbah, dan pengolahan sampah. Tidak lupa juga memperbanyak angkutan umum ramah lingkungan hingga mengajak masyarakat meninggalkan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Corie melanjutkan, masyarakat juga ditantang berani mengubah perilaku hidup agar ramah terhadap lingkungan. Jika memungkinkan, ujarnya, tinggalkan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum. Berjalan atau bersepeda bagi masyarakat dengan mobilitas tidak jauh lebih baik daripada memakai sepeda motor apalagi mobil pribadi.
”Kurangi produk berbahan kimia apalagi yang berbahaya, hemat energi, dan mendukung program energi terbarukan dan hindari membakar sampah,” kata Corie.