Sulut Tanam Ribuan Bibit Mangrove di Tengah Ancaman Kerusakan
Sebanyak 16.850 pohon, utamanya bakau, ditanam di Sulut sebagai kontribusi simbolis dalam kegiatan AMMTC 2023 di Labuan Bajo. Luasan hutan mangrove di Sulut dikhawatirkan terus berkurang akibat pembangunan di pesisir.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 16.850 pohon, utamanya bakau alias mangrove, ditanam di Sulawesi Utara sebagai kontribusi simbolis dalam kegiatan Pertemuan Tingkat Menteri untuk Kejahatan Transnasional atau AMMTC 2023. Luasan hutan mangrove di Sulut dikhawatirkan terus berkurang akibat pembangunan di pesisir, terutama di Manado.
Di Manado, sebanyak 1.000 bibit mangrove ditanam di pantai di bilangan Molas, Kecamatan Bunaken, Rabu (23/8/2023). Kapolda Sulut Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto memimpin kegiatan tersebut dengan dihadiri perwakilan jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sulut.
Sesaat sebelumnya, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo melaksanakan penanaman pohon di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, bersama para delegasi AMMTC. Kegiatan itu disiarkan melalui konferensi video dan diikuti oleh 34 polda, 510 polres, dan 5.034 polsek di seluruh Indonesia untuk memecahkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) kategori penanaman pohon serentak dengan target 21 juta batang.
Kapolda Sulut Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto mengatakan, pihaknya berkontribusi dengan menanam 16.850 pohon di 32 lokasi di 15 kabupaten/kota. Jenis-jenis pohon beragam, antara lain bakau, trembesi, mahoni, durian, dan matoa.
”Untuk daerah sini (Manado) memang kebanyakan mangrove karena garis pesisir di Manado ini, kan, panjang sekali. Kalau di wilayah Tomohon, tidak ada pantai, tidak ada laut, sehingga ditanam jenis lainnya. Yang pasti pohon, bukan bunga,” kata Setyo.
Sesuai petunjuk Kapolri, kata Setyo, penanaman pohon tersebut merupakan kontribusi Polri untuk melestarikan negeri melalui penghijauan demi mengatasi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global. Apalagi, saat ini Indonesia menghadapi ancaman kekeringan akibat fenomena El Nino di Samudra Pasifik.
”Musim hujan bisa jadi mundur, kemudian tidak lama dan sudah masuk ke musim kering lagi. Kita tidak menyadari bahwa kita bagian dari pengubah iklim, misalnya dalam hal pemakaian lampu. Kalau sudah tidak digunakan, harusnya dimatikan. Makanya kami di kantor, jam 21.00 lampu harus sudah mati,” kata Setyo.
Ia mengakui, tidak ada kaitan langsung antara kontribusi kepolisian untuk menanam pohon dan meningkatkan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Namun, jika itu dilakukan terus-menerus, dalam jangka panjang akan ada efek yang dirasakan publik.
”Contohnya di Manado, Januari-Februari selalu ada musibah banjir. Orang menjadi tidak tenang karena harus menaruh barang-barang di luar karena rumahnya kebanjiran. Aspek keamanan akan sangat terpengaruh di situ,” ujarnya.
Manado memiliki garis pantai sepanjang lebih kurang 18 kilometer. Namun, berdasarkan penghitungan lembaga swadaya masyarakat bernama Manengkel Solidaritas, luas hutan mangrove di ibu kota Sulut itu hanya 84 hektar dan terkonsentrasi di pesisir utara kota.
Reklamasi
Salah satu faktor hilangnya hutan bakau, terutama di pusat kota, adalah pembangunan pusat bisnis dengan reklamasi di sepanjang Boulevard Piere Tendean antara akhir 1990-an dan awal 2000-an. Reklamasi pun kini masih berlngsung, kali ini di bilangan Malalayang dengan adanya proyek hotel dan pusat konvensi yang dilaksanakan oleh PT TJ Silfanus.
Terkait hal ini, Sekretaris Daerah Provinsi Sulut Steve Kepel mengatakan, pemprov berkomitmen untuk terus melestarikan lingkungan. Penanaman mangrove pun menjadi program tahunan. Namun, ia tidak mengantongi besaran target luasan mangrove yang ditetapkan demi menambah area hutan mangrove yang ada saat ini, yaitu 11.766 hektar.
Soal izin reklamasi, ia menyebutnya bukan kewenangan pemprov, melainkan pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Tentu perlu ada kajian dari pemerintah pusat, karena perizinannya dari sana,” katanya.
Steve menegaskan, pemprov selalu berupaya menyeimbangkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan pelestarian lingkungan. Penanaman mangrove ia sebut penting untuk mengatasi abrasi serta menciptakan ekosistem bakau yang bisa memberi manfaat ekonomi dari masyarakat, misalnya dalam rupa panen kepiting.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), komposisi mangrove di Sulut terdiri dari 6 persen mangrove jarang, 19 persen mangrove sedang, dan 75 persen mangrove sedang. Keberadaannya akan turut berkontribusi mendukung upaya menekan emisi gas rumah kaca sebanyak 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) hingga 2030.
Hal ini merupakan bagian dari kontribusi nasional Indonesia dalam aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan, atau yang lebih dikenal sebagai Folu Net Sink 2030. Hutan bakau pun akan memainkan peran krusial karena mampu menyerap dan menyimpan karbon 4-5 kali lebih besar dibandingkan ekosistem hutan daratan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Hanif Faisol Nurofiq, dalam kunjungan ke Manado, Maret 2023, menyatakan mangrove dikategorikan sebagai blue carbon, yaitu penyimpan karbon di lahan basah. Posisinya sejajar dengan padang lamun dan terumbu karang.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sulut Jemmy Ringkuangan mengatakan, tujuan, strategi, dan kebijakan Pemrpov Sulut di bidang kehutanan telah ditentukan hingga 2026. Salah satu sasaran strategisnya adalah peningkatan kelestarian hutan dengan memberi akses kelola hutan bagi masyarakat.
”Kami juga mencanangkan program-program rehabilitasi hutan dan lahan demi mendukung Folu Net Sink 2030 Indonesia. Programnya antara lain rapat koordinasi evaluasi DAS (daerah aliran sungai), pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS, dan pengadaan bibit tanaman kehutanan,” paparnya.