Kekeringan di Cirebon, Distribusi Air Bersih untuk Warga Mencapai 48.000 Liter
Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah mendistribusikan sekitar 48.000 liter air bersih untuk warga di sejumlah desa yang terdampak kekeringan. Penyaluran air bersih akan tetap dilakukan ke sejumlah desa.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah mendistribusikan sekitar 48.000 liter air bersih untuk warga di sejumlah desa yang terdampak kekeringan. Penyaluran air bersih tersebut bakal tetap berlangsung seiring kekeringan yang diperkirakan terjadi hingga Oktober 2023.
”Dari awal bulan sampai sekarang, sudah 12 tangki air disalurkan ke warga terdampak,” ucap Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Cirebon Tadi Aryadi, Rabu (23/8/2023). Air itu berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Cirebon.
Dengan kapasitas 4.000 liter air per tangki, jumlah air bersih yang didistribusikan mencapai 48.000 liter. ”Ini belum termasuk penyaluran air oleh instansi lainnya, seperti kepolisian dan PMI (Palang Merah Indonesia). Kami menyalurkan ke desa yang mengajukan bantuan air bersih,” ucapnya.
Beberapa daerah terdampak kekeringan adalah Desa Sibubut, Kecamatan Gegesik; dan Desa Slangit, Kecamatan Klangenan. Hari ini pihaknya menurunkan tim ke Desa Karangwuni, Kecamatan Sedong, untuk mengecek laporan warga yang kesulitan air. Pihaknya pun akan mengirim air ke desa itu.
Menurut dia, pemerintah desa meminta bantuan air bersih karena sumur warga mengering lebih dari sebulan. Akhirnya, warga terpaksa memanfaatkan irigasi dan sungai untuk mandi serta mencuci. ”Sebenarnya, masih ada air, tetapi airnya bau dan tidak bisa digunakan,” katanya.
Pihaknya belum mengetahui pasti berapa jumlah desa dan warga yang terdampak kekeringan. Di Desa Sibubut saja, tercatat 3.365 jiwa yang terdampak. Pihaknya juga mencatat sejumlah desa di 20 kecamatan atau setengah dari total kecamatan di Cirebon berpotensi mengalami kekeringan.
Kecamatan tersebut, antara lain, Gegesik, Arjawinangun, Gunung Jati, dan Kapetakan. Terdapat belasan hingga puluhan ribu warga di daerah itu. Pihaknya memastikan akan menyalurkan air bersih ke desa itu. ”Dari koordinasi dengan PDAM, pasokan air cukup sampai Oktober dan November,” ujarnya.
Abidin, Kuwu (Kepala Desa) Sibubut, berharap, pemkab terus mengirimkan air bersih kepada warga. ”Untuk mandi saja hanya cukup untuk pagi hari. Kalau air sumur habis, mereka ambil air dari sungai. Ini terjadi kalau musim kemarau. Tapi, tiga tahun terakhir tidak seperti ini,” katanya.
Padahal, air Sungai Ciwaringin itu keruh, kecoklatan. Bahkan, di beberapa bagian tampak sampah plastik, popok bekas, hingga batang pisang. Warga menyedot air itu menggunakan pipa menuju sumur. Sebelum digunakan, air dari sungai itu dibiarkan mengendap beberapa jam di sumur.
Jumini (50), warga lainnya, harus membeli air galon 19 liter seharga Rp 4.000 per galon. Namun, untuk mandi dan mencuci, ia terpaksa memakai air sungai. ”Tapi, kalau pakai air itu gatal. Makanya, setelah mandi saya bilas pakai air bening (bersih). Pintu kamar mandi saya juga berkarat,” ucapnya.
Tano, Kepala Dusun 3 Blok Lojikaum Desa Karangwuni, mengatakan, kekeringan juga melanda daerahnya. ”Di Dusun 3 masih ada sumur yang bisa dipakai. Tapi, di Dusun 1, warga sudah kekeringan. Untuk mandi dan mencuci warga ambil air dari irigasi. Jadi, butuh bantuan air, bersih,” ujarnya.
Tapi, kalau pakai air itu gatal. Makanya, setelah mandi saya bilas pakai air bening.
Terlebih lagi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi kekeringan di Indonesia masih akan berlangsung hingga Oktober 2023. Bahkan, fenomena El Nino yang ditandai berkurangnya curah hujan akan menguat dan diprediksi berlanjut hingga Februari 2024 (Kompas, 23/8/2023).