Tersangkut Kasus Hutan 23 Tahun Lalu, Bekas Bupati Samosir Mangindar Ditahan
Bekas Bupati Samosir Mangindar Simbolon ditahan Kejati Sumut. Ia terjerat korupsi pengalihan status kawasan hutan 23 tahun lalu saat menjadi Kadis Kehutanan Toba Samosir yang merugikan negara Rp 32,7 miliar.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Bekas Bupati Samosir Mangindar Simbolon ditahan setelah menjadi tersangka di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Medan, Jumat (18/8/2023). Ia terjerat kasus korupsi pengalihan status kawasan hutan Telehut 23 tahun lalu saat menjadi Kepala Dinas Kehutanan Pemeritah Kabupaten Toba Samosir yang merugikan negara Rp 32,7 miliar.
”Tim Tindak Pidana Khusus Kejati Sumut menahan MS (Mangindar Simbolon) dalam dugaan tindak pidana korupsi izin membuka tanah untuk permukiman dan pertanian pada kawasan hutan lindung di Desa Partungko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut Yos A Tarigan.
Yos mengatakan, Mangindar menjabat Kepala Dinas Kehutanan Pemkab Toba Samosir pada 1999 sampai dengan 2005. Ketika itu, wilayah Kabupaten Samosir masih menjadi bagian dari Toba Samosir. Tiga terdakwa lain dalam kasus itu, kata Yos, sudah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan pada April 2022.
Mereka adalah bekas Bupati Toba Samosir Sahala Tampubolon dan bekas Sekretaris Daerah Parlindungan Simbolon yang dijatuhi vonis hukuman penjara masing-masing 1 tahun 2 bulan. Selain itu, kepala Desa Partungko Naginjang Bolusson Pasaribu dijatuhi vonis 1 tahun penjara.
Yos tidak merinci apa peran Mangindar dalam kasus korupsi itu. Dia menyebut, peralihan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan syarat yang ditetapkan diduga turut dilakukan oleh tersangka Mangindar. Mangindar menjadi Bupati Samosir pada 2005 hingga 2015.
Dalam salinan putusan terhadap Sahala, sebagaimana dipublikasikan di sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Medan di situs resmi sipp.pn.medankota.go.id disebutkan, Mangindar selaku Kadis Kehutanan Toba Samosir melalui surat tanggal 26 Januari 2000 mengusulkan penataan dan pengaturan areal 500 hektar kawasan hutan di Desa Partungko Naginjang di Jalan Tele-Sidikalang kepada Sahala selaku Bupati Toba Samosir.
Kadis Kehutanan Toba Samosir melalui surat tanggal 26 Januari 2000 mengusulkan penataan dan pengaturan areal 500 hektar kawasan hutan di Desa Partungko Naginjang di Jalan Tele-Sidikalang kepada Sahala selaku Bupati Toba Samosir.
Sahala lalu membentuk tim penataan dan pengaturan areal itu dengan Parlindungan sebagai Ketua Pengarah dan Mangindar sebagai Wakil Ketua Pengarah. Bolluson Pasaribu selaku Kepala Desa Partungko juga menjadi anggota tim.
Tim penataan itu lalu mengusulkan Surat Keputusan Nomor 281 Tahun 2003 tentang Izin Membuka Tanah untuk Permukiman dan Pertanian kepada Sahala. Usulan itu melampirkan peta lokasi permukiman dan lahan pertanian yang diperuntukkan untuk merelokasi masyarakat yang telah menduduki dan merambah kawasan hutan Tele. Nama masyarakat yang menerima lahan juga dilampirkan pada surat keputusan itu.
Sahala, Parlindungan, dan Bolluson pun dinyatakan bersalah karena mengeluarkan izin membuka tanah untuk permukiman dan pertanian tanpa meneliti dan memeriksa dulu status lahan yang merupakan kawasan hutan lindung itu. Atas peralihan status kawasan hutan lindung itu, negara disebut mengalami kerugian Rp 32,7 miliar.
Praperadilan
Pengacara Mangindar, Franszul Sianturi, mengatakan, pihaknya menghargai penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Kejati Sumut. Meski demikian, Franszul menyebut pihaknya akan mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan Mangindar.
”Mangindar selaku Kepala Dinas Kehutanan Toba Samosir hanya mengusulkan izin membuka tanah untuk permukiman dan pertanian pada tahun 2000. Izin itu dikeluarkan oleh Bupati Sahala tiga tahun kemudian,” kata Franjul.
Franszul menyebut, pihaknya juga akan mempertanyakan apakah dugaan tindak pidana yang dilakukan 23 tahun lalu masih bisa diproses hukum atau tidak. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disebut, kewenangan menuntut pidana daluwarsa sesudah 18 tahun, itu pun terhadap kejahatan yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup.