Kibaran Sang Merah Putih dari Penyandang Disabilitas di Kota Malang
Upacara peringatan HUT Ke-78 RI digelar secara sederhana oleh warga Tunggulwulung dan penyandang disabilitas di Kota Malang. Namun, kerja bersama itu sejatinya menggambarkan betapa besarnya semangat inklusivitas mereka.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
Kamis (17/08/2023), sejumlah orang berkumpul di dekat Lapangan Tunggulwulung, Kota Malang, Jawa Timur. Mereka menanti personal upacara lainnya datang. Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB.
Satu regu hansip (pertahanan sipil), 2-3 regu siswa sekolah, satu regu ibu-ibu, dan satu regu disabilitas, dengan perlahan bersiap menjelang upacara. Tak lama, Lurah Tunggulwulung Mochammad Khoiri datang bersama babinsa. Kepala kelurahan tersebut langsung memimpin geladi resik upacara sambil menunggu peserta upacara lain datang.
Beberapa kali tata cara upacara serta kata-kata saat memimpin barisan harus diulangi, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk merayakan HUT RI tersebut dengan khusyuk.
Meski sempat grogi dan kaku karena sudah lama mereka tidak merasakan upacara, upacara pun akhirnya berjalan lancar. Puncak upacara adalah dikibarkannya sang saka merah putih oleh disabilitas daksa dan netra, dengan dibantu oleh petugas pengibar bendera (paskibra) dari siswa kelas 10 dan 11 SMK Farmasi Maharani, Tunggulwulung.
Uniknya, pembacaan Pancasila oleh inspektur upacara juga diterjemahkan dengan bahasa isyarat oleh seorang difabel bisu tuli. Ia menerjemahkan setiap ucapan inspektur upacara dalam membacakan Pancasila dengan bahasa isyarat. Itu dilakukan karena ada peserta upacara yang merupakan difabel bisu-tuli.
Lantunan lagu ”Indonesia Raya” pun dinyanyikan bersama-sama dengan diiringi alunan musik dari grup musik Arbanat String Ansamble dan Soegeng Rawuh.
Saking asyik dan semangatnya berupacara, hansip yang bertugas menjadi komandan upacara pun nyaris lupa untuk membubarkan pasukan saat upacara telah selesai. ”Bubar, jalan,” teriak peserta upacara seolah mengingatkan sang komandan. Dan upacara singkat dan sederhana itu pun baru bubar setelah komandan hansip sadar dan membubarkan pasukan.
Peringatan HUT Ke-78 RI itu pun ditutup dengan tawa canda sukacita oleh semua peserta. Saling berjabat tangan dan berpelukan hingga meneteskan air mata.
Kalista (17), siswi SMK Farmasi Maharani, yang saat itu bertugas membantu kawan disabilitas untuk mengibarkan bendera, terlihat haru dan memeluk Santi, seorang disabilitas daksa yang bertugas sebagai pembawa dan pengibar bendera. Tangis haru Kalista diikuti hampir oleh semua teman-temannya sesama paskibra yang berjumlah total 9 orang.
”Rasanya terharu. Saya malu. Mereka yang memiliki keterbatasan saja bisa semangat dan memiliki jiwa nasionalisme sebesar itu. Saya, mungkin kalah,” katanya sambil mengusap air mata.
Sebagai generasi muda, ia merasa bahwa mungkin jika tidak bertugas saat itu, ia akan mengikuti upacara di sekolah dengan ala kadarnya. Hanya seolah kewajiban seorang siswa. Bukan karena bersemangat tinggi untuk ikut upacara seperti kawan-kawan disabilitas yang disaksikannya saat itu.
Memang, pada upacara kali itu, terasa istimewa karena kawan-kawan disabilitas menjadi bagian dari prosesi upacara. Di antara mereka ada yang menjadi pengibar bendera, membacakan UUD 1945, dan pembawa Pancasila (sekaligus penerjemah bahasa isyarat). Mereka berperan aktif, dan tidak sekadar menjadi peserta upacara.
”Senang rasanya bisa mengibarkan bendera merah putih pada upacara kali ini. Semoga saja ini akan menjadi contoh bagi masyarakat untuk menjadi semakin inklusif,” kata Santi, perempuan berkursi roda yang saat itu bertugas menjadi pengibar sang saka merah putih.
Saya malu. Mereka yang memiliki keterbatasan saja bisa semangat dan memiliki jiwa nasionalisme sebesar itu.
Lurah Tunggulwulung Mochamad Khoiri mengatakan, upacara kali ini bisa menjadi contoh bahwa masyarakat dengan keterbatasan fisik pun bisa mengambil peran dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. ”Semua bisa berperan sehingga nanti semoga banyak kawan disabilitas juga turut bersama-sama berani tampil dan membangun negara ini secara bersama-sama. Semua warga punya hak dan kewajiban sama kepada negara,” katanya.
Khoiri pun merasa, dengan sering berkumpul bersama kawan-kawan disabilitas, ia akan lebih paham kebutuhan mereka. Dengan demikian, ia bisa membuat kebijakan pembangunan yang lebih inklusif.
”Tema semangat peringatan HUT Ke-78 RI kali ini adalah semangat inklusivitas. Maka, kita semua harus terus belajar agar bisa menjadi inklusif dan bisa hidup bersama-sama meski berbeda kondisi fisik, misalnya,” katanya.
Demikianlah, dari lapangan di seberang sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Jalan Arumba, Tunggulwulung, itu, sekelompok masyarakat berusaha menggemakan nilai-nilai kemanusiaan dan semangat inklusivitas hidup bermasyarakat.