Brexit, Pemulih Harkat Penyandang Tunanetra
Dari puskesmas di sudut Kota Malang, Jawa Timur, lahir Brexit, layanan yang mengangkat harkat para penyandang tunanetra. Di sini, mereka sungguh diperlakukan sebagai manusia, tak sekadar angka.
Brexit atau Braille E-Ticket and Extraordinary Access for Visual Disabilities dirancang para petugas kesehatan di Puskesmas Janti, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Kemudahan layanan mulai dari penulisan resep obat berhuruf braille hingga jalur pemandu bagi penyandang tunanetra untuk masuk puskesmas dan menuju ruang-ruang pelayanan.
Fira Dwijayanti (34), tenaga teknis farmasi yang bergabung di Puskesmas Janti sejak 2009, setiap hari mendengar keluhan banyak orang. Di antaranya, sekelompok penyandang disabilitas visual penghuni Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Bina Netra (UPT RSBN) Dinas Sosial Jawa Timur yang lokasinya masuk wilayah kerja Puskesmas Janti.
Puskesmas Janti melayani 105 penghuni UPT RSBN dan 7 penyandang tunanetra lain. Adapun pada 2016, jumlah penyandang disabilitas tunanetra di Kota Malang tercatat 1.138 jiwa. ”Setiap hari setidaknya ada 5-10 orang periksa ke puskesmas. Sebulan sekali, kami juga mengunjungi RSBN untuk pengobatan dan penyuluhan. Di situ, kami mendengar keluhan dan kesulitan mereka. Hingga akhirnya terpikir untuk mengatasinya,” kata Fira, inovator Brexit, Senin (22/7/2019).
Belajar braille
Keluhan terbesar penyandang tunanetra, mereka sering tidak bisa minum obat sesuai arahan. Selain tergantung pada pendamping yang tidak selalu ada, mereka juga sering menghilangkan obat.
”Dampaknya, terapi bisa jadi tidak berjalan maksimal. Mereka harus berulang kali datang ke puskesmas meminta obat dan periksa ulang karena sakitnya tak kunjung reda. Padahal, obat-obatan, terutama jenis antibiotik, semestinya dihabiskan agar tak memicu resistensi di tubuh pasien,” ujar Fira.
Dari situ, Fira mulai berpikir bagaimana memfasilitasi penyandang tunanetra membaca sendiri aturan minum obatnya. Terlintas ide, aturan minum harus ditulis dengan huruf braille.
Fira pun belajar huruf braille sejak akhir 2016 dari para siswa tunanetra di RSBN. Tiap hari dia belajar seusai jam kerja. Selama dua bulan, Fira belajar braille dengan caranya sendiri. Huruf braille yang biasanya diraba dipelajari dengan dibaca atau dihafal.
Setelah merasa mampu, Fira mengajarkan huruf braille kepada para petugas lain di Puskesmas Janti. Pada 25 Januari 2017, Puskesmas Janti akhirnya meluncurkan program e-ticket atau label atau aturan minum obat untuk pasien tunanetra dengan huruf braille. Karena keterbatasan dana, huruf braille tak dicetak dengan printer khusus, tetapi dibuat manual menggunakan stilus dan riglet.
Praktiknya, setiap ada resep bagi pasien tunanetra, Fira atau petugas lain secara manual menuliskan huruf braille. Awalnya, huruf braille digunakan hanya untuk menulis aturan minum obat. Dari saran pasien, keterangan waktu minum obat lalu ditambahkan. Akhirnya, penulisan resep dengan huruf braille disempurnakan lagi dengan menulis nama pasien, jenis obat, tanggal kedaluwarsa, dan seluruh keterangan lain. Kini, pasien tunanetra di Puskesmas Janti bisa mengenali obatnya sendiri.
”Dengan mudah mengenali obat sendiri, para (pasien) tunanetra diharapkan menjalani terapi dengan maksimal. Jangan sampai putus mengonsumsi obat hanya karena tidak tahu obatnya yang mana,” ujar Fira.
Biaya murah
Kepala Puskesmas Janti Endang Listyowati mengatakan, setelah urusan obat terselesaikan, pihaknya mulai meningkatkan infrastruktur ramah penyandang tunanetra. Jalur pandu (guiding block) masuk puskesmas hingga karpet pemandu ke ruang tunggu dan ruang periksa pasien pun dibangun. ”Modalnya tidak besar. Hanya harus jeli agar biaya bisa ditekan. Kami habis sekitar Rp 14 juta,” ujar Endang.
Untuk menekan harga, Puskesmas Janti memesan tukang batu untuk membuat sendiri guiding block. Jika beli dalam bentuk jadi, mereka harus membeli dari Bogor dan butuh biaya mahal untuk mengirimkannya ke Malang. ”Untuk itu, kami meminta tukang membuat guiding block sendiri dengan ukuran, model, dan standar yang sudah kami konsultasikan ke dinas kesehatan dan Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia),” kata Endang.
Untuk kebutuhan dalam ruang, puskesmas memakai karpet merah dengan memberi aksen menonjol di beberapa bagian sebagai petunjuk. ”Ini agar tak perlu membongkar lantai keramik. Dan, sekali lagi, semua kami konsultasikan dengan kawan-kawan tunanetra sebab mereka yang akan menggunakannya,” ujar Fira.
Dengan kemudahan akses periksa, ditambah layanan resep braille, inovasi Puskesmas Janti masuk Top 99 Inovasi Pelayanan Publik dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2019.
Bahkan, Wali Kota Malang Sutiaji meminta agar Puskesmas Janti dijadikan puskesmas rujukan pasien tunanetra di seluruh Kota Malang. ”Wali Kota menyarankan kami mengusulkan pembelian printer braille seharga Rp 100 juta tahun depan. Tujuannya, agar kami tidak menulis resep secara manual. Kalau nanti jadi puskesmas rujukan, pasien akan semakin banyak dan kami bisa kewalahan kalau terus menulis manual,” ujar Endang.
Selanjutnya, ia berharap puskesmas bisa meningkatkan layanan dengan membuat materi penyuluhan dengan huruf braille. ”Nantinya kami ingin melayani penyandang disabilitas lain, misalnya dengan penggunaan bahasa isyarat,” katanya.
Inovasi tersebut mendapat apresiasi para penyandang tunanetra di Kota Malang. Prapto, warga tunanetra dari RSBN, mengatakan sangat terbantu dengan layanan tersebut. ”Kami jadi makin mandiri. Dulu harus ada bantuan pendamping untuk memilah dan menyiapkan obat. Dengan Brexit, macam-macam obat dicampur pun kami bisa membedakan sekaligus tahu catatan resepnya,” ujarnya.
Brexit tak sekadar memudahkan pasien tunanetra membaca resep obat. Inovasi ini menjadi salah satu cara memandirikan kaum difabel dalam mengakses layanan kesehatan. (DAHLIA IRAWATI)