Peremajaan Sawit, Karet, dan Kopi untuk Menopang Ekonomi Sumut
Sektor pertanian Sumut menghadapi ancaman menurunnya produktivitas karena tanaman sudah tua dan peremajaan mandek. Peremajaan sawit, kopi, dan karet mutlak untuk menyelamatkan ekonomi Sumut dalam jangka panjang.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sektor pertanian menjadi penopang perekonomian Sumatera Utara. Namun, sektor itu menghadapi ancaman menurunnya produktivitas karena tanaman yang sudah tua dan mandeknya peremajaan. Peremajaan tanaman perkebunan, khususnya sawit, kopi, dan karet, mutlak untuk menyelamatkan ekonomi Sumut dalam jangka panjang.
”Struktur ekonomi Sumut adalah agraris. Kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Sumut mencapai 23 persen. Karena itu, sektor pertanian harus diintervensi pemerintah dengan berbagai langkah konkret,” kata Kepala Biro Perekonomian Pemerintah Provinsi Sumut Naslindo Sirait, Selasa (15/8/2023).
Naslindo menyampaikan hal tersebut dalam siniar (podcast) bertajuk ”Perekonomian Sumatera Utara Terkini dan Prospeknya pada 2024” yang disiarkan melalui saluran Youtube EP TV yang dikelola Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU). Acara dipandu pengajar ekonomi pembangunan USU Coki Ahmad Syahwier.
Kalau struktur ekonomi Sumut dibedah lebih dalam lagi, kata Naslindo, kontributor terbesar di sektor pertanian adalah perkebunan, lalu diikuti pangan, dan hortikultura. Ada tiga komoditas yang mendominasi di perkebunan, yakni sawit, karet, dan kopi.
Tiga komoditas ini menjadi penopang ekonomi Sumut dalam beberapa dekade terakhir. Namun, saat ini, ketiga komoditas unggulan ini menghadapi persoalan yang relatif sama, yakni produktivitas tanaman yang semakin rendah akibat tanaman yang sudah tua dan kualitas bibit yang rendah. Masalah ini khususnya dihadapi oleh perkebunan milik rakyat.
”Produktivitas kopi secara nasional hanya 0,9 ton per hektar per tahun. Kita kalah jauh dari Vietnam dan Brasil yang produktivitas kebun kopinya mencapai 1,8-2 ton, lebih dari dua kali lipat produktivitas Indonesia,” kata Naslindo.
Karena itu, Pemprov Sumut bersama pemerintah pusat melakukan peremajaan tanaman perkebunan. Namun, program yang cukup masif hanya peremajaan sawit rakyat karena mendapat pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hasil pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Sementara, untuk peremajaan tanaman kopi dan karet mengalami kesulitan pembiayaan. Penebangan tanaman karet oleh petani kini sangat masif karena produktivitas yang menurun dan harga yang anjlok. ”Karena itu, kami mendorong juga pembiayaan melalui bank pembangunan daerah, yakni Bank Sumut dan juga bank lainnya,” kata Naslindo.
Selain sektor pertanian, kata Naslindo, sektor manufaktur juga menjadi motor pertumbuhan ekonomi di Sumut. Namun, industri pengolahan hanya terkonsentrasi di pusat pertumbuhan ekonomi, khususnya di wilayah aglomerasi Medan, Binjai, Deli Serdang.
Wilayah itu didukung oleh infrastruktur kawasan industri, pasokan energi yang memadai, jaringan jalan tol, pelabuhan, hingga bandara. Namun, di daerah Sumut lainnya infrastruktur sangat terbatas.
Pemerintah mulai meningkatkan pembangunan infrastruktur di Kepulauan Nias.
”Lima kabupaten/kota di Kepulauan Nias, misalnya, sangat jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi. Daerahnya sudah jauh, biaya produksi pun sangat tinggi,” kata Naslindo.
Karena itu, Naslindo menyebut, pemerintah mulai meningkatkan pembangunan infrastruktur di Kepulauan Nias. Pembangunan yang dilakukan meliputi infrastruktur dasar, yakni jaringan jalan lingkar Kepulauan Nias.
Kepulauan Nias mempunyai potensi karet yang besar. Namun, daerah itu hanya bisa menjual gumpalan getah karet mentah. Harganya jauh lebih murah dibandingkan daerah lain karena harus membayar biaya pengiriman ke Kota Sibolga dengan kapal penyeberangan selama satu malam. Padahal, jika di Nias ada pabrik karet remah, nilai tambah yang didapat daerah jauh lebih besar.
Naslindo menyebut, Sumut juga masih akan menghadapi isu tengkes (stunting), akses layanan kesehatan, indeks pembangunan manusia, dan kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumut, pada Maret 2021, angka kemiskinan Sumut 9,01 persen, lalu turun menjadi 8,33 persen pada September 2022, dan 8,15 persen pada Maret 2023. Meski menurun, angka kemiskinan ekstrem masih tinggi, mencapai 160.000 jiwa.
Coki Ahmad Syahwier mengatakan, di tengah pertumbuhan ekonomi Sumut, penanganan kemiskinan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ada sekitar 1,2 juta jiwa penduduk miskin di Sumut. ”Kantong kemiskinan ini terisolasi di kabupaten-kabupaten tertentu,” katanya.