Kereta Cepat China Melesat Sejagat
Perjalanan kereta cepat dari Jakarta ke Bandung (142,3 km) dapat ditempuh selama 40 menit saja. Akankah pembangunannya berlanjut?
Kehadiran infrastruktur kereta api menjadi salah satu kunci kemajuan suatu bangsa. Amerika Serikat, misalnya, menjadi maju pesat dibandingkan dengan negara lain sejak tersambungnya jalur kereta api dari pusat pemerintahan di pantai timur ke pantai barat Amerika Serikat di California pada tahun 1869.
Ketika mulai beroperasi, Pacific Railroad tidak hanya mengantar penumpang, tetapi juga mengangkut komoditas perdagangan. Jaringan kereta api lintas benua ini juga menumbuhkan kota-kota baru yang tadinya sulit dijangkau.
Pada periode hampir sama, tepatnya pada tahun 1867, di Jawa Tengah telah dibangun jalur kereta antara Kota Semarang dan Stasiun Tanggung (25 kilometer). Hanya saja, perkembangannya tidak semasif Pacific Railroad karena dukungan dari pemerintah kolonial Belanda tidak semasif dukungan dari Pemerintah Amerika.
Bagi orang Indonesia, keberadaan kereta api trans-Benua Amerika, dikenal lewat komik Lucky Luke dan berbagai buku tentang Old Shatterhand dan Winnetou karya Karl May. Kisah tersebut sungguh menarik karena memberi gambaran tentang nilai penting dari jaringan kereta trans-benua itu. Ada banyak konflik, bahkan pembajakan rangkaian kereta Pacific Railroad.
Setelah keberhasilan di Amerika, selama puluhan tahun, industri perkeretaapian mengalami pasang surut. Badai depresi besar (1929-1939) turut pula menunda ekspansi jalur kereta, baik di Eropa, Amerika, maupun di Indonesia. Terlebih lagi, pada tahun 1940-an, negara-negara di dunia disibukkan dengan perang dunia.
Shinkansen mendahului
Bulan Oktober 1964, dunia dikejutkan dengan peluncuran Shinkansen, yang beroperasi antara Tokyo dan Osaka (552,6 kilometer). Warga dunia kemudian terpesona oleh foto sebuah kereta berbentuk peluru dengan latar Gunung Fuji di kejauhan.
Baca juga: Menjajal Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Shinkansen, yang menghubungkan empat kota utama di Jepang itu, mampu melaju dengan kecepatan 210 kilometer per jam. Ketika itu, armada kereta di Jepang yang menggunakan lebar rel konvensional 1.067 mm biasanya hanya berlari maksimal 110 km per jam. Sementara kereta tercepat di Eropa pada masa itu hanya melaju 160 km per jam.
Teknologi pun terus berkembang. Apabila pada 1964 Tokyo-Shin Osaka ditempuh dalam 4 jam, kini 2 jam 30 menit. Shinkansen memang mumpuni. Hasil riset Japan Railway Central memamerkan keunggulan Tokaido Shinkansen untuk jarak di bawah 750 km dibandingkan dengan pesawat.
Waktu tempuh Shinkansen dari Tokyo ke Osaka selama 2 jam 25 menit ternyata mengimbangi total perjalanan pesawat selama 2 jam 30 menit. Terbang dari Tokyo ke Osaka memang hanya satu jam, tetapi perjalanan dari pusat kota ke bandara dan proses check-in butuh waktu 1 jam 30 menit.
Selama lebih dari satu dekade, Eropa seperti tidak berhasrat mengejar Jepang. Namun, perang Arab-Israel tahun 1973 memicu krisis energi pertama di Eropa setelah Arab mengembargo ekspor minyak bumi. Eropa langsung terpacu untuk mengembangkan angkutan yang lebih efisien.
Baca juga: Bukan Ekonomi Instan dari Laju Kereta Cepat dan LRT
Italia pada tahun 1977 mulai meluncurkan jaringan kereta cepat dari Roma ke Florence, The Direttissima. Diikuti oleh Perancis yang meluncurkan armada Trains a Grande Vitesse, TGV. Tahun 1990, Jerman memperkenalkan jaringan kereta cepat Intercity Express (ICE). Kemudian Spanyol meluncurkan jaringan kereta cepat Alta Velocidad Espanola (AVE) yang mulai beroperasi tahun 1992.
Adu cepat kereta kemudian terjadi di antara negara-negara Eropa dan Jepang. Bagaimana dengan Amerika? Meski jaringan kereta di Amerika adalah yang terpanjang di dunia, Amerika adem ayem dengan perkembangan kereta cepat.
Amerika tertinggal
Di negara adidaya itu, Amtrak mengoperasikan Acela untuk melayani penumpang antara Washington DC dan Boston. Laju Acela sebenarnya dapat mencapai 165 mil per jam (sekitar 265 km per jam). Namun, tentu jauh lebih lambat dari laju kereta cepat di Eropa, Jepang, bahkan China yang mencapai lebih dari 200 mil per jam (lebih dari 320 km per jam).
Pergerakan warga Amerika sekian lama memang mengandalkan kendaraan bermotor. Orang Amerika juga punya kultur bepergian dengan pesawat terbang, yang memang ditemukan oleh orang Amerika.
Rencana untuk mengoperasikan layanan kereta cepat di Amerika bukannya tidak ada. Operator swasta Brightline sedang membangun jaringan KA cepat yang membentang 351 km antara Rancho Cucamonga, di luar kota Los Angeles dan Las Vegas.
Ketika kelak beroperasi pada tahun 2027, dua kota itu hanya terpisah waktu selama 1 jam. Lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan naik mobil selama 4-5 jam atau dengan bus 5-7 jam.
Lima belas tahun sebelumnya, California High Speed Rail (CHSR) telah pula memulai pembangunan jalur KA cepat antara Los Angeles dan San Francisco (560 km). KA cepat dengan desain kecepatan 220 mil per jam (hingga 350 km per jam) itu ditargetkan menghubungkan dua kota utama di California itu dalam 2 jam dan 40 menit.
Persoalannya, hingga kini, megaproyek tersebut belum tuntas. Dua faktor utama yang menjadi penyebab adalah seretnya dukungan finansial dan dukungan politik yang tidak bulat.
Hal sebaliknya terjadi di China. Pemerintah China mendukung sepenuhnya pembangunan kereta cepat. Layanan KA cepat pertama di China dibuka antara Beijing dan Tianjin (117 km) pada Agustus 2008. Setelah itu, KA cepat China melesat tanpa tertandingi. Pada akhir 2022, telah terbangun 42.000 km jaringan KA cepat di daratan China, yang artinya dua pertiga jaringan KA cepat dunia ada di China.
Saat giat membangun, China mengimpor teknologi KA cepat dari mana saja. Dari Jepang hingga berbagai negara di Eropa. Alih teknologi kemudian terjadi begitu cepat. China kemudian mampu mengembangkan sendiri teknologi KA cepat bahkan mendapatkan berbagai paten terkait teknologi KA cepat.
Lompatan China
Ini lompatan luar biasa. Dulu, China hanya sekadar mengirim tenaga kasar untuk membantu pembangunan Pacific Railroad. Itu pun lama tak diakui.
Laman South China Morning Post (2019) kemudian menurunkan laporan khusus dengan tema ”The Chinese Who Built America’s Trans Continental Railroad are Recognised, at Last”. Laporan tersebut mengungkapkan tentang 15.000 pekerja China dari Provinsi Guangdong, yang dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur kereta api di AS.
Ketika itu, proyek megainfrastruktur lintas Amerika terhambat oleh karena keterbatasan tenaga kerja. Keterlibatan tenaga kerja asal China itu ternyata baru diakui dalam 150 tahun peringatan jaringan kereta lintas benua itu.
Kini terdapat 33 dari 34 daerah—setingkat provinsi di China—yang telah terhubung dengan jaringan KA cepat. Hanya Makau yang tidak terhubung dengan jaringan KA cepat meski warga Makau dapat dengan mudah naik KA cepat dari Stasiun Zhuhai di utara Macau.
China sebenarnya juga mengoperasikan kereta Maglev di Shanghai dengan kecepatan puncak 431 km per jam. Namun, China memilih lebih fokus membangun jaringan KA cepat dengan teknologi yang terus dikembangkan sendiri.
Pada pertengahan tahun 2023 ini, China Railway telah menguji kereta CR450 di Provinsi Fujian antara Fuzho dan Xiamen. KA cepat itu berhasil melaju hingga 453 km per jam. Hasil tes itu menandai capaian terkini dari perkeretaapian di China, yang boleh jadi segera akan diterapkan secara operasional.
Sementara di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat ini telah berjajar sejumlah kereta cepat dari generasi terbaru CR400AF. Pada badan kereta tertulis kode KCIC400AF dengan tambahan informasi 350 km per jam.
KA cepat, dengan teknologi dari China, ini nantinya beroperasi dengan kecepatan jelajah 350 km per jam. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung (142,3 km) dapat ditempuh selama 40 menit saja. Akankah pembangunannya berlanjut? Waktu yang kelak menjawabnya.