Bukan Ekonomi Instan dari Laju Kereta Cepat dan LRT
Ada asa meraup cuan dari operasional kereta cepat dan kereta ringan. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi ini bukanlah proses instan, melainkan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Tumbuhnya pasar, pusat belanja, minimarket, restoran, maupun kafe menjadi pemandangan yang jamak di sekitar stasiun-stasiun KRL Commuter Line di Jabodetabek bahkan hingga Lebak. Kemacetan lalu lintas di sekitar stasiun pun membayang di jam sibuk.
Tak ketinggalan pengembang properti memburu lahan-lahan di seputar stasiun untuk dijadikan hunian, pusat komersial, maupun perkantoran.
Pelan-pelan, pemda ikut membelanjakan anggaran untuk menata kawasan di sekitar stasiun atau juga halte bus. Kawasan kumuh di sepanjang rel, sedikit banyak bersalin rupa.
Buah pertumbuhan ekonomi di sekitar stasiun tidak dipetik dalam hitungan hari atau bulan, melainkan hingga tahunan bahkan puluhan tahun.
Namun, pengalaman stasiun-stasiun kereta yang ada ini menyelipkan asa dalam operasional kereta cepat dan LRT Jabodebek yang segera beroperasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, Kamis (10/8/2023), mengatakan, pengoperasian kedua kereta itu sangat berguna bagi kelancaran dan peningkatan kecepatan mobilitas masyarakat.
Dengan kereta cepat Jakarta-Bandung, perjalanan yang ditempuh sekitar 40 menit atau jauh lebih efisien dibandingkan berkendara mobil yang membutuhkan waktu 3-4 jam.
Begitu juga dengan LRT Jabodebek yang akan menambah moda alternatif transportasi para penglaju di Jakarta dan sekitarnya. “Jelas sekali kereta cepat dan LRT Jabodebek ini dapat memangkas waktu perjalanan masyarakat dengan cukup signifikan,” ujarnya.
Pengoperasian dua moda transportasi massal ini juga berpotensi mengurangi volume kepadatan kendaraan karena penumpang kendaraan bermotor beralih menggunakan moda transportasi ini. Hal ini bisa memperlancar distribusi barang dan jasa dari kegiatan ekonomi yang menggunakan kendaraan bermotor.
Baca juga : Akses ke Stasiun
Baca juga : Biaya Kereta Cepat
Menurut hitungan Apindo, setiap tahun tercipta kerugian ekonomi Rp 65 triliun di sekitar Jabodetabek karena pemborosan bahan bakar, biaya pemeliharaan kendaraan yang terlampau sering digunakan, kecelakaan, hingga polusi udara. Peralihan mobilitas ke angkutan umum diharapkan berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro mengatakan, pembangunan infrastruktur transportasi adalah salah satu syarat mendorong dan mengembangkan perekonomian. Adanya sarana transportasi meningkatkan mobilitas masyarakat dengan lebih efisien sehingga pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Transportasi itu salah satu tujuan akhirnya adalah memfasilitasi pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Akan tetapi, dampak ekonomi yang diciptakan dari dua moda transportasi ini sifatnya jangka panjang. Berbeda dengan pembangunan dan pengoperasian jalan tol yang dampaknya secara instan dirasakan masyarakat, manfaat ekonomi pengoperasian kereta baru terasa setelah terbangun keramaiannya. Maka diperlukan juga pembangunan dan pengembangan aksesabilitas warga menuju stasiun-stasiun kereta ini.
Ia menjelaskan, pengoperasian kereta akan mendorong pertumbuhan spasial kawasan di sekitar stasiun. Dalam kacamata tata kota secara makro, lanjut Tory, hal ini berpotensi menciptakan tata ruang kota yang lebih efisien.
Misalkan, bila orang hendak berolah raga, bisa menumpang kereta MRT menuju Stasiun Gelora Bung Karno. Contoh lainnya, bila orang hendak berbelanja, bisa menumpang KRL commuter tujuan Tanah Abang. Dengan demikian, tata kota bisa dirancang dengan kekhususan aktivitas masyarakat. Akses masyarakat menuju destinasi tersebut juga jadi lebih mudah.
Pengembangan kawasan
Baik Tory maupun Shinta mengatakan, salah satu dampak perekonomian dari pengoperasian dua kereta ini adalah pengembangan kawasan ekonomi di sekitar stasiun atau titik-titik transit intermodal.
Tory mencontohkan daerah di sekitar stasiun-stasiun KRL Commuter Line, mempunyai nilai tambah bagi calon pembeli. Pengembang menambahkan kedekatan dengan stasiun sebagai bagian dari nilai jual properti mereka.
Semakin banyak pengguna kereta, tercipta kerumunan yang besar. Inilah potensi ekonomi yang dimanfaatkan pelaku usaha.
Kemudahan masyarakat untuk mobilitas dengan angkutan umum juga dikemukakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Dalam wawancara khusus dengan Kompas di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Kamis (3/8/2023), Budi menjelaskan, beroperasinya moda kereta baru ini bisa mengembangkan kawasan berorientasi transit (TOD).
“Warga tidak mesti tinggal di pusat kota, tetapi mereka bisa tinggal di kawasan dekat stasiun. Untuk bepergian, mereka bisa tinggal sambung-menyambung dengan moda transportasi lainnya,” ujar Budi.
Harapannya, lanjut Budi, integrasi antarmoda tak hanya memudahkan mobilitas warga tapi juga mengurangi beban ongkos transportasi. Dengan demikian, perekonomian masyarakat lebih efisien.
Selain itu, Budi yakin, setelah kereta cepat Jakarta-Bandung dan LRT Jabodebek itu beroperasi, perusahaan pengembang juga akan melirik kawasan dekat stasiun untuk menciptakan pusat permukiman baru.
"Nanti bisa jadi akan tumbuh kota-kota baru,” ujar Budi.
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, pengembangan kawasan stasiun akan dilakukan bertahap. Di area Stasiun Halim, misalnya, pihak KCIC tengah mengembangkan lahan yang telah diakuisisi perusahaan untuk kawasan komersial. "Di banyak negara, stasiun kereta cepat sudah tidak terlihat karena tertutup bangunan komersial di sekitarnya. Pembangunan ini membutuhkan waktu."
Adapun area komersial di dalam stasiun mulai dilirik berbagai perusahaan. Namun, besaran pemasukan di luar penjualan tiket kereta masih dikalkulasi lagi setelah operasional komersial kereta yang merupakan bisnis inti KCIC.
Sektor pariwisata
Sejauh ini, Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Jawa Barat telah melirik peluang besar itu. Ketua Asita Budijanto Ardiansjah, mengatakan, KCJB memudahkan wisatawan dari Jakarta ke Bandung. Waktu tempuhnya pun berkurang dari tiga jam menjadi sekitar 40 menit.
“Dengan kereta cepat ini, konsep pariwisata di Bandung akan berubah. Harapannya, orang tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Nanti, di Kota Bandung baru sewa kendaraan,” ungkapnya.
Pemerintah juga menyediakan angkutan pengumpan dari stasiun kereta cepat ke kota. Wisatawan juga dapat memanfaatkan angkutan yang tersedia menuju kota sehingga mengurangi kemacetan di Bandung.
“Di Bandung, ada sekitar 200 sampai 300 biro perjalanan wisata yang dapat dimanfaatkan wisatawan. Jadi, tidak perlu lagi memakai kendaraan pribadi. Konsep ini sudah diterapkan di Yogyakarta dan Bali,” ungkap Budijanto.
Pihaknya pun optimistis, kunjungan wisatawan ke Bandung dan sekitarnya akan meningkat dengan kehadiran KCJB. “Orang akan semakin sering ke Bandung karena waktu tempuhnya semakin cepat. Tapi, mereka tidak perlu menginap karena datang pagi pulang sore,” ucapnya.
Kondisi itu akan menguntungkan bagi pengelola tempat pariwisata dan tempat makan. Namun, ia khawatir industri hotel merugi karena wisatawan tidak menginap. “Kami berharap ada sinergi antara Pemkot Bandung dan pelaku pariwisata untuk mengantisipasi hotel sepi,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jabar Herman Muchtar juga berharap, KCJB dapat meningkatkan lama tinggal wisatawan di Bandung, bukan sebaliknya. “Saat ini, lama tinggal wisatawan hanya 1,7 hari. Padahal, harusnya minimal dua hari,” katanya.
Selain itu, Dwiyana menambahkan, pihak KCIC juga berencana mengelola perjalanan wisata bagi warga Jakarta yang ingin berwisata olahraga ke Bandung di akhir pekan. Waktu tempuh yang singkat memungkinkan orang pergi-pulang Jakarta-Bandung dan berkegiatan dalam satu hari.
Kerja sama dengan pelaku usaha wisata pun dijalin untuk memudahkan pengguna kereta. (CHE/RTG/IKI)