Daya Petani Karet Memperjuangkan Perbaikan Kesejahteraan
Tanpa pendampingan yang memadai, para petani karet berjuang memperkuat posisi tawar dengan menggelar lelang karet.
Resah dengan harga karet yang terus anjlok, kelompok petani karet di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menggelar lelang karet perdana. Tanpa pendampingan yang memadai, mereka berjuang mencoba memperkuat posisi tawar.
Dengan membaca teks yang sudah disiapkan, Sungkunen Tarigan (47), Ketua Kelompok Tani Mbuah Page, memberi sambutan pembukaan lelang karet perdana di Kantor Desa Kuta Jurung, Kecamatan Sinembang Tanjung Muda (STM) Hilir, Deli Serdang, Kamis (10/8/2023). Ruangan seluas sekitar 3 meter x 8 meter yang biasanya digunakan untuk melayani warga itu disulap menjadi ruang lelang karet.
Pemimpin lelang, Tobat Perangin-Angin (50,) duduk di depan bersama Kepala Desa Kuta Jurung Abadi Sitepu, Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Ishak Leono, dan perwakilan Dinas Perkebunan dan Peternakan Sumut, Rita Budiati Harahap. Lima peserta dari 17 orang yang diundang, berikut para pengurus koperasi, duduk menghadap mereka.
Lelang yang sedianya digelar pukul 10.00 itu molor hingga setelah makan siang karena para peserta harus menengok terlebih dahulu bahan olahan karet (bokar) yang akan dilelang. Getah karet itu berada di lima tempat berbeda dengan jarak cukup jauh. Lokasinya tersebar di dua kecamatan, yakni STM Hilir dan STM Hulu.
Adapun lokasi pengumpulan getah terjauh ada di Desa Durian Tinggung, Kecamatan STM Hilir, sekitar 15 kilometer dari Kantor Desa Kuta Jurung. Separuh jalan menuju desa itu beraspal mulus, namun sisanya dipenuhi lubang.
Baca juga : Produksi Karet Kian Merosot, Pemerintah Diminta Lakukan Intervensi
Rimbun kebun karet warga dengan mudah ditemukan di kanan-kiri jalan menuju desa-desa di STM Hilir. Ada yang terawat dengan baik, ada juga yang rumputnya tinggi. Pohon karet ada yang terlihat muda, namun ada juga yang diameter batangnya hingga 30 sentimeter.
Beberapa kali terlihat tunggul-tungguh pohon karet menyembul di tanah. Tampak pula di sela tunggul tanaman salak tumbuh menghijau.
Menurut Sungkunen, dulu hampir semua warga Desa Kuta Jurung, STM Hilir, adalah petani karet. Namun, sepuluh tahun terakhir banyak warga yang menebang pohon karetnya seiring dengan anjloknya harga. Warga beralih membudidayakan tanaman kelapa sawit atau salak.
”Kurang lebih ada 200 keluarga yang ada di Kuta Jurung, dulu semua punya kebun karet, sekarang tinggal 30 keluarga,” kata Sungkenan.
Kondisi lebih baik bisa ditemukan di Kecamatan STM Hilir. Kawasan itu berada di punggung Bukit Barisan. Warga tidak menebang pohon karet karena lahannya susah dikonversi menjadi sawit atau pengangkutannya sulit. Jadi, banyak pohon yang dibiarkan begitu saja tidak disadap.
Saat ini harga bokar di tingkat petani hanya berkisar Rp 7.000 hingga Rp 7.500 per kilogram (kg). Namun, bersama Kelompok Tani Mbuah Page yang beranggota sekitar 100 orang, petani bisa mendapatkan harga getah Rp 8.000 hingga Rp 8.800 per kg.
”Harga karet kami ini tidak memadai lagi. Bisa jadi kalau harganya begini terus, maka dua tahun lagi pokok karet kami ini ditebang semua karena tidak mungkin lagi dikerjakan,” kata Sungkunen.
Sungkunen yang memiliki lahan 4 hektar, misalnya, hanya mengerjakan 1 hektar yang ia deres sendiri. Seluas 3 hektar lainnya dibiarkan. Produktivitas tanamannya yang berusia 7-8 tahun itu sekitar 70 kg getah per minggu. Jika dirawat dengan baik, produktivitasnya bisa mencapai 150 kg getah per minggu.
”Tapi, pupuk mahal, pupuk subsidi tidak ada,” kata Sungkunen. Pupuk NPK phonska, misalnya, terakhir ia beli Rp 750.000 per karung isi 50 kg, sedangkan pupuk subsidi Rp 150.000 per karung.
Para petani mulai menebang pohon karet sejak harga menyentuh Rp 9.000 per kg. Padahal, petani karet baru sejahtera kalau harga 1 kg getah karet setara dengan harga beras.
Bendahara Kelompok Tani Mbuah Page Sentosa Perangin-Angin mengatakan, saat harga getah mencapai Rp 11.000 per kg tahun lalu, kelompok tani bisa menghasilkan 70 ton karet per minggu. Kini untuk mencapai 40 ton perlu waktu dua minggu.
Baca juga : Terpuruk, Selamatkan Industri Karet Nasional
Untuk mendongkrak harga, para pengurus kelompok tani didukung kepala desa menggelar lelang siang itu. Selepas menyantap nasi bungkus yang disediakan panitia, lelang pun diawali dengan sambutan Sungkunen.
”Ini untuk memperkuat mata rantai penjualan bokar agar memberi manfaat besar pada petani,” ucap Sungkunen. Lelang direncanakan digelar dua minggu sekali atau jika dalam waktu satu minggu sudah terkumpul sekitar 40 ton bokar.
Total ada sekitar 40 ton getah karet yang dilelang hari itu. Umur getah beragam, mulai dari tiga hari sampai 14 hari, sehingga kadar airnya pun tidak sama. Warna bokarnya juga tidak sama. Ada yang kering kecokelatan, ada yang masih basah seperti tahu.
Abadi Sitepu mengatakan, pemerintah desa mendukung lelang itu agar harga karet petani tidak turun dan petani pun tidak menebang pohonnya.
Lelang batal
Setelah pembacaan tata tertib lelang, diumumkan bahwa harga dasar getah yang ditetapkan kelompok tani Rp 10.100 per kg. Terdapat klausul jika tidak ada peserta yang menawar sesuai atau di atas harga dasar, lelang dianggap batal. Selanjutnya akan dilakukan negosiasi.
Beberapa kali peserta mengajukan pertanyaan, seperti soal umur getah dan apakah getah telah menggunakan cuka pembeku karet. Ternyata tidak semua petani menggunakan cuka.
Peserta juga menanyakan hal-hal teknis, seperti siapa yang membayar Pajak Penghasilan (PPh) 0,25 persen dan apakah ada NPWP. Mereka juga bertanya soal pembayaran apakah bisa dilakukan sehari setelah penimbangan karena bagian keuangan tidak bisa membayar di sore hari. Beberapa kali pemimpin lelang dan pengurus koperasi saling menatap, bingung.
”Mohon maklum ya, Pak, baru perdana,” kata Tobat. Karena kelompok tani belum memiliki NPWP, akhirnya diputuskan pembayaran ditransfer ke rekening ketua kelompok dengan NPWP pribadi.
Biaya pengangkutan dari lokasi pengumpulan karet ke pabrik peserta lelang di Besitang, Kisaran, Rantau Prapat, juga ditanyakan peserta karena pengangkutan ke pabrik ditanggung pemenang, termasuk biaya bongkar muat. Panitia lelang ternyata belum menyiapkan rincian harganya. Akhirnya lelang dipotong panitia yang menelepon pemilik truk pengangkut.
”Ke Besitang piga ndai?” tanya Sentosa menelepon rekannya dalam bahasa Karo, menanyakan ongkos angkut dari STM Hilir ke Besitang, Langkat. ”Ke Besitang 1,5 juta,” katanya setelah mendapat jawaban dari ujung telepon.
”Ke Kisaran berapa?” celetuk peserta lelang. Sentosa pun menanyakan lagi kepada orang yang ia telepon dalam bahasa Karo. ”Dua juta,” kata Sentosa lagi. Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumut Edy Irwansyah pun membantu petani memperlancar proses lelang itu.
Peserta kemudian mengisi penawaran mereka dan memasukkannya ke dalam amplop. Amplop kemudian dibuka dan penawarannya ditulis di papan di depan peserta.
Lima peserta menawar Rp 8.800 hingga Rp 9.230 per kg. Ada juga yang menawar Rp 10.500 per kg, namun barang sudah sampai pabrik.
Tampak wajah-wajah kecewa pengurus kelompok tani mengetahui penawaran itu. Harga jauh dari harapan kelompok tani sehingga lelang hari itu dinyatakan batal.
Memang hasil lelang belum sesuai harapan. Namun, ini menjadi langkah petani agar punya posisi tawar.
Negosiasi kelompok tani dengan peserta lelang akhirnya dilakukan dan disepakati harga jual karet itu Rp 9.230 per kg.
”Memang hasil lelang belum sesuai harapan. Namun, ini menjadi langkah petani agar punya posisi tawar,” kata Sungkunen.
Harga itu sedikit lebih baik dibandingkan harga di pasaran, yakni Rp 8.800 per kg. Bedanya, kini bokar sudah terkumpul sehingga pembeli tidak perlu mengambil satu per satu di pengumpul. Pemenangnya pun pihak yang memang biasa mengambil karet dari petani di kawasan itu.
Belajar sendiri
Pihaknya juga mengakui masih banyak hal teknis yang harus dibenahi, seperti menyeragamkan mutu karet petani dan mengumpulkan karet di satu tempat. Kekurangan itu bisa dimaklumi karena kelompok tani beranggota sekitar 100 petani itu belajar sendiri bagaimana lelang karet diselenggarakan dengan bertanya kepada banyak pihak.
”Kalau dibilang ada pendampingan dari pemerintah, ya, ada sesekali ditengok petugas dari dinas perkebunan. Tetapi, sepertinya kurang serius,” ujar Sungkunen.
Gapkindo Sumut mendukung langkah petani karena tanpa bahan baku, perusahaan karet akan tutup. ”Kami jauh-jauh datang tentu untuk mendukung petani,” kata Ishak.
Secara teknis proses lelang itu memang masih banyak yang harus dibenahi. Meski belum lancar, lelang menjadi langkah maju untuk membuat petani sejahtera, mengingat 80 persen produksi karet nasional adalah karet rakyat.
”Perusahaan bisa tutup karena tidak ada bahan baku, dan itu artinya pemutusan kerja,” lanjutnya.
Ke depan, Ishak mengusulkan, bokar perlu dikumpulkan di satu tempat. Saat bokar sudah tersusun sesuai kadarnya dengan kualitas seragam, kelompok tani bisa mengirimkan foto saja ke perusahaan dan perusahaan bisa menawar harganya dari jauh, tidak perlu datang ke lokasi untuk mengikuti lelang.
Baca juga : Enam Tahun Terakhir, Delapan Pabrik Karet di Sumsel Tutup
Terkait penawaran harga, Ishak menyebut harga karet rakyat sangat berhubungan dengan harga internasional yang akhir-akhir ini terus turun karena gejolak perekonomian dunia. Hal itu dimulai dari pandemi Covid-19, lalu perang Rusia-Ukrania, dan terakhir krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Pada saat yang sama, produktivitas karet rakyat terus menurun, tidak mampu bersaing dengan negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand, yang produktivitasnya tinggi. Produktivitas perkebunan karet di Indonesia sekitar 300 kilogram karet remah per hektar per tahun. Angka ini seperempat dari produktivitas di negara lain yang bisa mencapai 1.300 kg per hektar per tahun (Kompas, 6/7/2023).
Produktivitas karet negara-negara di Afrika, seperti Pantai Gading dan Kamerun, juga meningkat. Ini membuat kondisi karet dalam negeri semakin terpuruk dan posisinya bisa digantikan negara lain.
Dalam jangka panjang, Ishak meminta pemerintah mendukung petani dengan memberikan bibit unggul. Sementara dalam jangka pendek, pemerintah perlu membantu ekonomi petani agar bisa bertahan sambil menunggu tanaman karet yang ditanam bisa dipanen. Mereka perlu menunggu 6-7 tahun.
Anehnya, meskipun penebangan pohon karet masif dilakukan petani 10 tahun terakhir dan terlihat jelas di lapangan, data Badan Pusat Statistik menunjukkan adanya peningkatan luas kebun karet rakyat. Sebagai contoh, luas kebun karet rakyat pada tahun 2018 mencapai 3,236 juta hektar. Pada tahun 2019, luasnya meningkat menjadi 3,269 hektar dan tahun 2020 menjadi 3.368 hektar.
Baca juga : Dalam Satu Dekade Terakhir, Harga Karet Alam Dunia Cenderung Turun
Rita Budiati mengatakan, Dinas Perkebunan dan Peternakan Sumut akan berkoordinasi dan terus mencari cara bagaimana agar petani karet tidak beralih ke komoditas lain. Pihaknya menyambut positif lelang karet itu dan itu bisa menjadi menjadi proyek percontohan untuk daerah lain. Ia juga terbuka atas masukan dari kelompok tani.
Sentosa pun berharap pemerintah mendengarkan keluhan petani agar pohon karet tidak sampai ditebang. Bahkan, lahan yang semula beralih fungsi menjadi kebun sawit atau lainnya bisa ditanami kembali.
”Kalau 3 hektar pohonnya ditebang, tiga orang jadi penganggur, dan kriminalitas akan meningkat,” ujar Sentosa.
Tantangan lain, ada pula tauke kayu yang melihat potensi kayu karet itu. Satu truk kayu karet dihargai Rp 1,5 juta sehingga petani yang kesulitan keuangan dengan mudah memotong pohon karetnya.
”Sudah 15 tahun kami menjerit, tidak diperhatikan,” kata Sentosa. Petani pun bergerak sendiri menggelar lelang meski tanpa pendampingan yang memadai.