Konsistensi Djoko Pekik yang Melintasi Zaman
Pelukis senior Djoko Pekik berpulang dengan mewariskan karya monumental yang menandai zaman. Konsistensinya menggarap tema kerakyatan, sosial politik, dan kemanusiaan terbawa hingga akhir hayat.
Suara sirene ambulans memecah keramaian kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Sabtu (12/8/2023) siang. Dengan kawalan petugas kepolisian, ambulans tersebut berjalan lambat melewati kepadatan lalu lintas. Di dalam mobil ambulans itu, terbaring jenazah Djoko Pekik.
Pelukis senior itu meninggal dunia pada usia 86 tahun, Sabtu pagi sekitar pukul 08.00, di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Dari rumah sakit itu, jenazah Pekik dibawa pulang ke rumah duka di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam perjalanan ke rumah duka, ambulans yang membawa jenazah sang maestro lukis itu sengaja melewati kawasan Malioboro. Sebab, semasa hidup, Djoko Pekik sangat suka melintasi kawasan tersebut.
"Bapak itu kalau pergi ke mana saja, pasti pulangnya lewat Malioboro. Enggak peduli itu mau macet atau apa, harus lewat Malioboro. Dia paling senang lihat lampu-lampu di Malioboro sama kalau menjelang 17 Agustus gini kan banyak hiasan-hiasan gitu," ujar anak ketiga Djoko Pekik, Inten Lugut Lateng.
Setelah melintasi kawasan Malioboro, ambulans yang membawa jenazah Pekik melewati daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Di sana, mobil tersebut beserta rombongan sempat berhenti sejenak di depan rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Djoko Pekik.
"Di Wirobrajan itu rumah Bapak dari dulu, dari saya kecil memang di situ. Tahun 1994, Bapak ada rumah lagi yang sekarang ditempati itu dan sampai sekarang di sana, tapi rumah Wirobrajan itu kan sangat berarti buat Bapak," ungkap Inten.
Baca juga: Djoko Pekik, Sang Pelukis ”Berburu Celeng”, Meninggal
Inten menuturkan, sekitar tiga pekan lalu, Pekik sempat dirawat inap di RS Panti Rapih karena tangan kirinya patah akibat jatuh. Namun, setelah dirawat selama dua hari, dia diperbolehkan pulang. "Cuma digips saja terus pulang," ujarnya.
Akan tetapi, pada Sabtu pagi, Pekik mengalami demam dan muntah-muntah. Oleh karena itu, keluarga kemudian membawanya ke RS Panti Rapih untuk diperiksa. Namun, pelukis yang pernah menjadi tahanan politik tersebut kemudian meninggal dunia.
Inten mengatakan, selama beberapa waktu terakhir, mobilitas Djoko Pekik relatif terbatas karena usianya sudah sepuh. Untuk mobilitas sehari-hari, Pekik harus dituntun saat berjalan kaki atau menggunakan kursi roda. Meski begitu, Pekik terkadang masih menghadiri acara-acara kesenian di Yogyakarta dan sekitarnya.
Menurut rencana, jenazah Pekik bakal dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto di daerah Imogiri, Bantul, pada Minggu (13/8/2023) siang. Sebelum pemakaman, para seniman Yogyakarta akan menggelar acara di rumah duka sebagai bentuk penghormatan terhadap Pekik.
"Lokasi pemakaman itu permintaan Bapak dan sudah disiapkan makamnya oleh Bapak sendiri. Sudah beberapa tahun yang lalu disiapkan," tutur Inten yang menyebut Pekik sebagai ayah yang selalu ngemong anak-anaknya.
Bapak itu kalau pergi ke mana saja, pasti pulangnya lewat Malioboro. Enggak peduli itu mau macet atau apa, harus lewat Malioboro
Sosial politik
Djoko Pekik lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, pada 2 Januari 1937. Dia menempuh studi seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, tahun 1957-1962. Selain itu, Pekik juga bergabung dengan Sanggar Bumi Tarung yang berhaluan kiri.
Sesudah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Djoko Pekik ditangkap karena dianggap berhubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dia kemudian mendekam di penjara di Yogyakarta selama sekitar tujuh tahun, yakni antara 1965-1972.
Baca juga: Djoko Pekik: Saya Terus Melukis ”Sak Kuate”!
Kurator seni rupa Kuss Indarto menuturkan, Pekik dan sejumlah seniman Yogyakarta yang ditangkap saat itu “diselamatkan” oleh Bung Karno sehingga mereka tidak dikirim ke Pulau Buru, Maluku. Saat itu, kata Kuss, Bung Karno berpesan kepada Komandan Korem di Yogyakarta agar para seniman yang ditangkap tidak dikirim ke Pulau Buru.
“Waktu itu, Bung Karno dengan heroik bilang, ‘Menciptakan seratus insinyur itu jauh lebih mudah dibanding menciptakan satu orang seniman.’ Makanya Pak Pekik tidak dikirim ke Pulau Buru,” ujar Kuss.
Kuss memaparkan, setelah keluar dari penjara, Pekik sempat mengalami kesulitan ekonomi. Saat itu, Pekik pernah diminta untuk membuat lukisan potret, bunga, dan pemandangan yang indah. Namun, Pekik menolak permintaan itu karena tidak sesuai dengan pilihannya sebagai seniman yang konsisten mengangkat masalah kerakyatan dan sosial politik.
Karena menolak permintaan tersebut, Pekik waktu itu harus bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarganya. “Pak Pekik menjadi salah satu tokoh yang tetap bersikukuh mengambil tema-tema sosial politik menjadi subject matter di dalam karya-karya seni rupanya. Ini jarang dilakukan perupa-perupa lain,” ungkap Kuss.
Baca juga: Libido Rakyat dalam Kanvas Djoko Pekik
Kuss menambahkan, nama Pekik sebagai seniman melambung setelah dia menjadi peserta pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada tahun 1990-1991. Dia menyebut, keikutsertaan Pekik waktu itu sempat diprotes oleh beberapa seniman lain karena Pekik dianggap sebagai seniman kiri. Namun, Pekik akhirnya tetap mengikuti pameran itu.
Nama Pekik kian moncer setelah dia menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada 16-17 Agustus 1998. Pameran yang digelar dalam waktu sangat singkat itu hanya menampilkan satu lukisan, yakni “Berburu Celeng”. Lukisan itu kemudian menimbulkan kehebohan karena terjual dengan harga yang fantastis, yakni Rp 1 miliar.
Kuss menyebut, lukisan “Berburu Celeng” merupakan karya puncak atau masterpiece dari Djoko Pekik. Dia menambahkan, lukisan tersebut menjadi monumental bukan hanya karena harganya yang mahal, tetapi karena memiliki gagasan yang kuat dan hadir di momentum yang tepat.
Selain itu, lukisan “Berburu Celeng” juga dinilai sebagai penanda penting perubahan sosial politik dari Orde Baru ke masa Reformasi. “Tidak banyak seniman yang mampu melahirkan melahirkan karya puncak atau masterpiece yang fenomenal yang menohok ingatan publik,” kata Kuss.
Kemanusiaan
Konsistensi Pekik untuk mengangkat masalah rakyat kecil dan sosial politik masih terasa hingga pameran tunggal terakhirnya yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada 26-31 Maret 2022. Pameran bertajuk Gelombang Masker itu menampilkan lukisan-lukisan Pekik yang dibuatnya selama pandemi Covid-19.
Salah satu lukisan yang dihadirkan dalam pameran itu juga berjudul “Gelombang Masker”. Lukisan itu menampilkan orang-orang yang memakai masker dan berkumpul di dekat sebuah mobil bak terbuka. Di atas mobil bak terbuka itu, tampak dua orang yang hendak membagikan barang bantuan.
Secara simbolis, lukisan tersebut menggambarkan beban berat yang harus ditanggung masyarakat saat pandemi Covid-19. Namun, di tengah persoalan itu, ada orang-orang yang bersedia membantu sesama.
Sementara itu, pelukis Nasirun menuturkan, Djoko Pekik merupakan pelukis yang selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam karya-karyanya. Dia menyebut, bagi Djoko Pekik, karya seni yang baik harus memiliki manfaat, bukan sekadar ekspresi dari senimannya.
”Pak Pekik itu (sangat peduli) kemanusiaan karena seniman dulu itu kan sandarannya benar. Mungkin definisi seni yang baik (bagi Djoko Pekik) itu adalah yang punya kemaslahatan,” ujarnya.
Tidak banyak seniman yang mampu melahirkan melahirkan karya puncak atau masterpiece yang fenomenal yang menohok ingatan publik
Nasirun menambahkan, dalam berbagai kesempatan, Djoko Pekik kerap berpesan kepada dirinya agar meneruskan perjuangan untuk menghasilkan karya seni yang sarat kemanusiaan. Apalagi, pada masa sekarang, nilai-nilai kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
”Hari ini mungkin kemanusiaan itu menjadi barang yang sangat mahal. Itu yang almarhum selalu tekankan setiap ketemu. Beliau selalu bilang, teruskan-teruskan,” kata Nasirun.