Polisi Cabuli Anak di Kalteng Divonis Dua Bulan, Jaksa Bakal Banding
Polisi cabul di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, divonis dua bulan penjara setelah dinyatakan bersalah atas kasus pencabulan anak di bawah umur. Putusan itu jauh dari tuntutan jaksa, yakni tujuh tahun penjara.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ajun Komisaris Mahmud, terdakwa pencabulan anak di bawah umur, divonis dua bulan penjara. Sebelumnya, ia dituntut pidana tujuh tahun penjara. Putusan hakim dari Pengadilan Negeri Palangkaraya itu dinilai tidak adil, jaksa pun diminta untuk ajukan banding.
Sebelumnya, seorang perwira menengah polisi di Kalimantan Tengah ditangkap dan diadili karena mencabuli dua anak di bawah umur, yakni perempuan berinisial MS dan DV. Keduanya menjadi korban pencabulan perwira tersebut di waktu dan tempat yang berbeda. Saat kejadian itu, mereka masih duduk di bangku SMA dan masih berumur 17 tahun.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya Aryo Nugroho mengecam putusan hakim yang hanya menjatuhkan vonis pidana dua bulan penjara. Ia mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan eksaminasi atau pemeriksaan ulang putusan dari hakim di Pengadilan Negeri Palangkaraya.
”Terdakwa selalu lolos (dalam beberapa kasus) dan putusan ini sakti. Kami sangat mengecam putusan ini karena merusak rasa keadilan dan mendorong hakim yang lebih tinggi mengambil tindakan,” ucap Aryo di Palangkaraya, Jumat (11/8/2023).
Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Ketua Erni Kusumawati dalam sidang tertutup di Palangkaraya, Kamis (10/8/2023). Terdakwa atas nama Mahmud bin Hadi Mulyanto yang berpangkat ajun komisaris di Polda Kalimantan Tengah dinyatakan bersalah dan divonis dua bulan penjara serta denda Rp 5 juta. Selama sidang, terdakwa pun tidak ditahan karena mendapat penangguhan.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait memberikan penghargaan terhadap Polda Kalteng atas komitmen mengusut tuntas kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalteng, Rabu (22/7/2020).
Aryo menambahkan, hukuman dua bulan penjara kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak sangat tidak mendasar. Apalagi, pencabulan merupakan kejahatan serius yang melanggar hak anak.
”Pelaku dinyatakan bersalah, artinya secara sah dan meyakinkan terdakwa itu adalah pelaku kejahatan, seharusnya divonis sesuai tuntutan,” kata Aryo.
Beberapa kasus
Terdakwa, lanjut Aryo, sudah beberapa kali melakukan kejahatan. Dalam catatan LBH Palangkaraya, pada 21 April 2019, terdakwa menjadi pelaku tunggal dalam kasus kecelakaan yang menewaskan tiga mahasiswa Universitas Palangka Raya (UPR). Saat itu ia hanya dipenjara selama 4 bulan dan tidak pernah ditahan selama persidangan.
Adapun dalil tuntutan dan hukuman ringan itu, kata Aryo, terdakwa mengurus pengiriman jenazah ketiga korban kembali ke kampung halaman. Kemudian pemberian bantuan duka Rp 10 juta hingga membuat surat perjanjian perdamaian antara terdakwa dan keluarga korban.
Sambil membawa poster sosialisasi gerakan Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, warga mengikuti acara jalan sehat bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (25/9/2022).
Dalam catatan Kompas, dua tahun sebelum kejadian penabrakan yang dilakukan terdakwa, khususnya saat ia menjabat Kepala Polsek Patangkep Tutui, Mahmud menembak Julio Gutteres (40), buruh sadap karet di Kabupaten Barito Timur, hingga tewas. Dituduh mencuri, Julio disebut melawan saat hendak ditangkap.
Keluarga korban mempermasalahkan tindakan itu karena dinilai berlebihan. Julio ditembak menggunakan senjata laras panjang jenis V2. Empat peluru bersarang di tubuhnya (Kompas, 29/4/2017). Jasadnya langsung dikubur tanpa dilakukan otopsi dan pemeriksaan lebih lanjut.
Jaksa penuntut umum dalam sidang pencabulan anak tersebut, Dwinanto Agung Wibowo, mengatakan, pihaknya sedang mempertimbangkan upaya hukum banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Ia pun kecewa dengan putusan tersebut.
Menurut Dwinanto, sesuai dengan fakta sidang, ia yakin terdakwa terbukti melakukan tindak pidana Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pihaknya mengajukan tuntutan tujuh tahun penjara dengan denda Rp 6,8 miliar subsider enam bulan kurungan.
”Kita mengajukan tuntutan 7 tahun penjara dan denda Rp 6,8 miliar subsider 6 bulan kurungan, kami sedang pertimbangkan, kami akan siapkan berkas terkait untuk upaya banding,” kata Dwinanto.
Sebelumnya, Hotma Edison Parlindungan Sipahutar dari Humas Pengadilan Negeri Palangka Raya, tidak berkomentar banyak. Ia mengatakan, Mahmud diadili atas tuduhan pelecehan seksual terhadap anak.
Hakim menyatakan, terdakwa terbukti bersalah, seperti dakwaan jaksa penuntut umum dan menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara serta denda Rp 5 juta,” katanya.
Ilustrasi, Toto Sihono, ilustrasi-kekerasan-seksual
Melihat kasus tersebut, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Irene Lambung mengungkapkan, putusan hakim mencederai hukum. Dua bulan penjara dan denda Rp 5 juta sangat jauh dari tuntutan meski terdakwa secara sah bersalah.
”Bagaimana dengan korban yang mendapatkan perlakuan tersebut yang mungkin akan diingat seumur hidup mereka. Jika mereka tahu putusan itu, bagaimana dengan kondisi psikologisnya?” tanya Irene.
Irene berharap ada upaya hukum lainnya yang menjerat pelaku. Ia juga berharap korban harus ditangani dengan baik dan didampingi untuk mendapatkan trauma healing.