Produksi Karet Kian Merosot, Pemerintah Diminta Lakukan Intervensi
Kondisi ekspor karet yang menurun itu membuat posisi Indonesia tergantikan oleh Vietnam. Jika penurunan terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam 10 tahun ke depan keberadaan karet di Indonesia punah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Produksi karet di Sumatera Selatan terus menurun. Jika tidak segera ditanggulangi, dalam 10 tahun ke depan, industri karet di Sumsel diprediksi hanya tinggal kenangan. Sejumlah intervensi perlu dilakukan, terutama peremajaan dan jaminan ketersediaan pupuk.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex Kurniawan Edy, Sabtu (5/8/2023), di Palembang, menjelaskan, pada semester I tahun 2023, produksi karet di Sumsel sebesar 405.315 ton. Angka itu turun sekitar 12 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 468.667 persen. Penurunan ini disebabkan oleh anjloknya produktivitas karet akibat penyakit tanaman dan alih fungsi lahan.
Saat ini, ucap Alex, banyak petani yang memutuskan untuk mengganti kebun karet dengan sejumlah komoditas lain. Alasannya, produksi kebun karetnya menurun. Tiga tahun lalu, misalnya, dalam satu hektar lahan karet petani bisa mendapatkan getah berkisar 70-100 kilogram (kg) per minggu per hektar, sekarang hanya sekitar 40 kg per minggu per hektar.
Penurunan produktivitas kebun karet ini disebabkan oleh penyakit gugur daun yang kian masif sejak 2019 dan diperparah dengan sulitnya petani mendapatkan pupuk. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumsel, tetapi juga secara nasional.
Secara nasional, produksi karet Indonesia pada 2022 hanya sekitar 2,6 juta ton yang mana 2 juta ton di antaranya untuk ekspor. Angka itu turun dibandingkan dengan 2017. Saat itu produksi karet mencapai 3,6 juta ton dengan jumlah karet yang diekspor mencapai 3,2 juta ton.
Kondisi ekspor yang menurun itu membuat posisi Indonesia tergantikan oleh Vietnam yang tahun lalu bisa mengekspor sekitar 2,1 juta ton. ”Jika penurunan terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam 10 tahun ke depan, keberadaan karet di Indonesia punah,” ucap Alex.
Penurunan produksi karet akhirnya berdampak pada lesunya industri karet karena sulitnya memperoleh bahan baku. Sejak 2017 sampai sekarang, setidaknya ada delapan pabrik yang tutup dan hanya menyisakan 18 pabrik karet yang masih beroperasi di Sumsel. ”Akibatnya sekitar 2.000 karyawan pabrik harus diberhentikan,” ujar Alex.
Jika penurunan terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam 10 tahun ke depan keberadaan karet di Indonesia punah. (Alex K Edy)
Pabrik karet yang masih bertahan terpaksa mengimpor bahan baku dari negara lain, seperti Myanmar, Filipina, dan sejumlah negara di Afrika agar pabrik mereka bisa terus beroperasi. Kendati demikian, pasokan bahan baku itu tidak sebanding dengan kapasitas pabrik. Kondisi ini membuat operasional pabrik menjadi tidak efisien.
Melihat kondisi ini, Alex berharap ada intervensi dari pemerintah baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Intervensi jangka pendek itu seperti memberikan bantuan bagi petani untuk menanam sejumlah komoditas sebagai pendapatan tambahan selama produksi karet menurun. Tanaman tumpang sari yang bisa dibudidayakan, seperti singkong atau tanaman palawija.
Sementara untuk program jangka panjang, ujar Alex, perlu ada upaya peremajaan tanaman karet yang didukung dengan ketersediaan bibit unggul agar tanaman tersebut tidak mudah terkena penyakit. Langkah lain adalah merealisasikan hilirisasi produk karet.
Agung, petani karet di Muara Enim, mengatakan, produksi kebun karetnya terus turun. Tahun ini, rata-rata produksi di kebun karetnya hanya 150 kg getah per hektar per bulan. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang bisa mencapai 200-250 kg per bulan.
Kondisi itu disebabkan oleh penyakit gugur daun yang kian masif. Dalam setahun bisa enam kali terjadi. Agung pun tidak bisa berbuat banyak lantaran harga pupuk terlalu tinggi.
Untuk urea nonsubsidi saja, bisa mencapai Rp 700.000 per karung (isi 50 kg) jauh lebih mahal dibandingkan dengan pupuk bersubsidi, yakni sekitar Rp 170.000 per karung. ”Inilah alasan saya tidak memupuk pohon karet sejak tiga tahun lalu,” ujar Agung.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel Abdullah Anang mendesak pemerintah untuk segera melakukan intervensi dari hulu hingga hilir agar industri karet bisa tetap bertahan. ”Intervensi yang dilakukan seperti pemberian bibit unggul hingga membuat kebijakan luar negeri yang bisa memengaruhi harga pasar global,” ucapnya. Dengan begitu perusahaan pun masih bisa tetap beroperasi.
Menurut dia, penyelamatan pabrik karet sangat dibutuhkan mengingat ribuan pekerja menyandarkan hidupnya di pabrik karet. Langkah yang dilakukan pengusaha untuk mengurangi karyawan bisa dimaklumi karena memang kondisi pabrik mereka yang kian kritis. ”Langkah efisiensi memang harus dilakukan, tetapi tidak boleh mengurangi hak dari para pekerja,” ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, pihaknya akan terus berupaya mengundang investor untuk berinvestasi di Sumsel agar hilirisasi dapat terwujud.