Mete Sultra, Berjaya Lalu Terancam Merana
Cuaca yang berubah menjadi tantangan besar petani jambu mete di Sulawesi Tenggara. Situasi kian kompleks karena minimnya peremajaan dan tidak fokusnya pemerintah dalam pengembangan tanaman bernilai tinggi ini.
Perubahan iklim membawa kecemasan terhadap banyak sektor, tidak terkecuali pada produksi perkebunan jambu mete di Sulawesi Tenggara. Ancaman cuaca ini berkelindan dengan rendahnya peremajaan serta kurangnya perhatian yang berujung pada terus menurunnya produksi mete. Pesona mete di wilayah ini pun terancam merana.
Selama 35 tahun lebih berdagang mete, La Ode Mone (59) lihai memilah mete yang baik. Mete berwarna putih setelah dibuka dan dikeringkan adalah yang terbaik. Rasanya gurih dan manis. Sementara mete dengan bintik kekuningan dan bintik hitam menyisakan rasa getir.
Puluhan tahun berkecimpung di usaha jambu mete, ia mengandalkan bahan baku dari kepulauan Muna dan Buton. Mete dari dua wilayah ini diyakini yang terbaik dengan rasa dan kekhasan masing-masing. Dalam beberapa tahun terakhir, ia rerata mengambil bahan baku mete secara gelondongan sebanyak puluhan hingga 100 ton.
Akan tetapi, pada 2018, perubahan mulai terjadi. Ia yang terbiasa mengambil gelondongan melihat hasil panen masyarakat mulai banyak yang rusak. Jambu mete 100 ton yang seharusnya menjadi 25-30 ton setelah diolah hanya tersisa 15 ton. Ia rugi banyak.
”Sejak saat itu saya selalu ambil mete di Maluku Utara. Di sana hasilnya masih lumayan baik. Dari sana saya bawa ke Lombe, Kecamatan Gu, Muna, untuk dibuka. Setelah dibuka, baru dikirim ke Kendari untuk diolah,” tutur La Ode Mone, pemilik toko oleh-oleh Mubaraq, di Kota Kendari, Minggu (23/7/2023). Toko miliknya merupakan salah satu yang tertua dan terbesar di wilayah ini.
Meski tidak pernah melakukan penelitian khusus, instingnya mengatakan bahwa kualitas mete di Sultra menurun akibat perubahan iklim. Sejak beberapa tahun terakhir, cuaca tidak lagi bisa diprediksi. Kemarau yang seharusnya pada akhir Juli hingga September malah rutin didatangi hujan.
Padahal, tanaman mete membutuhkan waktu sekitar tiga bulan sinar matahari agar bunga bisa menjadi buah. Saat hujan turun, bunga akan menghitam dan rusak. Kalaupun jadi, hasilnya tidak akan maksimal.
Kondisi hujan yang tidak bisa diprediksi juga dialami warga pemilik kebun mete di Pulau Wawonii. Tidak hanya iklim, potensi mete di wilayah ini juga semakin terdesak akibat hama hingga aktivitas pertambangan nikel yang terus beroperasi.
Suatu waktu di akhir Mei, Abdul Latif (60) memeriksa kebun mete di Desa Roko-roko, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan. Pohon jambu mete di kebunnya yang seluas 2 hektar mencapai ratusan. Sebagian ditanam 30 tahun lalu dengan tinggi puluhan meter.
Baca juga : Kisah Sepetak Sawah di Tengah Kepungan Nikel
Di sebuah pohon jambu mete, ia berhenti. Daun-daun di pohon tersebut terlihat coklat. ”Ini debu dari aktivitas pertambangan perusahaan yang operasi di sini. Hampir 24 jam truk hilir mudik bawa ore nikel. Kami kebagian debunya,” kata Latif.
Meski hari telah hujan, debu di daun tidak jua hilang. Ia menggosok daun dan jarinya pun berwarna coklat.
Debu dari pertambangan nikel seiring dengan hama yang menyerang pohon jambu mete. Beberapa pohon di kebunnya terlihat bertumbangan. Bagian dalam batang pohon menghitam. Meski begitu, ia mengaku memang tidak merawat khusus tanaman metenya dengan tekun.
Kondisi ini, ucap kakek tiga cucu ini, dikhawatirkan membuat panen semakin berkurang. Tiga tahun terakhir hasil panennya berkurang drastis. Dari yang bisa mendapatkan Rp 500 juta dalam sekali panen, kini paling banyak ia memperoleh Rp 150 juta. Jambu mete di wilayah ini dijual gelondongan dengan harga Rp 17.000 per kilogram. Padahal, setelah diolah, harganya di atas Rp 80.000 per kilogram.
Jambu mete dari kebun Latif adalah tumpuan utama. Hasil kebun ini digunakan untuk menyekolahkan tiga anaknya hingga tingkat sarjana. Hasil kebun itu juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan investasi.
”Karena itu, saya tidak mau jual kebun. Tapi, karena hujan dan ada tambang, hasil panen terus kurang. Saya sekarang menanam pala untuk antisipasi kalau panen nanti betul-betul habis,” tuturnya.
Baca juga : Pudarnya Identitas Tawaro
Kompleksitas masalah
Jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional. Sebab, tanaman ini berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja, sumber devisa negara, pendapatan bagi petani, serta upaya perbaikan perekonomian wilayah lahan kering, terutama di daerah-daerah marjinal di mana komoditas lain relatif sulit untuk diusahakan.
Luas lahan mete di Sultra mencapai 119.659 hektar, utamanya tersebar di Buton, Bombana, Muna, dan Kolaka. Produktivitas mete mencapai 356 kilogram per hektar, dengan produksi bisa 40.000 ton dalam setahun. Dengan produksi sebesar ini, Sultra merupakan sentra penghasil jambu mete kedua terbesar di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (Outlook Jambu Mete Kementan 2022).
Tanaman jambu mete merupakan tanaman yang berasal dari Brasil. Sekitar 400 tahun lalu, tanaman ini melintasi banyak wilayah dan benua, hingga tiba di Indonesia. Tanaman ini cocok tumbuh di wilayah tropis dengan ketinggian 1-1.200 meter di atas permukaan laut.
Mariadi, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, menuturkan, tanaman ini telah lama tumbuh dan lekat dengan masyarakat, khususnya di daratan Buton dan Muna. Di wilayah ini, jambu mete memiliki ciri khas rasa yang gurih.
”Untuk ukuran mungkin jambu dari Sultra itu tidak lebih besar. Tapi, kalau untuk rasa, jauh lebih gurih. Hal itu bisa disebabkan karena kontur tanah hingga cuaca di wilayah ini,” kata Mariadi.
Pemerintah daerah mulai menggalakkan tanaman ini pada medio 1980-an. Awalnya direncanakan untuk tanaman penghijau di wilayah yang tandus dan kering, seperti di daratan Muna dan Buton. Tanaman ini banyak ditanam di pekarangan rumah dan kebun.
Sejak saat itu, jambu mete semakin dekat dengan masyarakat. Kejayaan mete bertambah kokoh ketika harga tanaman ini melejit di akhir 1990-an. Resesi moneter membuat harga melambung, termasuk tanaman ini, yang semakin banyak diminati di banyak negara.
Mariadi, pengajar dengan spesialisasi hama dan penyakit, bahkan melakukan riset terkait pemanfaatan kulit jambu mete. Selama sepuluh tahun, ia bisa membuat formula pestisida organik untuk tanaman dari kulit jambu mete.
Akan tetapi, dari tahun ke tahun, tanaman ini seakan terpinggirkan dan tidak dikelola dengan baik. Padahal, dengan potensi lahan dan kultur masyarakat, tanaman ini memiliki potensi yang tinggi dan bisa berdampak besar baik bagi daerah dan khususnya untuk masyarakat.
”Memang banyak masalah, belum lagi dengan cuaca yang tidak menentu. Tapi, tanaman ini harus dijaga karena telah menjadi ciri khas daerah dan manfaat yang tinggi. Buah, biji, dan kulitnya bisa diolah. Tapi, sekarang kami khawatir melihat kondisi tanaman ini. Semoga pemerintah mengambil langkah pengembangan,” ucapnya.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kendari, selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu secara merata di Sultra. Peningkatan suhu paling tinggi terjadi di wilayah Kolaka dan sekitarnya, yaitu 0,5 derajat celsius. Sementara wilayah Kendari dan sekitarnya serta Pulau Muna dan Buton mengalami peningkatan 0,3 derajat celsius.
Baca juga : Lukisan Warna ”Bumi Anoa”
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra Ihlas Landu mengungkapkan, kondisi perkebunan jambu mete saat ini memang jauh dari maksimal. Berbagai hal menjadi penyebab, mulai dari teknologi pertanian warga hingga pengaruh cuaca. Data menunjukkan, produksi mete turun dari 51.700 ton pada 2021 menjadi 36.285 ton pada 2022.
”Tanaman jambu mete masyarakat yang sekarang dinikmati itu adalah yang ditanam puluhan tahun lalu. Memang harus banyak peremajaan, namun kita terkendala anggaran yang minim,” ujar Ihlas.
Permasalahan paling utama, ia melanjutkan, adalah persoalan cuaca yang sudah tidak bisa diprediksi. Tanaman jambu mete merupakan tanaman musiman yang hanya berbuah sekali dalam satu tahun. Musim berbunga dimulai pertengahan tahun, lalu panen ketika jelang akhir tahun.
Akan tetapi, musim hujan dan kemarau yang tidak menentu membuat hujan masih sering turun ketika melewati bulan Juli. Padahal, saat itu tanaman sedang berbunga dengan durasi sekitar dua bulan hingga menjadi buah.
”Saat tanaman berbunga, seharusnya musim kemarau datang. Tapi, seperti sekarang, akhir Juli saja masih sering hujan. Jadi, bunga akan menghitam dan gugur,” katanya.
Tidak hanya itu, tambah Ihlas, luas areal tanaman milik masyarakat juga terus berkurang. Hal ini dipicu banyak penyebab, salah satunya minat untuk berkebun dan bertani yang semakin turun setiap tahun.
Mete yang telah menjadi identitas Sultra selayaknya terus mendapat tempat dan kejayaan di tanah ini. Kesulitan bahan baku dan berbagai tantangan di lapangan menjadi pekerjaan besar yang harus dituntaskan.