Nelayan gurem di Maluku berjibaku di tengah gempuran para pemilik modal yang menjelajahi hampir setiap inci ruang laut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Sekitar 658.294 kilometer persegi atau 92,4 persen dari luas wilayah Maluku adalah laut. Cukupan geografis ini menempatkan Maluku sebagai provinsi dengan perairan terluas dan terkaya di Indonesia. Di tengah keterbatasan yang dimiliki, nelayan gurem bertarung mencari penghidupan dengan berbagai risiko mengancam. Mereka berjibaku di tengah gempuran para pemilik modal yang menjelajahi hampir setiap inci ruang laut.
Beberapa perahu motor berjejer di pesisir Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku, suatu petang menjelang akhir Juni 2023 lalu. Perahu berbahan kayu dan fiber itu sengaja dinaikkan ke darat demi menghindari amukan gelombang tinggi yang mulai menerjang pesisir. Gelombang tinggi itu penanda datangnya musim timur.
Warga menyebutnya musim timur sebagaimana angin yang berembus kencang dari arah timur. Musim timur biasanya terjadi mulai Mei hingga awal September. ”Kalau musim timur kami lebih banyak parkir. Kami tidak berani melaut karena ukuran perahu kami terlalu kecil,” ujar Alan (40), nelayan di Buru.
Perahu kecil yang didorong mesin berkekuatan 15 tenaga kuda (HP) tidak akan mampu mengarungi gelombang jika tingginya sudah di atas 1 meter. Perahu berisiko tenggelam. Namun, terkadang tuntutan kebutuhan memaksa mereka mengambil risiko itu. Peristiwa hilangnya nelayan yang terjadi hampir setiap tahun merupakan buktinya.
Alan punya mimpi memiliki perahu minimal berukuran sekitar 3 gros ton dengan mesin 40 tenaga kuda (horse power). Ia harus menabung hingga beberapa tahun ke depan, sebab butuh modal sekitar Rp 100 juta untuk mendapatkannya. Jika hasil tangkapan bagus, satu bulan sudah bisa balik modal.
Ruang pertarungan nelayan Buru ada di Laut Banda yang kaya akan hasil laut. Banda dikenal sebagai surganya ikan tuna. Di sana pula paus melakukan pemijahan. Perairan yang subur membuat biota laut mencari makanan di sana. Nelayan pun mengikuti.
”Di Laut Banda, kami bisa dapat tuna yang beratnya sampai 50 kilogram,” ujarnya.
Sejak dulu, Laut Banda menjadi primadona bagi pemburu tuna dari dalam maupun luar negeri seperti Jepang. Lebih dari sepuluh tahun, antara 1968-1979, sebanyak 1.000 kapal ikan Jepang menangkap tuna di Laut Banda dengan kuota tangkapan maksimum 8.000 ton per tahun. Kerja sama Indonesia dan Jepang itu dikenal dengan sebutan Banda Sea Agreement.
Potret nelayan gurem juga banyak dijumpai di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Di sana berjejer permukiman nelayan yang sebagian besar dihuni keluarga berpendapatan rendah. Kebanyakan mereka menyewa perahu dan meminjam modal. Hasil tangkap dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Jumain (41), nelayan, menggunakan perahu motor bermesin 15 HP. Ia melaut hingga jarak 30 mil laut dan sering kali bermalam di daratan terdekat. Jika hasil jualannya Rp 1 juta, ia hanya kebagian separuhnya setelah dibagi dengan pemilik perahu motornya. Bahan bakar dan makanan pun menjadi tanggungannya.
Sejak dulu Laut Banda menjadi primadona bagi pemburu tuna dari dalam maupun luar negeri seperti Jepang. Lebih dari sepuluh tahun, antara 1968-1979, sebanyak 1.000 kapal ikan Jepang menangkap tuna di Laut Banda dengan kuota tangkapan maksimum 8.000 ton per tahun. Kerja sama Indonesia dan Jepang itu dikenal dengan sebutan Banda Sea Agreement.
Jumain menggambarkan nelayan di daerah kaya sumber daya perikanan. Kepulauan Aru berada di tengah kepungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718. Potensi perikanan di sana mencapai 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari keseluruhan potensi ikan nasional. Angka ini tertinggi dari 11 WPP-RI.
Bertahun-tahun, ribuan unit kapal ikan beroperasi melakukan penangkapan di sana. Kapal berukuran di atas 30 gros ton yang kebanyakan milik korporasi nasional maupun perusahaan modal asing. Tak terhitung pula banyaknya pelanggaran seperti penangkapan ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi.
Bahkan yang paling menggemparkan adalah perbudakan terhadap ratusan nelayan asing oleh perusahaan perikanan yang bermarkas di Pulau Benjina, Kepulauan Aru. Kasus yang terungkap pada tahun 2015 itu mencoreng industri perikanan tangkap di Indonesia yang dianggap tidak ramah pada manusia.
Lain dengan Buru dan Kepulauan Aru, di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, para nelayan gurem kesulitan memasarkan hasil tangkapan mereka. Ada yang nekat menjualnya ke negara tetangga Timor Leste. Beruntungnya, perdagangan lintas batas itu tidak terhalang.
Perdagangan lintas batas itu tergolong ilegal mengingat di sana tidak ada pos perbatasan yang dikelola oleh negara. ”Karena rasa saling percaya dan hubungan budaya. Orang Lirang kebanyakan berasal dari Atauro (pulau milik Timor Leste),” tutur Vinsen Mubala (50), warga Lirang.
Pengalaman Alan, Jumain, dan Vinsen menunjukkan ketidakberdayaan nelayan gurem hampir seluruh sisi, mulai dari fasilitas penangkapan hingga pemasaran. Mereka tidak berdaya di tengah lumbung ikan yang potensinya tertinggi di Indonesia. Lumbung yang hanya tinggal diambil isinya.
Keterbatasan itu menyebabkan nelayan gurem di Maluku sulit berkembang. Dari 125.000 kepala keluarga nelayan di Maluku, hampir semuanya gurem dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata. Mereka ikut menyumbangkan angka kemiskinan di Maluku yang bertengger pada urutan keempat tertinggi secara nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Maret 2023, angka kemiskinan di Maluku 16,42 persen dari jumlah penduduk. Angka ini setara dengan 301.610 jiwa. Alan, Jumain, Vinsen, dan ratusan ribu nelayan gurem lainnya berada dalam deretan penduduk miskin itu.