Ruang Gelap Buruh Sawit NTT di Kalteng
Di tengah kemilau bisnis sawit ternyata terselip ruang gelap dugaan perdagangan manusia. Hal itu menimpa banyak buruh sawit asal Nusa Tenggara Timur di Kalimantan Tengah.
Yon (21), pemuda asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, masih merenungi nasibnya di teras depan mess karyawan sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Senin (24/7/2023) sore. Tanpa mengenakan baju, badannya masih penuh peluh keringat usai bekerja memanen sawit perusahaan.
Ia mencoba menelepon istrinya, tetapi sinyal telepon selulernya tak mampu menghubungkan mereka berdua yang terpisah setahun terakhir. Yon lantas memasukkan kembali ponsel itu ke kantong dan bergegas mandi. Ia tinggal di divisi satu kompleks karyawan perkebunan sawit bersama teman-teman buruh sesama NTT.
Yon mengenang kembali perjuangannya untuk datang ke Kalimantan sebelum berakhir di perkebunan sawit di Katingan. Setahun lalu, ia kaget ditemui oleh Flori, salah satu calo buruh perkebunan asal Kupang, NTT. Flori datang mengumpulkan pemuda sebanyak mungkin dari kampung Yon.
Flori datang dengan kemeja lengan panjang dan sepatu pantofel. Berbicaranya seperti politisi, berupaya meyakinkan masa depan sawit yang luar biasa. Ia datang mengaku diutus oleh perusahaan asal Ketapang, Kalimantan Barat. Yon dan lima orang lainnya kepincut omongan Flori yang menjanjikan mereka upah besar di Kalimantan.
Sampai tiba saatnya Yon mengepak semua barang, pamit dengan istrinya dan mencium kening anaknya yang belum berumur sebulan. Yon lalu berangkat bersama Flori dan kawan-kawannya yang juga punya angan yang sama.
”Semua orang di NTT bicara Kalimantan terus, katanya (hidup) enak di sana, yang penting kerja keras di kebun,” kata Yon.
Flori yang tadinya berjanji menemani mereka sampai di Kalimantan Barat ternyata hanya mengantar mereka sampai di Labuan Bajo, Manggarai Barat. ”Dia (Flori) hanya bilang, tenang saja nanti di Surabaya ada yang jemput,” ujar Yon mengulang perkataan Flori.
Tiba di Surabaya, Yon terkatung-katung. Uang di dompetnya tiris. Setidaknya dua hari di pelabuhan tak ada yang menjemput mereka. Hingga akhirnya ada orang tak dikenal yang memberikan mereka tiket kapal menuju Kalimantan Timur.
Yon bingung, janji Flori kepada mereka adalah Kalimantan Barat, bukan Kalimantan Timur. Flori tak bisa dihubungi lagi. Yon hanya ingat orang tak dikenal itu mengaku suruhan Flori. Mereka pun mengiyakan dan mengambil tiket kapal itu menuju Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sampai di Balikpapan, lagi-lagi Yon terkatung-katung. Flori masih tak bisa dihubungi. Sekali lagi ada orang tak dikenal menghubungi nomor kawan Yon, yang mengaku kenal Flori. ”Orang itu bilang enggak ada kerjaan untuk kami di sini, kami harus ke Kalteng,” ungkap Yon.
Yon hampir putus asa. Saat itu merupakan pertama kalinya pemuda lulusan SMP itu keluar dari kampungnya, langsung melewati banyak pulau. Ia tak paham jalan, apalagi jalan dari Balikpapan ke Palangkaraya. Yon ingin menangis, tetapi ia kembali memikirkan anak dan istrinya. Ia harus kuat.
Mereka menggunakan bus menuju ke Palangkaraya. Sampai di Palangkaraya selama seharian Yon dan kawan-kawannya dibawa dari perusahaan ke perusahaan. Awalnya ke Kabupaten Gunung Mas, yang berjarak 157 kilometer dari Palangkaraya. Sampai di sana perusahaan tak menerima mereka. Lalu dari Gunung Mas mereka dibawa ke Tumbang Nusa, Kabupaten Katingan.
Beruntung di tempat itu ia diterima bekerja. Tak ada modal administrasi yang harus dipenuhi. Ia hanya membawa KTP dan beberapa helai baju, juga sebungkus rokok.
Ia pun bekerja di hari pertama sebagai buruh harian lepas (BHL). Setelah tiga bulan, ia menjadi karyawan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Ia digaji per hari hingga Rp 129.000, tergantung dari hasil kerja. Jika ia mangkir, ia tak dapat apa pun.
Di divisi I tempat Yon tinggal setidaknya terdapat 23 buruh PKWT dan lebih kurang 50 buruh harian lepas (BHL). Dari total 93 orang di divisi itu, 70 persen merupakan pekerja asal NTT. Sisanya berasal dari Pulau Jawa atau warga setempat yang tidak tinggal di mes karyawan.
Peristiwa serupa hampir menimpa RJ (38), buruh asal Flores, NTT. Lima tahun lalu ia juga ditawari pekerjaan oleh seorang calo, kenalannya di kampung yang sama. Hanya saja ia menolak karena lebih percaya kepada kakaknya yang lebih dahulu kerja di sebuah perusahaan sawit di Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng.
RJ mengungkapkan, saat itu beberapa temannya lebih dahulu mengikuti calo buruh sawit tersebut. Mereka tak bertahan lama, luntang-lantung lalu akhirnya mengumpulkan uang hanya untuk pulang.
RJ yang saat itu mengikuti kakaknya, berawal dari tinggal di mes karyawan tanpa pekerjaan. Hingga akhirnya, perusahaan mau mempekerjakan dirinya dengan status buruh harian lepas (BHL).
Sebagai BHL, ia diupah per hari sesuai pekerjaannya. Jika bisa memenuhi target, ia biasa dibayar Rp 120.000 sampai Rp 150.000 per hari, tanpa libur. Jika meliburkan diri atau cuti, uang tak didapat, beras tak didapat.
Hampir sepuluh tahun berselang, ia kini diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan perkebunan sawit tersebut. Ia menerima upah bulanan sebesar Rp 3,2 juta. Pekerjaan hariannya tetap dihitung dan menjadi tambahan di akhir bulan. Ia kini bisa mendapatkan upah Rp 4,5 juta sampai Rp 5 juta per bulan. Begitu juga istrinya. Keduanya bisa menghasilkan Rp 10 juta sampai Rp 11 juta per bulan.
”Saat ini sudah banyak berubah. Sekarang saya sudah jadi mandor sehingga pekerjaan juga jauh lebih ringan. Anak-anak juga bisa sekolah di sini dengan diantar dan dijemput oleh bus sekolah setiap hari,” ungkap RJ.
RJ bekerja di sebuah perusahaan perkebunan besar, salah satu yang terbesar di Kalteng bahkan di Indonesia. Namun, untuk bisa mencapai posisinya sekarang butuh sekitar sepuluh tahun setelah bekerja keras.
Dugaan tindak pidana perdagangan orang sudah terjadi sejak perkebunan kelapa sawit masuk di wilayah Kalteng. Hal itu ditengarai diperburuk oleh Undang-undang Cipta Kerja. (Dianto Arifin)
Ia pernah merasakan tak mendapatkan jatah beras sehingga harus menumpang dengan buruh lain. Ia juga pernah membiayai kesehatannya sendiri, membeli peralatan sendiri, dan banyak penderitaan lainnya.
”Memang calo itu banyak, saya enggak percaya. Mereka datang ke kampung-kampung, bahkan ada yang orang dari kampung itu sendiri, dia dapat jatah,” ungkap RJ.
Kian buruk
Sekretaris Serikat Pekerja Kelapa Sawit Indonesia (Sepasi) Kalimantan Tengah Dianto Arifin mengungkapkan, dugaan tindak pidana perdagangan orang sudah terjadi sejak perkebunan kelapa sawit masuk di wilayah Kalteng. Hal itu ditengarai diperburuk oleh Undang-undang Cipta Kerja.
Meski BHL dihapuskan dan diganti dengan istilah PKWT, hal tersebut justru memperburuk situasi buruh. Dalam undang-undang itu, perusahaan bisa mengontrak pekerja hanya dalam jangka waktu tiga bulan minimal sehingga mereka bebas melepas buruh kapan saja mereka mau.
”Jadi, buruh dipakai hanya pada saat tertentu, misalnya saat panen, lalu dilepas. Ini juga berdampak karena ratusan orang datang di waktu tertentu dari luar daerah dengan berbagai cara. Saat ditindak, mereka (perusahaan) cuci tangan dan menyalahkan calo,” kata Anto.
Anto menjelaskan, tahun ini Sepasi Kalteng menampung tujuh buruh sawit dari NTT dan NTB yang datang tanpa dilengkapi administrasi dan melalui calo. Mereka dijanjikan pekerjaan, tetapi sampai di Kalteng telantar.
Dari tujuh orang itu, empat orang di antaranya langsung pulang kampung karena masih memegang uang. Sementara tiga orang lainnya tinggal di kantor Sepasi Kalteng. Ketiganya kemudian bekerja di tempat Anto bekerja di kebun sawit lalu mengumpulkan uang, Sampai tiga bulan, mereka pulang kembali ke kampungnya. ”Jadi mereka bekerja hanya untuk cari ongkos pulang,” ungkapnya.
Kasus yang dialami Yon dan kawan-kawan merupakan gambaran ruang gelap dalam bisnis sawit yang selama ini menjadi penopang ekonomi di Kalteng. Sayangnya, gemilau minyak sawit itu tidak mampu menerangi ruang-ruang gelap tersebut.