DPRD Jatim Panggil Dinas Pendidikan Terkait Seragam Mahal di Tulungagung
Masalah harga seragam sekolah menengah atas yang dinilai mahal mencuat di Tulungagung. DPRD Jawa Timur pun akan meminta klarifikasi kepada dinas pendidikan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Buntut dari keluhan pembelian seragam sekolah yang dinilai terlalu mahal di salah satu SMA di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, DPRD Jatim akan memanggil Dinas Pendidikan Jatim, Senin pekan depan. Dewan bermaksud mengklarifikasi masalah itu.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim dari Fraksi PKB Hikmah Bafaqih, saat dihubungi dari Malang, Jumat (28/7/2023), mengatakan, pihaknya tidak hanya akan meminta klasifikasi seputar seragam, tetapi juga masalah proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Jatim tahun ini.
”Tidak hanya seragam saja, tetapi secara substantif agenda kami adalah mengevaluasi semua proses PPDB se-Jatim. Seragam hanya salah satunya. Jangan sampai ramai-ramai kisruh seragam, lalu kita melupakan yang lain,” katanya.
Menurut Hikmah, anggota DPRD telah berkeliling ke daerah pemilihan masing-masing untuk mencari masukan. Terkait seragam, sejauh ini tidak ada kewajiban dari sekolah untuk pengadaan seragam. Yang tidak boleh adalah ketika seragam itu dijual dengan harga tidak wajar, terlalu mahal. Hal itu dianggap akan memberatkan siswa.
Kalau memang sekolah menyediakan seragam dengan alasan agar tidak ada perbedaan warna, hal itu dinilai logis. Lantaran beda seri produksi, warna kain akan berbeda. ”Tidak masalah sebenarnya sekolah melakukan pengadaan seragam, sepanjang harganya juga masuk akal,” katanya.
Akan lain ceritanya, lanjut Hikmah, jika sekolah melakukan penggalangan dana (fundraising) dari partisipasi masyarakat melalui pengadaan seragam. Partisipasi tidak dilarang karena ada peraturan menteri yang menyatakan bahwa biaya operasional sekolah (BOS) daerah di Jatim belum mencukupi kebutuhan guna memenuhi sarana dan prasarana baru.
”Menarik partisipasi boleh. Ada permendikbud-nya (peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan). Yang tidak boleh itu kalau ada paksaan, diseragamkan, ditekan, dan ditarik kepada yang miskin. Ini sama sekali tidak boleh,” ujar Hikmah yang mengakui bahwa harga seragam dinilai mahal ditemukan di beberapa daerah di Jatim.
Sementara subsidi silang wali murid yang mampu kepada murid yang tidak mampu boleh dilakukan. ”Logikanya memang selama ini sekolah fundraising-nya lewat seragam karena lebih mudah dibanding menarik melalui dana gedung dan lainnya melalui komite sekolah. Masalahnya kemudian harga seragam menjadi tidak wajar,” katanya.
Masalah ini sebenarnya bisa selesai di tingkat wali murid dan komite sekolah. Siswa yang kurang mampu tidak boleh dibebani, kalau perlu dibebaskan. ”Upaya sekolah untuk penggalangan dana banyak cara. Hanya saja, kalau tidak terkomunikasikan dengan tepat akan menimbulkan masalah,” pungkasnya.
Sementara itu, saat ditemui di Balai Kota Batu, Kepala Dinas Pendidikan Jatim yang juga Penjabat Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai, enggan berkomentar saat dimintai tanggapan seputar polemik seragam SMA di Tulungagung.
Sebelumnya, Aries mengatakan, pihaknya telah menonaktifkan sementara Kepala SMAN 1 Tulungagung akibat masalah ini. Dinas Pendidikan Jatim juga membuka posko aduan untuk masalah seragam di wilayahnya.
Kalau memang dinilai terlalu mahal harganya, kami persilakan wali murid membeli seragam di luar.
Dihubungi secara terpisah, Agung Cahyadi dari Humas SMAN 1 Kedungwaru, Tulungagung, mengatakan, proses belajar-mengajar siswa berlangsung lancar dan tidak terpengaruh oleh masalah yang terjadi. Pelaksana tugas kepala sekolah juga sudah masuk pada Jumat pagi.
”Sampai hari ini proses pembelajaran di SMAN 1 Kedungwaru berjalan seperti biasa. Anak-anak tetap semangat belajar, demikian juga dengan para guru. Proses pembelajaran tidak terpengaruh. Tahapan sudah selesai, siswa baru juga sudah mulai masuk kelas untuk pembelajaran,” ucapnya.
Agung membenarkan, nota pembelian seragam yang viral itu terjadi di sekolahnya. Namun, pada prinsipnya pihak sekolah tidak memaksa. Sekolah tidak mengharuskan ataupun mengarahkan. Pihaknya hanya memfasilitasi jika ada yang membutuhkan. ”Kalau memang dinilai terlalu mahal harganya, kami persilakan wali murid membeli seragam di luar. Kalau seragam bekas saudara atau kakak masih bisa dipakai, ya, silakan,” ujarnya.
Agung pun menjelaskan duduk persoalan terkait harga seragam yang dinilai mahal itu. Seragam dan atribut senilai Rp 2,3 juta itu untuk siswa perempuan dengan ukuran fisik paling besar dan berjilbab. Untuk siswa laki-laki dan siswa lain yang ukuran badannya lebih kecil serta tidak berjilbab, harganya lebih murah.
”Kalau siswa perempuan yang pakai jilbab, pasti harganya lebih tinggi. Jilbabnya itu satu paket ada lima lembar. Begitu pula seragam olahraga, itu satu set atas dan bawah,” katanya.
Ia menuturkan, sebenarnya tidak ada paksaan dari pihak sekolah kepada siswa untuk membeli seragam. Siswa juga diperbolehkan membeli beberapa item saja. Bahkan, pembayarannya bisa diangsur.
Disinggung apakah ada siswa yang mengembalikan seragam setelah masalah ini menjadi ramai, Agung mengatakan, ada sejumlah siswa yang mengembalikan. ”Tidak masalah kalau mengembalikan. Dari awal, tidak membeli juga tidak apa-apa,” ujarnya.