Sulit Ciptakan Lapangan Kerja, Sulut Kirim Lulusan SMK ke Jepang
Sebanyak 332 lulusan sekolah menengah kejuruan di Sulawesi Utara akan diberangkatkan sebagai tenaga kerja terlatih di Jepang. Pemprov mengakui, lapangan kerja sangatlah terbatas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 332 lulusan sekolah menengah kejuruan atau SMK di Sulawesi Utara akan diberangkatkan sebagai tenaga kerja terlatih di Jepang. Pemerintah provinsi mengakui, lapangan kerja lokal sangatlah terbatas karena industri selain pertanian sangat sulit berkembang.
Inaugurasi para calon tenaga kerja lulusan SMK tersebut digelar layaknya acara wisuda di Aula Mapalus Kantor Gubernur Sulut di Manado, Rabu (26/7/2023). Sebagian besar dari mereka hadir secara langsung, sedangkan sebagian kecil secara daring. Mereka mengenakan setelan putih hitam didampingi orangtua mereka.
Sekretaris Daerah sekaligus Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sulut, Steve Kepel, mengatakan, 332 orang yang hadir dalam inaugurasi tersebut adalah bagian dari tahap pertama pemberangkatan lulusan SMK ke Jepang. Mereka merupakan hasil seleksi dari 498 pendaftar.
”Waktu seleksi 26 Juni 2023 di kantor dinas pendidikan daerah untuk yang tinggal di Manado dan sekitarnya, sedangkan yang di kabupaten kepulauan dan Bolaang Mongondow Raya secara daring. Mereka menjadi special-skilled workers (pekerja berketerampilan khusus) yang akan berangkat ke Jepang,” kata Steve.
Steve menggarisbawahi beberapa latar belakang pendidikan para peserta program tersebut, yakni 66 orang dari bidang keperawatan, 54 orang dari perhotelan, 59 orang dari teknik komputer dan jaringan. Sebanyak 153 lainnya ia sebut berkeahlian dalam bidang teknis lain, seperti otomotif.
”Yang lulus seleksi ini akan ikut dalam pelatihan bahasa Jepang selama tiga bulan. Untuk awalan, ada 100 orang yang akan dilatih di Bapelkes (Balai Pelatihan Kesehatan) Manado. Ini dilakukan sebagai persiapan awal kerja di Jepang,” lanjutnya.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey mengatakan, pihaknya menargetkan keberangkatan 1.000 orang setiap tahun sehingga 332 orang yang diinaugurasi pada Rabu baru kloter pertama. Hal ini merupakan alternatif untuk mengatasi masalah pengangguran terbuka di Sulut.
”Kalau saya lihat, lulusan SMK itu paling banyak penganggurannya. Padahal, SMK ini, kan, biayanya mahal. Mereka belajar teori, lalu ada praktik. Makanya, kami buka peluang ini, kami berikan pendidikan. Kalau siap, mereka diberangkatkan,” tuturnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, pada Februari 2023, angkatan kerja di Sulut berjumlah 1,31 juta orang atau sekitar setengah dari populasi. Namun, 31,07 persen dari angkatan kerja itu hanya berlatar pendidikan SD, itu pun tak semuanya lulus. Sebaliknya, proporsi lulusan SMK paling kecil dengan 11,33 persen, sedikit lebih rendah daripada lulusan perguruan tinggi (13,48 persen).
Sektor perekonomian terbesar di Sulut saat ini masih pertanian dengan serapan 22,03 persen dari angkatan kerja. Industri pengolahan yang mencakup pengolahan produk-produk kelapa serta perikanan tangkap berada di urutan ketiga dengan serapan tenaga kerja 10,89 persen.
Di Sulut itu ada 300-an SMK. Kalau setiap tahun ada 100 lulusan, berarti ada 30.000 calon tenaga kerja. Tidak mungkin kami tampung di sini semua. Jadi, kami harus siapkan mereka untuk keluar.
Olly bahkan mengakui, sektor industri sulit hidup di Sulut karena posisinya yang sangat jauh dari Jakarta. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung yang difokuskan pada industri pengolahan pun belum berkembang. Luas lahan yang pembebasannya sudah tuntas bahkan baru 108,05 hektar dari rencana awal 534 hektar.
Di luar itu, Kawasan Industri Mongondow akan dikembangkan, tetapi Olly menyebut kawasan itu baru akan jadi paling cepat lima tahun mendatang. ”Yang jelas cuma bisa industri pertanian di sini. Terbatas itu (untuk menyerap) orang kerja. Makanya, kami didik mereka (lulusan SMK) supaya bisa mengisi peluang-peluang yang ada di luar negeri,” ujarnya.
Di samping keterbatasan jumlah lapangan kerja, Olly mengatakan, ada ketidakcocokan (mismatch) pendidikan dan keahlian lulusan SMK di Sulut dengan kebutuhan industri yang ada. Oleh karena itu, Olly berkomitmen untuk memodifikasi kurikulum SMK agar lebih sesuai dengan perkembangan industri.
”Di Sulut itu ada 300-an SMK. Kalau setiap tahun ada 100 lulusan, berarti ada 30.000 calon tenaga kerja. Tidak mungkin kami tampung di sini semua. Jadi, kami harus siapkan mereka untuk keluar,” ujarnya.
Sementara itu, para peserta program ketenagakerjaan mengatakan belum tahu akan dipekerjakan di mana. Tedisyah Mokodompit (18), lulusan jurusan otomotif SMK Negeri 2 Kotamobagu, menuturkan, dirinya akan fokus pelatihan bahasa terlebih dahulu selama 3-6 bulan.
Program ini ia sebut sangat bermanfaat untuk dirinya. Semua prosesnya gratis, mulai dari pendaftaran hingga wawancara, kecuali untuk pemberangkatan. ”Yang pasti akan berangkat. Kalau kerja di mana, masih tunggu arahan,” ucapnya.
Derryl Langoy (22), lulusan jurusan otomotif SMKN 3 Tondano, Minahasa, juga menyebut program tersebut sangat membantunya. ”Dua tahun ini sulit cari kerja di Sulut. Tadinya saya mau kerja di mal-mal di Manado, tapi sulit,” katanya mengenai situasi ketenagakerjaan di provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Pulau Sulawesi, sebesar 73,81 pada 2022, itu.
Akan tetapi, Derryl mengatakan tak memiliki informasi mengenai lembaga yang akan melatih dan memberangkatkannya. Ia juga tak tahu akan ditempatkan di perusahaan dan kota mana nantinya. ”Paling, ya, sesuai jurusan. Cuma tergantung arahan mereka (lembaga pengirim tenaga kerja),” ujarnya.