Masyarakat Kepri Khawatir Dampak Lingkungan Tambang Pasir Laut
Masyarakat pesisir di Kepulauan Riau khawatir potensi kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut. Dampak buruk ekspor pasir laut yang pernah marak di provinsi itu 20 tahun yang lalu masih membayangi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Masyarakat di Kepulauan Riau meminta pemerintah mewaspadai potensi kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan pasir laut. Dampak buruk ekspor pasir laut yang dulu pernah dirasakan warga pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepri seharusnya menjadi bahan pertimbangan.
Pemanfaatan pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut. PP itu sekaligus mencabut larangan ekspor pasir laut. Sosialisasi dan konsultasi publik terkait PP No 26/2023 diselenggarakan di Batam pada 24-25 Juli 2023.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, Selasa (25/7/2023), menyatakan, pemerintah perlu lebih banyak mendengar masukan dari masyarakat pesisir sebelum membuat peraturan turunan PP No 26/2023. Nelayan Kepri sudah pernah menanggung dampak kerusakan lingkungan akibat ekspor pasir laut yang ugal-ugalan.
”Perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan ini. Harus benar-benar dipastikan apakah masyarakat pesisir bersedia daerahnya ditambang,” kata Syuzairi kepada wartawan usai acara sosialisasi dan konsultasi publik PP No 26/2023.
Tambang pasir laut pernah marak di perairan Kepri pada 1978-2023. Pasir dari Batam dan karimun dikeruk secara besar-besaran untuk mereklamasi Singapura. Volume pasir yang diekspor ke Singapura lebih kurang 250 juta meter kubik per tahun (Kompas, 16/2/2003).
”Dulu tambang pasir laut membuat nelayan Kepri miskin karena mereka sulit mencari ikan. Bahkan, kelong (keramba apung) banyak yang tutup karena laut tercemar,” ujar Syuzairi.
Hal tersebut salah satunya dirasakan warga di Pulau Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Batam. Salah satu warga, Amdan (34), mengatakan, tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga membuat pulau-pulau kecil tempat warga bermukim jadi terkena abrasi.
Menurut dia, rencana pemerintah membuka lagi ekspor pasir laut itu tidak berwawasan maritim dan tidak memihak rakyat kecil. Ia menilai, peraturan tersebut hanya menguntungkan pengusaha besar (Kompas, 30/5/2023).
Dampak buruk yang dirasakan masyarakat pesisir itulah yang dulu mendorong Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Sejak saat itu, ekspor pasir laut dari Kepri dihentikan secara bertahap.
Syuzairi menilai, langkah pemerintah saat ini yang membuka kembali keran ekspor pasir laut lewat PP No 26/2023 berpotensi mengulang mimpi buruk nelayan Kepri. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bisa mempertimbangkan dampak tambang pasir laut terhadap keberlanjutan ekosistem.
”Waktu ekspor pasir laut dihentikan masyarakat sudah tenang. Namun, kini masyarakat mulai berteriak lagi karena takut tambang pasir laut akan berdampak buruk seperti dulu lagi,” ujar Syuzairi.
Dulu tambang pasir laut membuat nelayan Kepri miskin karena mereka sulit mencari ikan. Bahkan, kelong (keramba apung) banyak yang tutup karena laut tercemar.
Sebelumnya, Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Agung Dhamar Syakti juga mengemukakan bahwa eksploitasi pasir laut merupakan kegiatan ekstraktif yang bersifat jangka pendek. Ekspor pasir laut di masa lalu tidak terbukti memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat pesisir di lokasi penggalian pasir (Kompas, 6/6/2023).
Usai acara sosialisasi dan konsultasi publik di Batam, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, menyatakan, pemanfaatan sedimentasi laut ditargetkan mulai dilakukan pada tahun ini. Terkait hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan segera menjadwalkan agenda khusus untuk mewadahi saran dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan nelayan.
”Kalau (nanti) ada nelayan yang komplain (bahwa) pengelolaan sedimentasi laut mengganggu ekosistem dan mengganggu mata pencarian mereka, silakan lapor ke kami. Itu pasti akan ditindak dan dihentikan,” kata Wahyu.
Menurut dia, pemanfaatan sedimentasi laut nantinya akan diawasi secara ketat. Kapal isap diwajibkan menggunakan transmisi supaya pergerakannya bisa terpantau dari command center KKP. Penggunaan teknologi itu juga memungkinkan petugas untuk memantau volume sedimentasi yang diangkut.
”Walaupun sudah ada teknologi ini (dan) itu, tetapi tetap ada personel yang nantinya ditaruh di setiap kapal (isap) yang membersihkan sedimentasi tersebut. Dengan begitu, diharapkan ada kontrol yang menyeluruh,” ujar Wahyu.