Evakuasi Delapan Korban Tambang Emas Ilegal di Banyumas Belum Berhasil
Evakuasi delapan pekerja tambang emas ilegal di Banyumas hingga Rabu malam belum berhasil. Motif ekonomi jadi alasan perangkat desa setempat tidak berani menegur atau menertibkan tambang emas ilegal itu.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Hingga Rabu (26/7/2023) malam, upaya evakuasi delapan pekerja tambang emas ilegal yang terjebak genangan air di dalam sumur tambang di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, belum membuahkan hasil. Mereka terjebak di lubang dengan kedalaman mencapai 60 meter sejak Selasa malam pukul 22.00.
Tim SAR Gabungan masih berupaya menyedot air di dalam lubang sumur tersebut. Air diduga berasal dari lubang lain yang kemudian menggenangi lubang di mana terdapat delapan orang tersebut.
Kepala Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, Narisun mengatakan, dirinya tidak berani menegur atau melarang kegiatan tambang emas ilegal di wilayahnya karena kegiatan itu menjadi mata pencarian sebagian warga desanya. Aparat penegak hukum bersama pemerintah daerah diminta tegas menangani kasus penambangan emas ilegal tersebut.
”Sebagian kecil pekerja di sana ada sekitar 50 orang adalah warga desa setempat,” kata Narisun di lokasi tambang ilegal, Rabu (26/7/2023).
Tanah seluas 2 hektar yang menjadi lokasi tambang, kata Narisun, dimiliki oleh lima orang warga. Sebagian besar pekerja berasal dari wilayah Jawa Barat, seperti Bogor dan Tasikmalaya.
”Kami dari pemerintah desa sudah sering mengimbau supaya jangan diteruskan, tapi itu menjadi ekonomi masyarakat sehingga saya tidak berani secara vulgar meminta dihentikan. Itu jelas menyerap tenaga kerja yang banyak sekali. Memang izin itu masih proses sampai Semarang dan tidak ada realisasi sampai sekarang,” ujarnya.
Diperkirakan, kata Narisun, total lebih dari 100 orang yang bekerja di pertambangan di sana. ”Sistem di sini bukan sewa, tapi bagi hasil. Ada lima orang pemilik tanah. Tapi saya tidak berani memungut dari sini karena ini masih ilegal. Nanti dikira saya melegalkan,” ucapnya.
Kepala Kepolisian Resor Kota Banyumas Komisaris Besar Edy Suranta Sitepu mengatakan, pertambangan ilegal itu pernah ditindak kepolisian pada 2021, tetapi kemudian timbul lagi.
”Kami pernah melakukan penindakan pada 2021. Jadi, ini nanti jadi evaluasi ke depan. Kami bersama forkompimda akan menindaklanjuti ini. Tentu supaya kejadian ini tidak terulang, akan dirapatkan bersama,” kata Edy.
Menurut Edy, di desa itu, 80 persen warga berharap hidup dari tambang. ”Itu jadi evaluasi kami. Ke depan, diharapkan kejadian ini tidak terulang,” kata Edy.
Akibat kejadian itu, aktivitas pertambangan saat ini ditutup. ”Saat ini sudah ada 18 orang dimintai keterangan dan diperiksa sebagai saksi terkait kejadian ini,” ujar Edy.
Perlu ketegasan
Dihubungi terpisah, dosen Hukum Lingkungan Hidup Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma, Purwokerto, Elly Kristiani Purwendah, mengatakan, isu pertambangan ilegal sudah lama ada dan perlu ketegasan aparat serta pemerintah daerah setempat.
”Kalau bicara pertambangan ilegal, yang harus dilihat pertama adalah payung hukumnya. Untuk pertambangan harus ada izin eksplorasi dan izin eksploitasi. Apakah perizinan itu sudah didapat oleh mereka yang menggali tambang,” kata Elly yang juga penerima Fellowship Postdoctoral BRIN pada Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup, Organisasi Riset, dan Manufaktur.
Menurut Elly, untuk mendapatkan izin atau legal formal harus memenuhi sejumlah syarat supaya suatu usaha itu bisa menjamin keberlanjutan daur hidup. ”Usaha itu harus bisa menjamin bahwa di dalam penilaian daur hidup itu standardisasinya terpenuhi. Standardisasi untuk sebuah usaha itu harus keberlanjutan terhadap lingkungan. Dampaknya sudah bisa dihitung di awal,” katanya.
Elly yang juga Wakil Ketua Bidang Riset Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) mengatakan, daya dukung lingkungan, proses transportasi, serta keluaran produk, juga emisi dan dampak pada air dan tanah harus diperhitungkan supaya tidak menyebabkan pencemaran. Apalagi penggalian tambang emas pasti menggunakan merkuri yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
”Kalau sampai ilegal, bahayanya laten sekali. Meski tidak mengecilkan jumlah korban saat ini, ini jadi evaluasi pemerintah saat ini. Ini, kan, sudah lama, mengapa ada pembiaran. Mohon maaf, mungkin ada bagusnya ada bencana sehingga ini jadi perhatian. Justru bencana yang tidak terlihat, tetapi jadi risiko yang sangat besar adalah bencana terhadap lingkungan,” paparnya.