Isu ASF Terus Menyebar, Harga Daging Babi di Tomohon Turun
Harga daging babi yang ditetapkan para pedagang di Tomohon menurun sebagai respons terhadap isu demam babi afrika atau ASF di seluruh provinsi. Pemerintah kota membenarkan adanya kematian hewan, tetapi bukan karena ASF.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Harga daging babi yang ditetapkan para pedagang di Tomohon, Sulawesi Utara, anjlok sebagai respons terhadap isu demam babi afrika (ASF) di seluruh provinsi. Pemerintah kota membenarkan adanya kematian hewan dalam jumlah besar di peternakan, tetapi menegaskan bahwa itu bukan diakibatkan ASF.
Pada Selasa (25/7/2023), harga daging babi di Pasar Beriman Wilken, Tomohon, atau lebih dikenal sebagai Pasar Ekstrem, berkisar Rp 40.000-Rp 55.000 per kilogram (kg), tergantung bagian-bagiannya. Bagian paha, misalnya, kini dijual seharga Rp 45.000 per kg, turun dari normalnya Rp 55.000-Rp 60.000 per kg.
Paul Mait (58), salah seorang pedagang daging babi, mengatakan, harga itu sudah berlaku selama sebulan terakhir seiring menyebarnya kabar kematian babi yang dicurigai akibat ASF.
”Bagian perut itu biasanya Rp 65.000 per kg, tapi sekarang cuma Rp 50.000. Bagian iga juga tinggal segitu,” katanya.
Kendati begitu, ia menyatakan, para pedagang bukan pihak yang merugi, melainkan para peternak. Sebab, para pedagang hanya menyesuaikan dinamika harga yang ditetapkan di peternakan ketika membeli babi dalam keadaan hidup untuk kemudian dipotong.
Menurut Paul, harga normal babi hidup di peternakan adalah Rp 35.000-Rp 36.000 per kg, tetapi sekarang tinggal Rp 27.000-Rp 28.000 per kg. ”Kalau di peternak murah, kami jual murah juga di pasar. Jadi, pedagang sama sekali tidak rugi,” katanya.
Akan tetapi, ia merasakan penurunan volume penjualan. Saat isu ASF belum menyebar, ia bisa menjual 21 babi selama sepekan, tetapi kini hanya tujuh ekor saja. Hal itu disebabkan kekhawatiran konsumen akan ancaman gangguan kesehatan.
Michael Andris (47), pedagang lainnya, kini menjual daging babi dengan harga Rp 100.000 per 3 kg atau sekitar Rp 33.300 per kg. ”Ini harga sudah turun sebulan lebih. Di Sonder (Minahasa), ada yang jual Rp 100.000 dapat 6 kg. Itu yang bikin harga jatuh,” ujarnya.
Harga yang berlaku di Sonder itu sempat viral di media sosial. Kecurigaan masyarakat akan penjualan daging dari babi yang sakit pun, kata Michael, semakin kuat.
Akibatnya, jumlah babi yang ia jual setiap minggu turun dari delapan menjadi enam saja. ”Jadi, untungnya sekarang tipis-tipis saja, sehari Rp 100.000,” katanya.
Karena itu, Paul dan Michael berharap pemerintah bisa segera mengklarifikasi soal keberadaan ASF di Tomohon dan Sulut secara umum demi mengikis kekhawatiran masyarakat. ”Kami berharap harga tetap stabil supaya semua hidup, baik peternak dan pedagang,” ujar Paul.
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Tomohon Karel Lala membenarkan adanya kematian ternak babi dalam jumlah besar di kota yang pada 2020 berpenduduk 100.587 orang itu. Jumlah kematian itu belum direkapitulasi.
Akan tetapi, Karel menegaskan, kejadian tersebut bukan disebabkan oleh ASF. ”Hasil analisis kami, ada penyakit seperti hog cholera (kolera babi) atau penyakit lainnya yang sudah biasa. Memang untuk sementara ini tidak ada vaksin hog cholera yang masuk ke Sulut. Jadi, kami upayakan agar vaksin itu bisa segera masuk,” tuturnya.
Selama ini, sampel-sampel dari babi yang mati telah diambil untuk diuji di laboratorium Balai Besar Veteriner Maros, Sulawesi Selatan. Karel menyebut tes tersebut dikhusukan untuk mendeteksi ASF, tetapi tak ada yang hasilnya positif.
”Jadi, ASF belum terbukti ada,” lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Peternak Babi Sulut Gilbert Wantalangi mengatakan, para peternak juga diresahkan oleh kabar kematian babi dalam jumlah besar di kandang-kandang meski angkanya belum dapat dikonfirmasi. Para peternak pun berasumsi ASF sudah ada di Sulut.
Akibatnya, harga jual ternak yang berlaku di kandang kini hanya Rp 29.000 per kg hidup. ”Di kandang yang sudah terkontaminasi, babi hidup tidak dijual dengan harga normal lagi. Sudah tidak ditimbang, tetapi berdasarkan taksiran saja. Mungkin karena peternaknya panik, tidak tahu mau jual bagaimana,” katanya.
Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut telah mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir mengonsumsi daging babi. Alasannya, sama seperti kolera babi, virus ASF tidak bersifat zoonosis sehingga tidak bisa menjangkiti manusia. Pada saat yang sama, para peternak diimbau untuk membatasi akses ke kandang.