Adaptasi Rob dari Jenang Terong Pekalongan dan Kekuatan Anak Muda Dunia
Anak muda di seluruh dunia menjadi kalangan paling rawan terdampak perubahan iklim. Di tangan mereka, transisi teknologi, budaya, dan ekonomi untuk dunia lebih baik bakal menemukan bentuknya di masa depan.
Anak muda di seluruh dunia menjadi kalangan paling rawan terdampak perubahan iklim. Di tangan mereka, transisi teknologi, budaya, dan ekonomi untuk dunia lebih baik bakal menemukan bentuknya di masa depan.
Kelahiran seorang manusia baru ke Bumi lima tahun yang lalu dan tantangan berat dalam perjalanan hidupnya mampu mengubah cara pandang terhadap ancaman perubahan iklim. Kita sadar, cara hidup yang ramah lingkungan kini kebutuhan bersama demi kelestarian alam di Bumi tempat tinggal anak-anak kita.
Pola hidup sehat dan ramah lingkungan pun kini menjadi tren global, yang tentu saja sangat bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari rutin berolahraga, mengonsumsi makanan sehat, dan berhenti merokok.
Langkah-langkah mengolah sampah rumah tangga dan menjaga resapan air di sekitar lingkungan dengan membuat lubang biopori pun bisa dilakukan oleh siapa saja. Halaman rumah yang cukup bisa diisi puluhan lubang biopori berdiameter 10 sentimeter sedalam 1 meter.
Sampah organik yang dihasilkan langsung diisi ke lubang biopori. Sampah anorganik berbahan plastik atau kertas bisa dipilah, dibersihkan, dan dijual. Semua menguntungkan.
Lubang biopori akan menyuburkan tanah sekaligus menjaga kemampuannya menjaga air tanah. Adapun pemilahan sampah anorganik bisa menghasilkan uang.
Seiring memanasnya iklim Bumi dan semakin ketatnya persoalan pangan, tantangan masa depan generasi muda di Bumi tentu akan lebih berat lagi dibandingkan para orangtua saat ini. Seperti diulas dalam artikel ”Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim” (Kompas.id, 13/2/2023), semakin muda usia seorang individu, beban pengurangan karbonnya hingga kewajiban mengerem perubahan iklim juga makin besar.
Dalam penelitian itu, anak yang lahir sejak tahun 2017 hanya diperbolehkan mengeluarkan emisi delapan kali lebih rendah daripada kakek dan neneknya. Lebih dari itu, mereka berisiko tinggi terdampak gelombang panas, kelangkaan air, wabah penyakit, hingga polusi.
Penyembuhan diri
Dalam artikel serupa, ada empat bentuk ancaman yang kemungkinan besar bakal dihadapi generasi muda, khususnya di daerah rawan perubahan iklim.
Pertama, cuaca ekstrem picu bencana dan rawan menghancurkan ketahanan pangan. Ironisnya lumbung pangan yang subur kerap berada di kawasan bencana. Seperti sentra beras di tepi sungai rawan banjir atau pusat pangan bahari yang mudah saja dihajar rob dan abrasi.
Kedua, kondisi itu berisiko menyebabkan generasi muda akan bermigrasi secara terpaksa. Kasus perdagangan manusia yang sedang marak terjadi besar kemungkinan ikut dipicu krisis iklim. Banyak daerah kantong pekerja migran, misalnya, biasanya dililit bencana atau sulit sumber daya alam.
Ketiga, imbas perubahan iklim juga mengancam pendidikan. Anak muda di daerah rawan kerap kalah bersaing karena akses pendidikan tidak layak. Daerah bencana bisa libur berbulan-bulan, susah payah konsentrasi belajar di tenda plastik panas, hingga susah belajar karena harus mencari air bersih.
Bentuk ancaman terakhir adalah stabilitas mental atau emosi, depresi, kecemasan, ketakutan, dan dorongan untuk bunuh diri. Oleh karena itu, jangan salahkan anak muda apabila mereka mudah stres, tidak seperti zaman bapak ibunya, yang katanya jauh lebih tangguh. Jangan heran apabila kata-kata healing atau penyembuhan menjadi tren masa ini.
Baca juga: Perubahan Iklim Mulai Mengancam Hak Pendidikan
Inspirasi idola
Healing bisa jadi hanya bagian kecil dari jalan keluar yang dipilih anak muda. Di samping itu, ada juga anak muda yang menggugat. Bima Yudho Saputro sekali lagi menjadi contoh.
Sebagian mungkin melihatnya sebagai anak muda yang mengeluhkan jalan rusak di Lampung. Namun, bukankah jalan mulus bisa ikut menghemat bahan bakar minyak dan penghematan energi adalah bagian dari adaptasi iklim.
Ada yang menggugat, ada juga yang langsung berbuat. Bisa jadi sekadar konten di medsos atau benar-benar dari hati. Namun, apa pun itu, mereka sudah bergerak dan harapannya ada yang terinspirasi.
Contoh pertama ada media sosial, seperti Pandawara Grup. Terakhir mereka ikut bersih-bersih pantai di Banten dan Lampung.
Contoh lain muncul dari penggemar Korea Pop (Kpopers). Banyak dari mereka terinspirasi idolanya. Salah satu contohnya penggemar BTS, grup musik Korea Selatan, yang menanam 2.500 mangrove untuk merayakan ulang tahun ke-8 di Tambakrejo, Semarang, Juni 2021.
Hal serupa dilakukan Blink, fans Blackpink. Kelompok musik ini adalah duta 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26). Mereka ikut dalam menyuarakan isu perubahan iklim dan ikut bergerak.
Mengutip HAI, data yang dihimpun Kpop4planet, platform penggemar K-pop, berdiskusi dan belajar tentang krisis iklim, Kpopers Indonesia menanam pohon paling banyak sedunia, 52.636 pohon.
Selanjutnya, ada negara asal Kpop, Korea Selatan, dengan 35.377 pohon. Indonesia bahkan lebih besar dari India, negara dengan populasi terbanyak di dunia, yang menanam 13.483 pohon.
Contoh lain ada di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana, kolaborasi antara generasi tengah merekah saat hidup mereka terus diancam banjir rob pantai utara. Bukan karena semata-mata akibat kenaikan air laut, rob terjadi akibat penurunan tanah akibat aktivitas manusia.
Pengajar di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika di Institut Teknologi Bandung, Sella Lestari Nurmaulia, mengatakan, penurunan tanah di Pekalongan mencapai 3-10 sentimeter per tahun. Jumlahnya jauh lebih tinggi ketimbang kenaikan air laut 0,1-0,5 cm per tahun.
Penurunan tanah berlangsung juga di sentra industri, seperti batik, yang menjadi ikon kota. Seperti banyak industri konfeksi lain, produksi batik membutuhkan ketersediaan air (tanah) yang besar.
Untuk meminimalkan dampak, sejumlah rekayasa dilakukan. Banyak tanggul dibuat semakin tinggi. Hal itu berbanding terbalik dengan rumah warga yang kian pendek akibat jalan dan pekarangan yang terus ditinggikan.
Mangrove yang diandalkan menahan hantaman ombak pantai juga tidak selamanya efektif. Ribuan pohon bakau hingga api-api ditanam dan hanya sedikit yang bertahan. Sebagian bahkan susah payah bertahan di Pusat Informasi Mangrove Pekalongan.
Sadar menjadi korban akibat fenomena itu, Lurah Kandang Panjang Amat Fauzan, tidak ingin tinggal diam. Dia, misalnya, bersama anak muda giat menanam 11.800 mangrove sejak September 2022. Pernah gagal, mereka tidak menyerah belajar mencari mangrove terbaik apa dan metode apa yang cocok di Pekalongan.
Selain menanam, mereka juga aktif memasukkan isu perubahan iklim pada musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) kelurahan. Apabila dulu dana yang diusulkan untuk sekadar infrastruktur jalan, kini digunakan juga membangun kesadaran warga tentang dampak perubahan iklim.
”Tidak ada lagi ’saya’, warga kini memikirkan ’kami’,” kata Amat merujuk kesediaan warga memikirkan kepentingan bersama ketimbang pribadi.
Ada juga gerakan Kolaborasi Bareng (Kobar) yang melibatkan 150 orang berusia 16-25 tahun. Diinisiasi Kemitraan, sebagian besar anggotanya adalah anak muda penyintas dan masih menjadi korban setiap rob datang.
Kemitraan sebagai organisasi yang menyebarkan tata kelola pemerintah, dunia usaha, dan sipil juga memiliki perhatian terhadap hal ini. Lewat Kobar, anak muda diberikan ruang diskusi dan mengutarakan isi kepala terkait praktik ramah lingkungan, seperti pewarna batik ramah lingkungan hingga sulam mangrove.
Semuanya adalah modal penting. Saat isu dampak perubahan iklim digaungkan sejak dini, gunanya luar biasa. Warga bisa membuka banyak pintu guyub, adaptif, dan kreatif. Ujungnya, mereka tidak lagi menjadi generasi yang pasrah menerima keadaan.
Adaptasi
Buktinya ada di Kelurahan Krapyak, Kota Pekalongan. Paham isu lingkungan, warga kini bersama-sama tanam sayur vertikultur di lahan terdampak salinitas tinggi dan diskusi pembuatan pupuk limbah bulu ayam hingga eceng gondok. Selain itu, ada upaya merintis ekowisata dan budidaya keramba nila hingga bandeng di lahan rob.
Belajar isu lingkungan, warga Kelurahan Padukuhan Kraton juga berkolaborasi dengan kampung KB untuk menggabungkan isu demografi dan sanitasi dengan perubahan iklim, belajar literasi keuangan, hingga kreatif membuat makanan olahan seperti jenang terong hingga stik tepung berbahan kucai.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim di Bawah Tanah Mengintai Kota-kota Besar
Ratna Rosanah, warga Padukuhan Kraton, kini percaya diri. Dia mengatakan, jenang terong yang kenyal bisa jadi lebih kuat dari tanggul penahan rob. ”Jenang ini menjadi bentuk adaptasi warga menghadapi rob. Ditanam secara bertingkat (vertikultur), kami bisa tetap panen terong,” ujarnya.
Selain itu, Lurah Padukuhan Kraton Widya Putri Nugroho (40) juga tengah mengumpulkan UMKM warga terdampak rob ke e-katalog pemerintah daerah setempat. Tujuannya mulia. Widya ingin produk penyintas semakin dikenal dan memberikan banyak kesejahteraan di tanah sendiri.
”Tahun ini, saya sedih sekali. Surat permohonan menjadi pekerja migran yang harus saya tanda tangani lebih banyak ketimbang tahun lalu. Semoga jenang dan banyak usaha lainnya bisa menekan minat warga bekerja di luar negeri,” kata Widya.
Meski banyak pintu mulai terbuka, dukungan berbagai pihak jelas masih dibutuhkan. Salah satu yang bisa didorong adalah penerapan aplikasi teknologi. Semua demi langkah terukur, hemat, dan hasil maksimal.
Di Kota Pekalongan, misalnya, metode tetes pada tanaman vertikultur hingga pemberian pakan otomatis untuk nila dan bandeng potensial jauh lebih ideal jika menerapkan teknologi.
Berjarak sekitar 80 kilometer dari Pekalongan, Sururi, warga Mangkang, Kota Semarang, juga tidak tinggal diam menjaga pesisir utara Jawa. Dia menginisiasi rehabilitasi ekosistem mangrove di garis pantai Desa Mangkang.
Luas lahannya hampir 80 hektar. Ada 27 jenis mangrove ditanam Sururi bersama warga didampingi Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) sejak 2008.
Kini, hasilnya perlahan dinikmati. Tidak hanya bermanfaat ekologis, pelestarian kawasan pesisir itu memberikan manfaat ekonomi bagi warga. Mereka memanfaatkan buah mangrove untuk pewarna batik hingga pengolahan makanan dan sirup.
Pendampingan warga Mangkang, adalah satu dari sekian program BLDF untuk alam. Vice President Director Djarum Foundation FX Supanji mengatakan, BLDF melalui program Djarum Trees for Life (DTFL) melakukan pelestarian lingkungan melalui penanaman pohon dan mangrove bersama masyarakat, utamanya generasi muda.
Dalam setahun, kata dia, DTFL menanam 60.000 ragam bibit tanaman di berbagai lokasi di Indonesia. Bibit-bibit tanaman ini diproses dan disemai di Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) di Kudus. Saat ini, PPT sudah mengoleksi 360 jenis bibit tanaman, termasuk diantaranya 22 jenis tanaman langka.
“Bibit-bibit tanaman yang disemai di PPT milik BLDF ini dapat diakses gratis oleh masyarakat. Untuk memastikan bibitnya tumbuh baik, serta mengembangkan teknik perawatan tanaman dengan hasil paling efektif, PPT Kudus bekerja sama dengan peneliti dan akademisi,” kata dia.
Pulihkan lingkungan
Tahun ini, BLDF lewat #OneActionOneTree juga mengumpulkan 47.845 bibit pohon dan tanaman kayu multiguna di tahun ketiga penyelenggaraannya. Bibit itu tertanam di sekitar lereng Perbukitan Patiayam, Kudus, sepanjang 2020–2022.
Gerakan #OneActionOneTree, adalah bagian dari gerakan tahunan yang mengajak masyarakat, utamanya generasi muda, memulihkan lingkungan melalui berbagai bersepeda, lari, dan platform media sosial.
Terinspirasi semangat Bulan Menanam Pohon pada Desember dan Hari Gerakan Sejuta Pohon yang dirayakan tiap 10 Januari, gerakan ini bertujuan membentuk kebiasaan kolektif terkait cinta lingkungan dalam berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Communications Director Djarum Foundation Mutiara D Asmara mengatakan, gerakan #OneActionOneTree sejalan dengan keinginan pemerintah agar satu warga dapat menanam dan memelihara sekurang-kurangnya 25 batang pohon selama hidupnya.
Gerakan ini tidak terbatas geografi. Masyarakat dari seluruh Indonesia dapat mendaftarkan pencapaian harian mereka lewat www.siapdarling.id/oneactiononetree.
Di tiga kali penyelenggaraan, #OneActionOneTree berhasil dikumpulkan 1.341.604 km dari bersepeda, 218.836 km dari berlari, dan 6.928 unggahan di sosial media. Angka ini kemudian dikonversikan menjadi 47.845 bibit pohon yang tertanam di lereng Gunung Muria dan Perbukitan Patiayam.
Sejauh ini, penanaman pohon membuahkan manfaat bagi warga. Edi Purnomo, petani Desa Terban di Patiayam, mengatakan, sebelum ada gerakan #OneActionOneTree, desanya gundul dan cuaca terasa lebih panas.
“Kini, udara semakin sejuk dan hijau dengan tanaman buah-buahan. Kami percaya, aksi pelestarian lingkungan tidak boleh berhenti di penanaman saja, tetapi harus ditindaklanjuti dengan pemeliharaan. Semoga anak dan cucu saya juga dapat menikmati dan memanfaatkan sayur dan buah dari pohon yang ditanam,” kata dia.
Setelah beragam aksi langsung di lapangan dilakukan, yang tidak boleh dilupakan selanjutnya adalah dukungan politik. Kehadirannya menjadi sangat penting guna jadi payung berbagai kebijakan berpihak pada alam kelak. Apalagi, dalam waktu dekat, Indonesia bakal menghadapi kontenstasi politik di Pemilu 2024.
Nanti, peran anak muda bakal sangat vital. Anak muda punya hak suara lebih 70 persen dari total pemilih. Hak suara itu penting menentukan masa depan iklim Indonesia.
Siapa saja yang terpilih, wajah lama atau baru, tua atau muda, bisa kian paham apabila perubahan iklim bisa mengancam siapa saja, tanpa pandang usia, lebih cepat dari yang kita kira.