Krisis iklim yang terus berkepanjangan mengharuskan perhatian lebih besar dari semua pihak. Saatnya pemerintah, DPR, tokoh masyarakat, politikus, perguruan tinggi, dan ilmuwan bekerja sama menyusun RUU perubahan iklim.
Oleh
DODDY S SUKADRI
·5 menit baca
Hampir semua orang kini bicara tentang krisis iklim, tetapi lupa menyampaikan ciri utama perubahan iklim itu sendiri.
Ciri pertama adalah long-term issue, artinya dampak perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu lama, bisa 30, 50, bahkan 100 tahun. Yang kedua, borderless issue, artinya tak mengenal batas wilayah negara bahkan benua, apalagi batas kabupaten dan provinsi. Emisi yang terjadi akibat ulah manusia pada suatu tempat/negara/benua akan dirasakan dampaknya di belahan bumi lain.
Ketiga, scientific based, artinya perubahan iklim dan dampaknya dianalisis berdasarkan teori dan kaidah ilmiah. Ribuan peneliti perubahan iklim dari sejumlah negara dan bagian benua tergabung dalam Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC), yang kemudian menyusun laporan berkala Assessment Report (AR) mengenai perubahan dan analisis dampak yang akan terjadi di masa depan di berbagai belahan dunia.
Kesepakatan global
Karena ciri-ciri itu, solusi krisis iklim tak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, tapi harus melibatkan semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang, kaya maupun miskin, negara besar maupun kecil.
Karena itulah, pada 1994 PBB berhasil menyusun sebuah konvensi kerangka kerja perubahan iklim global yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Setahun kemudian digelar pertemuan puncak perubahan iklim yang pertama, Conference of the Parties (COP UNFCCC) yang dihadiri lebih dari 100 negara di dunia. COP diadakan tiap tahun, dan yang terakhir COP 26 tahun 2021 digelar di Glasgow, Skotlandia.
Tahun ini COP 27 direncanakan berlangsung di Sharm El-Seikh, Mesir, dan COP 28 tahun 2023 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA).
Perubahan iklim sudah dinegosiasikan lebih dari seperempat abad lalu dan hingga kini belum selesai.
Sejarah panjang COP merefleksikan krisis iklim yang sulit diprediksi kapan berakhir. Perubahan iklim sudah dinegosiasikan lebih dari seperempat abad lalu dan hingga kini belum selesai. Sementara bencana iklim kian sering terjadi di mana-mana akibat konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang terus meningkat di atmosfer, dan menyebabkan bencana iklim di berbagai belahan dunia.
Setelah bekerja selama beberapa dekade, para ilmuwan akhirnya menyepakati jawaban yang relatif sederhana untuk krisis iklim, yaitu bagaimana mencapai emisi GRK nol bersih sesegera mungkin secara ekonomis. Pesan sederhana ini diperkuat pada 2015 setelah tiap negara di dunia menandatangani perjanjian iklim Paris.
Para pihak sepakat, kenaikan temperatur bumi perlu dibatasi maksimal 20 derajat celsius dan diupayakan agar tak melebihi 1,5 derajat celsius untuk mencegah bencana iklim yang lebih hebat. Sejak itu, banyak negara besar dan kecil berkomitmen mengadopsi tujuan emisi nol bersih.
Baru pertama kali dalam sejarah KTT iklim, landasan ilmiah dijadikan referensi utama dalam menyusun kesepakatan COP 26. Tak lama setelah itu, laporan terbaru IPCC-6 yang dirilis pada 28 Februari 2022 diambil dari 34.000 studi dan melibatkan 270 penulis dari 67 negara, menguraikan gambaran menakutkan: ”perubahan iklim sudah berdampak pada setiap sudut dunia, dan dampak yang jauh lebih parah akan datang jika kita gagal mengurangi emisi dalam kurun waktu 10 tahun ke depan dan secara bersamaan meningkatkan aksi adaptasi”.
ilustrasi
Laporan ini membeberkan salah satu analisis paling komprehensif tentang dampak intens perubahan iklim dan risiko masa depan, terutama untuk negara-negara miskin dengan sumber daya terbatas dan masyarakat yang terpinggirkan.
Laporan IPCC 2022 juga menjelaskan tindakan adaptasi iklim mana yang dianggap paling efektif dan layak, juga kelompok masyarakat dan ekosistem mana yang paling rentan.
Perubahan iklim adalah masalah kaum milenial karena dampaknya akan dirasakan dalam jangka panjang. Dengan demikian, solusi krisis iklim seyogianya jadi prioritas utama bagi generasi akan datang. Di KTT Iklim 2021, Greta Thunberg, remaja asal Swedia, jadi sorotan dunia karena keberaniannya mencerca anggota PBB dan para negosiator perubahan iklim dari 196 negara yang hadir.
UU Perubahan Iklim
Komitmen Indonesia untuk turut serta mengatasi krisis iklim global dilakukan sejak lebih dari 20 tahun lalu. Pemerintah meratifikasi Protokol Kyoto pada 1997. Protokol ini memberikan kewajiban kepada negara maju untuk mengurangi emisinya. Sementara negara berkembang hanya dikenai kewajiban sukarela.
Indonesia juga menunjukkan peran pentingnya di tingkat dunia sebagai tuan rumah COP 13 tahun 2007 di Bali yang di antaranya menghasilkan Bali Action Plan yang menempatkan peran penting hutan Indonesia melalui pelaksanaan skema REDD+.
Perubahan iklim adalah masalah kaum milenial karena dampaknya akan dirasakan dalam jangka panjang.
Komitmen dan kontribusi Indonesia kembali ditunjukkan dengan meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No 16/2016. Berbeda dengan Protokol Kyoto, dalam Perjanjian Paris kewajiban menurunkan emisi dikenakan ke semua negara tanpa kecuali untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 20 derajat celsius dan mengupayakan kenaikan yang tak lebih dari 1,5 derajat celsius dari suhu bumi zaman pra industri.
Krisis iklim yang terus berkepanjangan mengharuskan perhatian yang lebih besar dari semua pihak. Bukan saja pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga para pelaku usaha, akademisi, praktisi, dan masyarakat luas. Karena dampak perubahan iklim juga dirasakan dalam jangka panjang, keterlibatan anak-anak dan kepemimpinan kaum milenial dalam perubahan iklim perlu terus dibangkitkan sejak dini.
Dampak perubahan iklim sudah dirasakan dengan frekuensi yang kian meningkat dari waktu ke waktu, merata di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Saatnya pemerintah, DPR, tokoh masyarakat, politikus, perguruan tinggi, dan para ilmuwan bekerja sama menyusun RUU perubahan iklim yang lengkap dan komprehensif agar bisa diterima semua pihak dan kemudian diwujudkan jadi UU Perubahan Iklim dalam waktu tak terlalu lama. Semoga!
Doddy S SukadriDirektur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Mantan Negosiator COP UNFCCC, dan Pengamat Perubahan Iklim