Rencana Penggusuran yang Menghantui Warga Pulau Rempang
Pulau Rempang di Kota Batam, Kepulauan Riau, akan dibagi menjadi tujuh kawasan investasi terpadu. Warga Rempang sepakat mendukung pembangunan, tetapi tegas menolak relokasi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Tengah hari, seusai shalat Jumat (21/7/2023), ratusan warga berkumpul di sebuah kedai di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Ruangan kedai dan tenda yang telah disiapkan tak cukup menampung warga yang membeludak.
Orang-orang berdiri berdesakan di bawah terik siang yang memanggang. Mereka riuh berkasak-kusuk soal kabar penggusuran kampung-kampung di Pulau Rempang yang telah bertiup sejak awal tahun.
Di kedai itu, pemerintah bakal menyosialisasikan rencana besar pengembangan ekonomi Pulau Rempang. Nilai investasi proyek Rempang Eco City disebut mencapai Rp 381 triliun.
Tiga pejabat yang hadir dalam acara sosialisasi itu adalah Sekretaris Daerah Kota Batam Jefridin Hamid, Direktur Pengamanan Aset Badan Pengusahaan (BP) Batam Mochamad Badrus, serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau Hendri. Pertemuan tersebut dijaga aparat dari sejumlah instansi.
Dalam kesempatan itu, Jefridin mengatakan, Pulau Rempang akan dikembangkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi warga setempat. Ia berharap agar semua pihak dapat berkolaborasi demi kepentingan bersama memajukan perekonomian daerah.
”Mudah-mudahan ini dapat memberikan yang terbaik untuk kita semua. Tujuan (pembangunan) ini tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan kita bersama,” kata Jefridin.
Rencana pengembangan Pulau Rempang telah diumumkan kepada publik di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada 12 April lalu. Pengelolaan pulau tersebut nantinya akan diserahkan kepada PT Makmur Elok Graha (MEG).
Lebih lanjut Badrus menjelaskan, Pulau Rempang nantinya akan dibagi menjadi tujuh kawasan. Masing-masing adalah kawasan industri, agrowisata, perumahan, pariwisata, pembangkit listrik tenaga surya, konservasi, dan cagar budaya.
Sebelumnya, BP Batam telah menawarkan opsi relokasi kepada warga untuk pindah dari Pulau Rempang ke Pulau Galang. Di lokasi baru itu, BP Batam akan menyiapkan rumah tipe 45 sebanyak 3.000 unit.
”Ada tanah sekitar 199 hektar (yang terletak) di belakang (bekas bangunan) Rumah Sakit Khusus Covid-19 Pulau Galang. (Tanah) itu pengalokasian lahannya milik BP Batam. Nanti akan dijelaskan lebih lanjut pada sosialisasi yang berikutnya,” ujar Badrus.
Rencana pengembangan Pulau Rempang memantik kekhawatiran warga karena disebutkan PT MEG akan mengelola lahan seluas 17.000 hektar. Artinya, seluruh Pulau Rempang akan dikelola perusahaan.
Padahal, di Pulau Rempang terdapat dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, Kota Batam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal di pulau tersebut.
Salah satu warga Sembulang, Rahima (53) mengatakan, warga mendukung rencana pemerintah melakukan pembangunan di Pulau Rempang. Namun, ia tegas menolak rencana pemerintah merelokasi warga Pulau Rempang ke Pulau Galang.
”Kami sudah turun-temurun hidup di kampung. Suami saya kerja nelayan, tak mungkin kalau harus pindah ke tempat lain,” ucap Rahima.
Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
Tokoh masyarakat di Pulau Rempang, Gerisman Ahmad (64), mengatakan, 16 kampung tua itu luasnya total hanya 1.500 hektar. Ia memohon agar pemerintah tidak menggusur kampung-kampung masyarakat adat tersebut.
Dalam acara sosialisasi itu, Gerisman memutar video instruksi Presiden Joko Widodo terkait percepatan pelepasan lahan untuk rakyat dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada Mei 2019. Waktu itu, Presiden mengatakan, sepanjang rakyat telah tinggal terlebih dahulu di lahan sebelum konsesi diberikan kepada korporasi, pemerintah akan melepaskan tanah tersebut kepada rakyat.
”Kalau di tengahnya ada desa atau kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi. Siapa pun pemilik konsesi itu, berikan kepada masyarakat kampung atau desa kepastian hukum,” ucap Presiden dalam video tersebut.
Siapa pun pemilik konsesi itu, berikan kepada masyarakat kampung atau desa kepastian hukum. (Presiden Joko Widodo)
Menanggapi penolakan warga terhadap rencana relokasi dan pertanyaan tentang kepastian hukum bagi kampung-kampung tua di Pulau Rempang, Jefridin dan Badrus sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menyampaikan hal tersebut kepada pimpinan. Sosialisasi selanjutnya akan diagendakan dalam waktu dekat.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, menilai, sesuai namanya Rempang Eco City, seharusnya pembangunannya tidak boleh meminggirkan warga. Pembangunan harus berkelanjutan dan warga tidak boleh hanya menjadi penonton.
”Seharusnya pemerintah bisa mendorong perusahaan supaya merangkul kampung-kampung tua menjadi kampung wisata. Warga harus diberdayakan, jangan malah disisihkan,” kata Syuzairi, yang juga pernah menjabat sebagai Asisten Pemerintahan dan Asisten Ekonomi Pembangungan Pemkot Batam itu.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut seusai pertemuan, Jefridin menolak berkomentar lebih lanjut mengenai berapa warga Pulau Rempang yang, menurut rencana, akan direlokasi ke Pulau Galang. Sebelumnya, Badrus juga menolak berkomentar saat ditanya mengenai hal tersebut.
”Pak Badrus yang tahu. Saya engga tahu. Pemkot (Batam) mana tahu, BP (Batam) lah yang tahu,” kata Jefridin.