Riset Save the Children, Ribuan Anak di Jabar dan NTT Alami Perundungan
Riset Save the Children Indonesia menemukan, ribuan anak di Jabar dan NTT menjadi korban perundungan. Riset itu juga mengungkapkan, banyak anak korban perundungan yang tak berani melapor.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Save the Children Indonesia menyatakan, ribuan anak di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur mengalami perundungan saat kegiatan pembelajaran kembali digelar secara luring setelah kondisi pandemi Covid-19 terkendali. Pengawasan dan dukungan terhadap perkembangan anak perlu diperhatikan untuk melindungi mereka dari berbagai bentuk perundungan dan kekerasan.
Kondisi itu terungkap berdasarkan hasil riset Save the Children Indonesia pada akhir 2022 yang dilakukan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, Jabar, serta Kota Kupang dan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Chief Executive Officer Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menyatakan, berdasar riset tersebut, sekitar 66 persen responden atau 1.187 anak mengalami perundungan dengan bentuk bervariasi. Ejekan menjadi aksi perundungan paling banyak dengan temuan hingga 92 persen. Sementara itu, sekitar 37 persen anak mengalami pemukulan saat menjadi korban perundungan.
”Temuan kami terkait perundungan pada anak ini menjelaskan bahwa anak berada di lingkungan yang tidak aman. Bahkan, beberapa dari mereka tidak berani melapor,” ujar Selina dalam keterangan tertulis, Minggu (23/7/2023).
Selina memaparkan, hanya satu dari empat anak atau 24 persen yang berani melaporkan perundungan yang mereka alami kepada orangtua. Bahkan, sekitar 33 persen anak atau satu dari tiga anak responden riset tersebut tidak melaporkan kejadian perundungan kepada siapa pun.
Kondisi ini, kata Selina, perlu menjadi perhatian karena berhubungan dengan pertumbuhan anak. Perundungan menjadi salah satu penyebab kegagalan dan pembentukan karakter anak yang tangguh dan adaptif.
Riset Save the Children juga menemukan, 47 persen anak yang mengalami perundungan cenderung tidak memiliki teman. Sementara itu, sekitar 28 persen anak mengaku tidak memiliki teman belajar kelompok.
Selina menyebut, kondisi itu dapat menurunkan motivasi belajar anak. Bahkan, beberapa anak terpaksa pindah sekolah dan putus sekolah karena menjadi korban perundungan.
”Ini sangat membahayakan. Perundungan dapat berdampak pada kesejahteraan dan tumbuh kembang anak. Jika tidak segera ditangani dengan baik, Indonesia sulit mewujudkan generasi yang tangguh,” katanya.
Menurut Selina, ketidaksadaran berbagai pihak, misalnya orangtua, guru, dan masyarakat, menjadi faktor utama penyebab tingginya angka perundungan. Kurangnya pengetahuan, pengalaman kekerasan dalam pengasuhan, hingga budaya permisif, juga menyebabkan perundungan anak meningkat.
Selina mengingatkan, peran orangtua dan guru sangat penting untuk menekan potensi perundungan anak. Pengasuhan yang positif, hak partisipasi anak, hingga pemberian apresiasi pada proses anak perlu dilakukan oleh orangtua.
Temuan kami terkait perundungan pada anak ini menjelaskan bahwa anak berada di lingkungan yang tidak aman.
Di lingkungan sekolah, Selina menuturkan, guru perlu memahami psikologi perkembangan dan perlindungan anak. Materi pelajaran yang diberikan di sekolah harus sesuai dengan kapasitas dan tumbuh kembang anak sehingga anak terhindar dari ancaman kekerasan saat mengenyam pendidikan.
”Berbagai pihak perlu mengambil langkah serius untuk mengakhiri perundungan terhadap anak,” ujar Selina. Upaya pencegahan perundungan itu juga sejalan dengan subtema perayaan Hari Anak Nasional 2023.
Koordinator Komunitas Peduli Pendidikan Jabar HMS Iriyanto menjelaskan, perundungan menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan secara menyeluruh. Upaya mencegah perundungan tak bisa hanya dilakukan dari keluarga, tetapi juga memerlukan peranan lembaga pendidikan.
”Tatanan kehidupan dimulai dari rumah tangga. Keteladanan di rumah dari orangtua menentukan karakter anak. Setelah itu, sekolah yang menjadi rumah kedua bagi anak juga menjadi perhatian,” katanya.
Iriyanto menyebut, guru memiliki peran penting dalam mengamati tumbuh kembang anak. Sebab, guru tidak hanya bertanggung jawab dalam hal akademik, tetapi juga mengawasi kondisi anak yang menjadi muridnya.
Bahkan, guru bisa disebut sebagai orangtua kedua bagi siswa. Oleh karena itu, Iriyanto mengingatkan, perlu profesionalitas para guru dalam memahami karakter anak dan menjadi orang terpercaya bagi mereka untuk bercerita dan terbuka.
”Saya kurang setuju guru hanya bisa mengajar, masuk ke dalam kelas, lalu menyuruh anak-anak membuka buku. Para guru harus mampu mengamati kondisi anak, apakah ada perubahan dan sebagainya. Jika semua mengamati dan memperhatikan anak, potensi perundungan bisa ditekan dan anak menjadi aman,” ungkapnya.