Perundungan kini tak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga terjadi di dunia maya. Untuk mencegah perundungan siber ini, orangtua perlu melindungi dan mendampingi anak agar menggunakan gawai dengan bijak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Dunia gawai tak bisa lepas dari kehidupan anak-anak. Meskipun gawai memiliki sisi positif untuk belajar hingga hiburan, kewaspadaan dalam menggunakan gawai atau internet pada anak-anak perlu dicermati. Berbagai ancaman mengincar anak di dunia maya, mulai dari perundungan (cyberbullying), kekerasan dan eksploitasi seksual, hingga penipuan.
Salah satu yang marak terjadi di dunia maya kini adalah perundungan siber. Perundungan itu berupa tindakan menyakiti, mengintimidasi, menyebar kebohongan, ataupun menghina seseorang melalui internet, jejaring sosial, telepon seluler, atau teknologi digital lainnya.
Pendiri Sejiwa, Diena Haryana, yang aktif mengampanyekan masalah kekerasan pada anak, salah satunya perundungan siber, Senin (20/12/2021), mengutip data Unicef tahun 2020, menyampaikan bahwa satu dari tiga anak di 30 negara jadi korban perundungan di dunia maya. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018 sebanyak 49 persen anak di Indonesia menjadi korban perundungan siber. Sebanyak 31,6 persen korban memilih diam.
Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, dalam acara
Webinar EU Social DigiThon 2021 beberapa waktu lalu, mengutip survei ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) 2021 pada 1.203 responden anak saat pandemi.
Hasilnya, 287 responden mengalami pengalaman buruk saat berinternet, 112 orang mendapat pesan tidak senonoh, dan 66 menerima gambar atau video yang membuat tidak nyaman. Selain itu, 27 responden menerima gambar atau video pornografi, 24 orang diajak melakukan livestreaming untuk bicara hal tak senonoh , 23 responden mengaku hal-hal buruk mereka diunggah tanpa izin, serta 16 responden mendapat tautan konten pornografi.
”Penting bagi orangtua dan guru untuk memahami cyberbullying sehingga dapat membantu anak-anak mencegah dan mengatasinya. Anak bisa menjaga jejak digitalnya,” kata Diena.
Tindakan yang masuk perundungan siber, antara lain, meliputi menyebarkan kebohongan, mengunggah foto yang mempermalukan, dan menyampaikan kebohongan tentang korban. Bentuk perundungan lain berupa mengatasnamakan seseorang (memakai akun palsu) dan mengirim pesan jahat pada korban hingga menghina dan mengucilkan.
Bunuh diri
Dampak perundungan di dunia maya pada korban beragam. Perundungan itu dapat menyebabkan korban tertekan, depresi, malu, ataupun kehilangan motivasi, minat belajar, dan rasa percaya diri. Korban juga merasa tak berdaya, mengalami gangguan makan, menutup diri, menyakiti diri, bahkan hingga bunuh diri.
Penting bagi orangtua dan guru untuk memahami cyberbullying sehingga dapat membantu anak-anak mencegah dan mengatasinya. Anak bisa menjaga jejak digitalnya.
Anak mudah jadi korban perundungan siber karena ia dianggap pesaing dan mengancam eksistensi perundung karena kelebihannya. Ia dianggap tidak mampu bergaul, canggung, penakut atau tidak percaya diri, mudah tersinggung, pemalu, serta memiliki kekurangan fisik yang dijadikan bahan olok-olokan.
Sementara pelaku melakukan perundungan siber karena ingin mempermalukan korban, ingin populer di media sosial, dan balas dendam. Pelaku juga ingin menarik perhatian hingga ingin dianggap jagoan atau iri hati.
Menurut Anna, orangtua perlu memahami anak sebagai korban atau pelaku dengan memperhatikan sejumlah hal. Tanda-tandanya bisa dilihat dari anak terus menggunakan gawai serta menyembunyikan dengan tidak mau membahas perilaku dengan gawainya. Beberapa tanda lain meliputi membuat akun baru dan menghapus akun lama, reaksi emosi yang marah atau takut atau sedih saat melihat gawai, menarik diri, ataupun hilang minat.
Orangtua yang menemukan anaknya jadi korban perundungan siber perlu mencermati perubahan perilaku anak. ”Ajak bicara, tanya apa yang terjadi, siapa yang terlibat, sejak kapan terjadi. Catat dan simpan tangkapan layar semua peristiwa. Lapor ke platform media sosial, sekolah, dan penegak hukum. Lindungi korban dan tawarkan penanganan profesional,” tutur Anna.
Untuk mencegah perundungan siber, perlu ada batasan jelas penggunaan gawai. Batasi aplikasi yang boleh atau tidak boleh digunakan anak. Lakukan edukasi efek tentang perundungan siber, batasi durasi menggunakan gawai, serta batasi konten yang boleh dilihat dan diskusikan. Orangtua juga perlu menjadi contoh berperilaku digital yang baik.
Selain itu, Diena mengajak orangtua untuk mendengarkan apabila anak siap berbagi apa yang dialaminya. ”Berikan dukungan bahwa ia tidak layak menerima perlakuan tersebut dan ajak anak untuk menutup akses pelaku dan melaporkannya dari media sosialnya. Bantu anak untuk bangkit: fokuskan pada minat dan hobinya,” ungkapnya.
Jagat dunia maya
Karena dunia maya sudah jadi bagian hidup anak, penting mengajarkan kepada mereka untuk memahami dunia maya. Ajak anak untuk menjadi warganet yang baik sehingga bijak dalam menggunakan internet, terutama media sosial.
Ajarkan kepada anak-anak untuk langsung memblokir atau menutup akun pelaku dan mengeluarkan pelaku dari media sosial. ”Laporkan pelaku pada administrator platform. Menyampaikan apa yang dialami pada orangtua atau guru agar terbantu dan mencari teman untuk curahan hati,” ujarnya.
Ajak anak untuk menjadi warganet unggul dengan berempati, percaya diri, kreatif, inovatif, dekat dengan keluarga, mampu bergaul dengan baik, cerdas, berkarakter, dan mandiri. Selain itu, jejak digital mesti dijaga agar selalu positif. Anak juga perlu diajak untuk memilih yang bermanfaat di internet serta mampu melindungi dirinya di luar jaringan (luring) ataupun dalam jaringan (daring).
Anak-anak juga perlu terus diajarkan untuk bijak di dunia maya dengan menerapkan sikap berinternet yang baik dan sehat. Salah satunya, berempati terhadap siapa pun di internet dengan mengunggah hal yang positif. ”Hati-hati setiap kali terhubung di internet dengan orang lain. Berpikir terlebih dahulu sebelum memublikasikan ide, foto, atau video,” ujarnya.
Pasang profil diri secukupnya, tidak perlu data diri lengkap. Hindari pasang foto kurang pantas. Waspada ketika bertemu luring dengan orang yang baru dikenal di internet. ”Sebaiknya selektif menerima atau menambah teman, khususnya yang belum dikenal,” katanya.
Selain itu, pengaturan privasi pada akun sosial media perlu digunakan. Anak juga disarankan membuat kata kunci atau password yang sulit diketahui atau dipecahkan. Korban juga dianjurkan berhenti berkomunikasi dengan orang yang membuat kita tidak nyaman serta mencari pertolongan dari orangtua dan guru jika dibutuhkan.
Tak kalah penting adalah mengingatkan akan adanya dampak jejak digital sehingga anak-anak bijak menggunakan internet. Konten yang sudah
diunggah tetap akan ada di mahadata atau big data. Jejak digital negatif bisa merusak reputasi dan masa depan.
Karena itu, terus ingatkan anak-anak untuk mengunggah konten-konten positif di media sosial. Selain itu, berpikir sebelum mengunggah, tidak mengumbar kegalauan di
internet, dan tidak melakukan perundungan siber kepada siapa pun. ”Sadar akan citra diri yang kita bangun di media sosial serta berpenampilan dan berbahasa santun di media sosial,” ujarnya.