Peternak Babi Curiga ASF Sudah Ada di Sulut, Pemerintah Bilang Masih Nihil
Isu merebaknya ASF kembali santer di Sulawesi Utara menyusul kabar kematian babi dalam jumlah besar serta penjualan daging babi yang terlampau murah. Asosiasi peternak curiga virus tersebut sudah masuk ke Sulut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Isu merebaknya penyakit demam babi Afrika atau African swine fever kembali santer di Sulawesi Utara menyusul kabar kematian babi dalam jumlah besar serta penjualan daging babi yang terlampau murah. Asosiasi peternak babi curiga virus tersebut sudah masuk ke Sulut, tetapi pemerintah menyatakan sebaliknya.
Dihubungi pada Minggu (23/7/2023), Ketua Asosiasi Peternak Babi Sulut Gilbert Wantalangi mengatakan, pihaknya telah menerima informasi dari rekan-rekan peternak mengenai kematian babi di beberapa kandang. Namun, asosiasi belum merekapitulasi jumlah keseluruhannya.
”Kami memang cuma dapat kabar terakhir dari berita di media sosial. Saya tidak langsung mengecek di lapangan karena, sebagai sesama peternak, kami menghindari kontaminasi dan penyakit,” kata Gilbert melalui telepon.
Pada Rabu (19/7/2023), Kepolisian Sektor Dimembe, Kabupaten Minahasa Utara, melaporkan penemuan 24 bangkai babi yang dibuang ke sebuah empang di Desa Matungkas. Menurut hasil pemeriksaan, bangkai-bangkai babi yang berasal dari kandang peternak bernama Dintje Pondaag itu telah mati sejak sepekan sebelumnya.
Di samping itu, beredar pula kabar tentang adanya daging babi yang dijual Rp 100.000 per 6 kilogram di Sonder, Kabupaten Minahasa. Padahal, di pasar tradisional ataupun pusat ritel modern di Manado, harga daging babi masih berkisar Rp 55.000-Rp 65.000 per kilogram.
Gilbert mengatakan, kabar tersebut masih simpang siur dan belum dapat dikonfirmasi. Di kalangan peternak, pekan lalu harga babi hidup masih di kisaran Rp 29.000-Rp 30.000 per kg. Namun, ia mengatakan, mulai ada peternak yang menjual babi hidup dengan harga sangat rendah akibat sakit.
”Di kandang yang sudah terkontaminasi, babi hidup tidak dijual dengan harga normal lagi. Sudah tidak ditimbang, tetapi berdasarkan taksiran saja. Mungkin karena peternaknya panik, tidak tahu mau jual bagaimana, orang menawar Rp 1 juta per ekor pun dia terima saja. Bahkan, ada yang Rp 500.000 per ekor,” ujarnya.
Berdasarkan kabar-kabar tersebut, kata Gilbert, para peternak anggota asosiasi yakin ASF sudah ada di Sulut. Ia pun menyebut penjagaan di perbatasan jalur darat dengan Gorontalo ataupun di pintu-pintu pemasukan lain, seperti pelabuhan dan bandara, sudah tidak relevan.
Namun, ia menilai dinas yang mengurus peternakan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sudah sangat responsif. Selalu ada petugas yang dikirim ke lapangan setiap kali ada laporan masuk tentang ternak yang sakit atau mati. Pemerintah juga memberikan disinfektan secara gratis kepada para peternak.
”Tapi, untuk mendeteksi penyakit atau penyebab kematian itu agak sulit karena saat petugas sampai, babi sudah jadi bangkai. Kami dari peternak tidak punya kapasitas untuk memeriksa. Lagi pula, untuk pemeriksaan, butuh tes yang cukup panjang sampai harus dikirim ke Balai Besar Veteriner Maros (Sulawesi Selatan). Jadi, kami hanya menunggu dari pemerintah,” kata Gilbert.
ASF bukanlah penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia.
Di pihak lain, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut Nova Wilhelmina Pangemanan mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir hingga berhenti mengonsumsi daging babi. Sebab, ASF bukanlah penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia.
”Masyarakat tidak perlu takut untuk mengonsumsi daging babi karena virus ASF yang lagi heboh di masyarakat ini tidak menular, tidak akan menjangkiti manusia. Jadi masih dalam kategori aman untuk dikonsumsi,” katanya.
Wilhelmina menambahkan, saat ini pun Sulut masih terus memenuhi permintaan anakan babi di sejumlah daerah di Papua, Kalimantan, dan Jawa. Untuk itu, pihaknya terus meningkatkan kesehatan kandang (biosecurity) agar babi yang masih hidup terhindar dari virus ASF yang dipastikan akan mematikan seluruh populasi kandang.
Sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Iis Kristian mengatakan, pihaknya siap mendukung upaya pemerintah dalam mencegah ASF. ”Kapolda sudah memerintahkan seluruh jajaran polres untuk berkoordinasi dengan dinas terkait demi mencegah penjangkitan ASF pada babi di wilayah masing-masing,” ujarnya.
Di samping itu, Polda Sulut akan meningkatkan kegiatan pengamanan di perbatasan, terutama dengan Gorontalo. Pos pemeriksaan hewan akan diaktifkan lagi dengan melibatkan gugus tugas penanganan ASF di kabupaten/kota. Dengan begitu, semua ternak yang masuk ke Sulut dipastikan memiliki dokumen lengkap, termasuk surat rekomendasi pengeluaran dari daerah asal dan rekomendasi pemasukan dari daerah tujuan.
Terkait hal itu, Gilbert Wantalangi berharap hasil kerja pemerintah bisa efektif. Ini sangat penting, mengingat Sulut adalah daerah penghasil daging babi kedua terbesar di Indonesia setelah Bali. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi daging babi Sulut pada 2022 mencapai 27.197,17 ton, terpaut cukup jauh dari 160.665,61 ton di Bali.