Utang Diduga Picu Mujiati Akhiri Hidup Bersama Sang Anak di Malang
Seorang ibu dan anaknya yang masih balita ditemukan tewas di rumah kontrakan mereka di Kabupaten Malang. Polisi masih menyelidiki kasus ini.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Tak seperti biasanya, rumah kontrakan Mujiati (33) di Dusun Karangan, Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (21/7/2023) pagi, terlihat sunyi. Celoteh A (3), putri semata wayang Mujiati, juga tak terdengar. Etalasi kecil jajanan anak di samping rumah pun tertutup rapat.
Warga beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang curiga. Sampai, salah satu warga penasaran kenapa rumah Mujiati selalu terkunci.
Warga menghubungi Ketua Rukun Tetangga (RT) 001 Rukun Warga (RW) 001 Ahmad Toyib Fadilah. Bersama warga, Jumat pukul 07.15, Toyib mengintip melalui jendela. ”Kondisi di dalam rumah benar-benar sepi,” ujarnya.
Mereka berupaya mencongkel salah satu daun jendela. Toyib kemudian meminta bantuan warga untuk masuk ke rumah. Alangkah terkejutnya mereka. Warga mendapati A telentang tak bernyawa bersimbah darah di dalam kamar.
Ternyata tak hanya A yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Warga, perangkat desa, dan pihak berwajib juga mendapati tubuh Mujiati tergantung tak bernyawa di dapur. Pada pergelangan tangan A dan Mujiati terdapat sayatan benda tajam. Diduga, sang ibu memilih mengakhiri hidup setelah lebih dulu memperdaya anaknya.
Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Karangploso Ajun Inspektur Dua Eko Nugroho mengungkapkan, dari hasil identifikasi, tubuh Mujiati tergantung dengan luka sayat di pergelangan tangan kiri. Adapun A menderita luka sayat di pergelangan tangan kanan. Polisi menemukan barang bukti pisau dapur dan dokumen pinjaman koperasi.
Polisi masih menyelidiki lebih lanjut apakah korban murni bunuh diri atau ada hal lain. Jumat siang, jenazah keduanya dibawa ke Rumah Sakit Syaiful Anwar untuk diotopsi.
Menurut warga, saat peristiwa terjadi, suami korban, Anton, tidak berada di tempat. Selama ini, sepengetahuan mereka, suami korban bekerja di salah satu bengkel sepeda motor di kawasan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Warga mengatakan, tiga pekan terakhir kerap ada orang datang ke rumah korban. Mereka datang menagih utang. Hal ini dibenarkan Toyib. Bahkan, sebelum korban meninggal, Toyib sempat bertemu seseorang yang mengaku dari salah satu koperasi di Kota Batu.
Namun, ketika disusul ke tempat kerja, suami korban sudah tidak bekerja sepekan terakhir. Dia diperkirakan berada di Probolinggo. Mujianti diketahui berasal dari Ngantang, Kabupaten Malang. Adapun suaminya dari Probolinggo. Mereka mengontrak rumah itu sejak tiga tahun lalu.
”Meski begitu, mereka baik, supel, mudah bersosialisasi. Setiap ada kegiatan warga, mereka ikut. Makanan kecil yang mereka jual juga banyak dibeli anak-anak sini,” tutur salah satu tetangga korban yang enggan disebut namanya.
Warga mengatakan, tiga pekan terakhir kerap ada orang datang ke rumah korban. Mereka datang menagih utang. Hal ini dibenarkan Toyib. Bahkan, sebelum korban meninggal, Toyib sempat bertemu dengan seseorang yang mengaku dari salah satu koperasi di Kota Batu.
”Sebelum peristiwa ini, pukul 06.30 ada pihak dari koperasi di Batu. Saya tanya, ’Ibu dari mana?’ Dia bilang, ’Dari koperasi di Batu’. Dia datang untuk menagih, kemarin belum dibayar. Saya tanya, nominalnya berapa. ’Rp 1,5 juta. Kemudian angsurannya 10 kali masing-masing Rp 180.000. Ibunya (korban) hanya terima bersih Rp 1,1 juta’,” tuturnya.
Meski belum diketahui motif kasus ini, sosiolog Universitas Brawijaya, Malang, Dhanny S Sutopo, menilai, kasus ini bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama adalah ekonomi. ”Rasionalitas ekonomi paling dominan dalam kondisi saat ini. Apalagi, saat ini kondisi kehidupan tidak semakin guyub, tetapi makin indivual akibat perkembangan teknologi komunikasi yang masif. Jika dulu masalah ekonomi masih bisa diselesaikan dengan guyub antarsaudara atau tetangga, saat ini hal itu tidak terjadi,” paparnya.
Fenomena
Dampaknya, beban yang harus diselesaikan oleh seseorang harus ditanggung sendiri. Ketika dalam tingkat tertentu yang bersangkutan sudah tidak sanggup, jalan pintas yang dipilih. Potensi bunuh diri menjadi semakin tinggi.
Perspektif kedua, lanjut Dhanny, fenomena bunuh diri tampaknya muncul lantaran berita semacam ini semakin mudah beredar melalui kanal media sosial. Kondisi ini kemudian menjadi semacam ”referensi” bagi kalangan yang tertekan, menginspirasi mereka melakukan hal serupa.
Untuk mengantisipasi agar tindakan serupa tidak terjadi, menurut Dhanny, harus kembali dibangun suasana guyub di lingkungan terdekat meski secara sistem agak susah diwujudkan. ”Pertalian sosial perlu diperkuat kembali, yang lebih humanis dan tidak individualis, sehingga orang yang tertekan tidak terabaikan. Itu pendekatan sosial,” katanya.
Adapun dari sisi pendekatan sistem, pemerintah perlu lebih tanggap terhadap problem sosial masyarakat. Menurut Dhanny, pemerintah, khususnya dinas sosial, hendaknya dapat memastikan masyarakat tidak dalam posisi sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial dan kemiskinan ekstrem, melalui kebijakan-kebijakan yang implementatif.
”Bukan menanganinya dengan bantuan-bantuan, kemudian dianggap selesai. Selain memastikan kondisi ekonomi warga baik, pemerintah juga harus memberikan kontrol terhadap rentenir yang marak, bank titil (tukang kredit keliling), dan pinjaman daring. Ada tidak hukuman terhadap mereka,” tuturnya.