Ratusan Pekerja Migran Asal NTT Meninggal di Luar Negeri, Mayoritas Berstatus Ilegal
Selama tahun 2018-2022, sedikitnya 516 pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri. Dari jumlah itu, 499 orang di antaranya pekerja migran ilegal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Selama tahun 2018-2022, sedikitnya 516 pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri. Dari jumlah itu, 499 orang di antaranya pekerja migran ilegal karena mereka berangkat ke negara lain tanpa dokumen resmi.
Koordinator Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia, Gabriel Goa, mengatakan, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang meninggal di luar negeri itu dihitung berdasarkan jumlah peti jenazah yang tiba melaui Bandara El Tari, Kupang.
Selain melalui Bandara El Tari, sebenarnya masih ada peti jenazah PMI asal NTT yang tiba dengan kapal laut karena keluarga mengalami kesulitan biaya untuk memulangkan jenazah dengan pesawat terbang. Namun, jumlah peti jenazah yang dipulangkan dengan kapal laut itu tidak terdata.
”Dari 516 orang yang meninggal itu, hanya 17 orang yang berstatus pekerja migran prosedural. Pekerja resmi ini mendapatkan santunan yang diterima ahli waris. Sementara pekerja nonprosedural tidak mendapat santunan, bahkan memulangkan peti jenazah ke NTT pun susah payah karena menyangkut biaya,” kata Gabriel, Kamis (20/7/2023).
Gabriel memaparkan, PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri terdiri dari 363 pria dan 153 perempuan. Sebagian besar dari mereka meninggal dunia karena sakit. Dilihat dari asal wilayah, korban terbanyak dari Kabupaten Ende, yakni 122 orang, disusul Kabupaten Timor Tengah Selatan 101 orang, serta Kabupaten Malaka 98 orang.
Sementara itu, kematian terbanyak terjadi pada tahun 2020, yakni 125 orang. Pada awal 2020, Pemerintah Provinsi NTT membentuk Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Orang. Setelah itu, satgas serupa juga dibentuk di semua kabupaten/kota di NTT.
Meski begitu, pemberangkatan PMI secara ilegal terus terjadi di NTT. Kasus meninggalnya PMI asal NTT juga terus terjadi. Pada periode Januari hingga 18 Juli 2023, tercatat 82 PMI illegal asal NTT meninggal di luar negeri.
Salah seorang PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri adalah Benediktus Kedeka Kaha (51), warga Kelurahan Ritaebang, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur. Korban meninggal di Johor Bahru, Malaysia, Rabu (12/7/2023), karena komplikasi beberapa penyakit.
Jenazah Benediktus masih tertahan di salah satu rumah sakit di Malaysia karena keluarga mengalami kesulitan untuk membayar biaya pemulangan jenazah.
Terkait kondisi itu, Lurah Ritaebang Hironimus Beda Niron telah mengirim surat ke Kementerian Luar Negeri, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Kedutaan Besar RI di Malaysia. Surat itu berisi permohonan bantuan kepada pemerintah untuk memulangkan jenazah Benediktus ke kampung asal.
Gabriel menambahkan, pada Minggu (16/7/2023), PMI asal NTT bernama Jenny Rosari juga meninggal di Gabon, sebuah negara di Afrika. Jenny merupakan warga Desa Tou Timur, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende.
”Korban sebenarnya karyawan di salah satu perusahaan sawit di Malaysia. Setelah lima tahun di Malaysia, korban dikirim oleh perusahaan bersangkutan ke Gabon. Pengiriman ini tanpa pengetahuan keluarga korban di Ende,” kata Gabriel.
Menurut Gabriel, Jenny, yang merupakan PMI ilegal, meninggal karena sakit malaria. Jenazah korban masih berada di Gabon karena proses pemulangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kepala Desa Tou Timur pun telah menulis surat ke pemerintah untuk memohon bantuan pemulangan jenazah Jenny ke Ende.
Gabriel menilai, kematian PMI ilegal sangat ironis. Mereka berangkat dari NTT dengan tujuan meningkatkan taraf hidup. Namun, para pekerja itu ternyata pulang dalam kondisi tak bernyawa.
Ketua Masyarakat Antikorupsi NTT Theo Dethan mengatakan, meski peti jenazah PMI asal NTT terus berdatangan dari luar negeri, praktik korupsi di provinsi itu masih terus terjadi. Oleh karena itu, dia pun mengajak masyarakat NTT untuk memilih pemimpin yang tidak korupsi dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.
”NTT butuh pemimpin yang memiliki empati terhadap penderitaan masyarakat, terutama kematian ratusan PMI ilegal di tanah perantauan, hanya karena ingin mencari mengubah nasib,” katanya.
Theo menuturkan, kebanyakan PMI ilegal itu nekat berangkat ke luar negeri karena ingin membangun rumah yang layak huni, memiliki televisi di rumah, dan menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Jika ada kelebihan rezeki, mereka juga bisa membeli sepeda motor bekas dan membuka kios sembako di samping rumah.
”Ini yang kita amati selama ini, tetapi banyak juga yang gagal secara ekonomi. Bahkan sampai kehilangan nyawa di tanah perantauan,” ungkapnya.
NTT butuh pemimpin yang memiliki empati terhadap penderitaan masyarakat, terutama kematian ratusan PMI ilegal di tanah perantauan.