Geliat ”Santripreneur” di Seberang Kota Jambi
Pesantren dituntut kreatif demi mencukupi berbagai kebutuhan ribuan santrinya. Salah satunya jalan dengan mencetak para ”santripreneur”.
Jarum, benang, dan gunting kini mengakrabi Urisman (29), santri di Pondok Pesantren As’ad, Olak Kemang, Pelayangan, Kota Jambi. Lewat usaha menjahit, ia layani pesanan jas dan seragam dari kampus ke kampus. Ia pun mandiri, tak lagi bergantung pada kiriman uang orangtuanya di Riau.
Tak terpikirkan sebelumnya Urisman bakal menjadi penjahit pakaian. ”Jangankan menjahit, lihat mesin jahit saja sebelumnya tidak pernah,” katanya sembari tertawa, Kamis (20/7/2023).
Urisman menimba ilmu sebagai mahasantri di Ma’had Aly Syekh Ibrahim Al-Jambi, dalam naungan Pesantren As’ad di Olak Kemang dalam kawasan Seberang Kota Jambi.
Ia beruntung pada semester VI, sang guru menawarinya bergabung di balai latihan kerja yang berdiri dalam lingkup pesantren. Ia pun langsung menyambutnya.
Setelah mahir menjahit, Urisman direkrut untuk berkarya dalam usaha pakaian gamis yang dibentuk pengelola pesantren. Kala itu, pesantren tengah merancang terbentuknya bisnis-bisnis usaha. Salah satunya bernama Malabisi Indonesia, yang berfokus pada usaha pakaian gamis.
Dalam sepekan, para santri dapat membuat 15 potong pakaian. Urisman dan sesama santri saling berbagi tugas. ”Ada yang khusus membuat kerah, tangan, dan bagian badan supaya efektif,” ujar Wulandari, instruktur jahit yang juga Tenaga Pendidikan Dasar Kementerian Tenaga Kerja Kota Jambi.
Mei lalu, Urisman akhirnya lulus meraih gelar sarjana agama. Meski telah lulus, ia tetap tinggal di pesantren. Sehari-hari ia mengabdi pada unit usaha menjahit di bawah As’ad Production (AP) yang menaungi Malabisi.
Selepas jam produksi, malamnya ia akan mengajari para santri mengaji. Dengan keseharian itulah, ia berhasil mencukupi segala kebutuhan. Makan dan minum terjamin.
Baca juga: Geliat Batik di Seberang Kota Jambi
Kebutuhan lainnya dicukupkan dari hasil insentif usaha jahit. ”Orangtua tidak pernah lagi mengirimi saya uang bulanan. Semua kebutuhan sudah cukup dari hasil menjahit,” katanya.
Geliat wirausaha
Kewirausahaan tumbuh dan menggeliat dari pesantren itu tiga tahun terakhir. Berawal dari dibentuknya As’ad Production, unit-unit usaha pun dibentuk. As’ad Production dikomandoi Najla (32), generasi keempat pendiri ponpes itu.
Di tangannya, pesantren yang hampir 70 tahun hidup dalam tradisi lama perlahan berbenah. Wirausaha memberi sumbangan besar bagi kemandirian pesantren.
Pembenahan dilakukan mulai dari alur usaha, menajemen pengelolaan, pencatatan, hingga laporan finansial. Tidak hanya menghidupi para santri, usaha-usaha tersebut turut memberi berkah bagi warga sekitar.
Baca juga: Merawat Batik Tradisi Seberang Kota Jambi
Pengelolaan bisnis itu melibatkan 50-an santri dan alumni serta lebih dari 100 warga lokal yang tinggal di sekitar pesantren. Badriyah (21), warga Seberang, mulai bergabung dengan usaha jahit dua tahun terakhir. Adapun Feliska (15) dan teman-temannya bergelut dengan usaha anyaman untuk dibuat menjadi tas.
Keterampilan yang dirintis para santri remaja itu bermula dengan hanya belajar lewat tutorial menganyam di Youtube. Hasilnya, sudah lebih dari 50 tas dibuat. ”Yang beli kebanyakan keluarga santri yang sedang datang jenguk, atau kadang-kadang diikutkan pameran,” katanya.
Dalam Pameran Semarak Ekonomi Syariah 2023 yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jambi, 16-19 Juli lalu, tujuh tas buatan santri terjual. ”Kami bebaskan para santri membangun ide usahanya. Hasil produknya akan kami bantu pasarkan,” ujar Najla.
Baca juga: Ekonomi Syariah Tumbuh Melesat di Jambi
Selain jahit dan anyaman, ada pula tujuh bisnis lainnya, yakni katering, laundri, jasa potong rambut, produksi air galon, produksi air minum kemasan, minimarket, dan kedai makan.
Meski cukup banyak pesantren, pengembangan kewirausahaan masih menjadi tantangan. Masih perlu terus ditingkatkan demi mencetak lebih banyak ’santripreneur’.
Gema kewirausahaan tumbuh dari satu kesadaran. M Jibril, pengelola Malabisi, menceritakan, kala itu jumlah santri sekitar 1.800 orang dalam rentang usia 6 hingga 27 tahun. Pada tingkat pendidikan dasar dan tinggi, pesantren menggratiskan pendidikan. Untuk mencukupi kebutuhan pendidikan itu, pesantren dituntut kreatif. Jika tidak, pesantren bisa kolaps. Salah satunya jalan yang dibangun adalah lewat wirausaha.
Bisnis katering, misalnya, yang semula tak terkelola akhirnya mulai dikelola oleh para santri. Begitu pula untuk urusan bersih-bersih pakaian kotor santri kini dikelola dalam unit usaha laundri. Termasuk pula air minum, potong rambut, dan pakaian. ”Kalau mau potong rambut, tinggal mampir ke barbershop di sana. Semua layanan dari santri yang hasilnya juga untuk santri,” ujarnya.
Lewat bisnis-bisnis itulah, omzet melesat. Jika ditotal, laba bersihnya mencapai lebih dari Rp 130 juta per bulan. ”Jumlah ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan para santri, bahkan sisanya bisa ditabung untuk keperluan sewaktu-waktu,” kata Najla.
Kawasan Seberang Kota Jambi identik dengan nama kampung atau kota santri. Sering disingkat dengan sebutan ”Sekoja” atau ”Seberang” karena lokasinya yang berada di tepi Sungai Batanghari. Kawasan itu diyakini sebagai komunitas awal tumbuhnya ajaran Islam di Jambi sejak abad XIII. Uniknya, kawasan yang dihuni para pemilik tanah etnis Melayu itu juga merupakan persinggahan awal petani pendatang ataupun saudagar-saudagar asal China.
Seorang pedagang asal China bernama Shin pertama kali singgah di sana. Selain berdagang lada, ia juga dikenal sebagai pendakwah dermawan sehingga dianugerahi gelar datuk dan menikah dengan putri keluarga sultan. Ia kemudian membangun perkampungan yang kemudian disebut sebagai Kampung Pacinan (pa-cina-an), kini akrab disebut ”Seberang”.
Secara administratif, kawasan itu meliputi lima kampung, yakni Olak Kemang, Ulu Gedong, Tengah, Jelmu, dan Arab Melayu.
Baca juga: Jejak Pecinan di Kota Santri
Label kampung santri ditandai dengan banyaknya pusat pendidikan islami di sana. Setidaknya ada lima pesantren yang dihuni 5.000-an santri yang datang dari seumlah daerah.
Najla yang juga Ketua Himpunan Ekonomi Bsnis Pesantren (Hebitren) Jambi menyebut, meski cukup banyak pesantren, pengembangan kewirausahaan masih menjadi tantangan. Masih perlu terus ditingkatkan demi mencetak lebih banyak santripreneur.
Tak sedikit peluang yang bisa diambil, seperti usaha batik sebagai suvenir, pemanfaatan sampah organik untuk produksi pupuk, atau budidaya ternak untuk mencukupkan kebutuhan pangan pesantren. Namun, bagaimanapun, untuk mewujudkannya dibutuhkan transformasi pesantren.
Geliat santripreneur di Sekoja saat ini dapat menjadi awal yang baik dari transformasi tersebut. Yang penting mau mencoba, berinovasi, dan mengembangkannya.