”Tapa bisu” dalam peringatan pergantian tahun baru Jawa atau Malam Satu Sura menjadi momen refleksi sebagian kalangan orang. Tradisi itu dipertahankan Pura Mangkunegaran sebagai salah satu pusat budaya Jawa.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Ketika segalanya berjalan semakin cepat, sebagian orang memilih melambatkan lajunya sembari berefleksi. Cela selama ini ditengok lagi dan coba ditanggalkan agar menjadi diri yang lebih baik di waktu-waktu setelahnya. Itulah yang termuat dalam ritual ”tapa bisu” untuk memperingati pergantian tahun baru Jawa atau Malam Satu Sura.
Sekitar 1.000 orang ramai-ramai berjalan dalam satu barisan dari kompleks Pendapa Ageng di Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/7/2023) malam. Seluruhnya mengenakan pakaian Jawa lengkap berwarna hitam. Laki-laki mengenakan beskap, jarik, keris, dan belangkon, sedangkan perempuan berkebaya, jarik, serta rambut tersanggul.
Mereka akan melaksanakan ritual ”tapa bisu” yang digelar setiap tahun dalam peringatan pergantian tahun baru jawa, atau “Malam Satu Sura”. Tampak sejumlah tokoh turut hadir dan berada dalam barisan, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, dan Panglima TNI periode 2015–2017 Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo.
Pemimpin rombongan, atau cucuking lampah, dalam ritual itu ialah putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IX, yakni Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwo Suryonegoro. Ia didampingi sepupunya, yakni Kanjeng Raden Mas Haryo Roy Rahajasa Yamin, memandu jalannya rombongan yang akan mengitari tembok keraton tersebut. Ada empat pusaka kerajaan yang turut digotong sejumlah abdi dalem, yakni tiga tombak dan tandu.
Dalam laku tersebut, mereka berjalan tanpa alas kaki. Satu sama lain juga tak diperbolehkan berbicara sebelum menyelesaikan ritual tersebut. Oleh karena itu, suasana terasa benar-benar senyap meski banyak orang turut serta. Kurang dari satu jam mereka merampungkan ritual tapa bisu dan kembali memasuki area dalam keraton.
”Orang kalau sedang lelaku itu, kan, merenung diri. Jadi, dia tidak boleh bicara. Ini jadi momen mengevaluasi diri. Setahun ini sudah berbuat apa dan bagaimana setelahnya nanti menghadapi tahun depan,” kata Pengageng Wedana Satriya Pura Mangkunegaran, Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Liliek Priarso, mengenai esensi ritual tersebut.
Tahun ini, ungkap Liliek, ada sejumlah petugas tambahan untuk mengawal jalannya rombongan. Mereka bertugas mengeluarkan pihak-pihak yang tidak khusyuk menjalankan ritual dari rombongan. Apalagi jika malah ada yang berswafoto sehingga mengacaukan momen reflektif tersebut. Untuk menjamin ”kesenyapan”, contoh dia, pengawal kirab dibekali handy talkie lengkap dengan earphone agar koordinasi yang mereka lakukan tidak berisik.
Liliek mengatakan, peningkatan penjagaan dilakukan demi menjamin kekhidmatan ritual. Pihaknya tidak mau kirab itu dipahami secara keliru oleh masyarakat. Pasalnya, gelaran itu bukan tontonan atau pertunjukan, melainkan ritus tahunan yang memuat nilai luhur nan sakral. Lebih-lebih ada unsur kontemplatif dalam setiap langkah para peserta kirab.
”Pesan dari Mangkunegara X, acara ini bukan pesta. Kita sedang ritual. Peraturan yang ada di sini harus kita jaga. Kita harus berani. Memang, kalau dulu-dulu, semakin banyak peserta, semakin sulit diatur. Ini (kesakralannya) harus kita bangkitkan,” kata Liliek.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengapresiasi Pura Mangkunegaran yang masih mempertahankan tradisinya di tengah segala perubahan zaman. Terlebih lagi, tradisi itu sekaligus menunjukkan pembauran antara budaya dan keagamaan mengingat tujuan utama gelaran ialah melayangkan syukur kepada Tuhan. Aspek refleksi yang juga tertuang dalam ajang tersebut disorotinya.
”Mudah-mudahan kita memasuki 1 Muharram bisa membikin kita semakin semangat. Bisa refleksikan diri dari tahun-tahun sebelumnya. Yang kurang kita perbaiki, yang sudah bagus kita genjot,” ucap Ganjar, yang undur diri di tengah-tengah perjalanan.
Hal serupa disampaikan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang mengikuti laku tapa bisu sampai selesai. Itu menjadi kali keduanya mengikuti upacara tersebut. Meski harus berjalan panjang, ia merasa tak kelelahan. Diharapkannya, pergantian tahun Jawa ini bisa membuat Pura Mangkunegaran semakin bersinar di masa mendatang.
”Semoga semuanya lancar. Mangkunegaran semakin bersinar. Antusiasme warga juga sangat bagus. Ramai orang, tetapi masih sangat khidmat. Jadi luar biasa,” kata Gibran.
Rampungnya ritual tapa bisu ditandai penyerahan kembali pusaka dari GPH Paundrakarna kepada Mangkunegara X. Peserta kirab dipersilakan duduk di kursi yang disediakan untuk selanjutnya saling beramah-tamah.
Sebagai bentuk syukur, Mangkunegara X berbagi udik-udik bagi masyarakat yang hadir. Udik-udik merupakan uang logam yang diberikan oleh raja kepada rakyatnya. Nilainya memang tak seberapa. Namun, sejumlah kalangan menganggap koin itu layaknya berkah. Pemberianberkah raja itulah yang juga dinantikan oleh para warga.
Ketika pembawa acara mengumumkan rencana pembagian udik-udik, para warga langsung menyerbu area depan pendapa. Dari area tangga, Mangkunegara X melemparkan koin yang dibungkus plastik transparan. Berada di sisi Mangkunegara X, Gibran juga ikut membagikan beberapa udik-udik tersebut.
Selain koin, isi plastik itu juga berupa uang kertas dengan pecahan antara Rp 5.000 dan Rp 10.000 serta sejumlah kembang. Antusiasme warga terlihat dari cara mereka berebut ”berkah raja” tersebut.
Tak hanya melemparkan, Mangkunegara X juga mendatangi sejumlah warga lain yang duduk lesehan di area pendapa. Kebanyakan warga yang duduk di area itu merupakan lansia, anak-anak, dan keluarga. Kepada mereka, Mangkunegara X memberikan langsung udik-udik-nya satu per satu ke tangan setiap warga.
Arif Wijoyo (40), warga Laweyan, termasuk salah seorang warga yang bisa mendapatkan udik-udik ketika sedang duduk di area pendapa. Ia sekaligus terkejut. Pasalnya, itu merupakan pengalaman pertama baginya memperoleh udik-udik langsung dari tangan sang raja. Ia merasa kagum.
”Tadi kebetulan lagi gendong anak malah dapat seperti ini. Sangat baik ternyata rajanya (Mangkunegara X). Anak-anak dan orangtua diprioritaskan. Nanti (udik-udik-nya) akan diberikan ke simbah. Kepercayaan orang Jawa, kalau Suro begini, kan, mencari berkah dari Tuhan. Caranya lewat keraton,” kata Arif.
Sementara itu, Liliek menyampaikan, pemberian udik-udik menjadi ungkapan syukur Mangkunegara X dengan cara berbagi rezeki. Ia tak memungkiri jika ada sebagian kalangan yang memercayai benda itu sebagai berkat hingga mampu memberikan keberuntungan. Perihal kepercayaan, ia serahkan kembali kepada setiap warga.
”Kita membagikan rezeki saja seadanya. Ada juga bunga seadanya. Boleh saja kalau uangnya dibelanjakan. Wong ini duit beneran. Tetapi, ada kepercayaan buat menyimpan duit itu. Itu hak mereka kalau mau menyimpan. Monggo,” kata Liliek.