”Tapa Bisu” dan ”Kebo Bule” Refleksi Diri di Malam 1 Sura
Peringatan pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam Satu Sura menjadi momen refleksi diri di Surakarta, Jawa Tengah. Tradisi itu dipertahankan Pura Mangkunegaran dan Keraton Surakarta.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Kala segalanya cenderung berjalan semakin cepat, sebagian orang memilih melambatkan lajunya sembari berefleksi. Cela selama ini ditengok lagi dan ditanggalkan agar menjadi diri yang lebih baik ke depan. Itulah inti dari ritual tapa bisu memperingati pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam Satu Sura yang digelar Surakarta, Jawa Tengah. Gelaran itu tepatnya di Pendapa Ageng, Pura Mangkunegaran, Selasa (18/7/2023) malam, dan di Keraton Sukarakarta, Rabu (19/7/2023) malam.
Sekitar 1.000 orang berjalan dalam satu barisan dari kompleks Pendapa Ageng pada Selasa malam. Seluruhnya mengenakan pakaian Jawa lengkap berwarna hitam. Laki-laki mengenakan beskap, jarik, keris, dan blangkon, sedangkan perempuan berkebaya, jarik, dan rambut tersanggul.
Mereka melaksanakan ritual tapa bisu. Tampak sejumlah tokoh turut dalam barisan, di antaranya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, dan Panglima TNI periode 2015–2017, yaitu Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo.
Pemimpin rombongan, atau cucuking lampah, dalam ritual itu ialah putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IX, yakni Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwo Suryonegoro. Ia didampingi sepupunya, yakni Kanjeng Raden Mas Haryo Roy Rahajasa Yamin, memandu jalannya rombongan yang akan mengitari tembok keraton tersebut. Ada empat pusaka kerajaan yang turut digotong sejumlah abdi dalem, yakni tiga tombak dan tandu.
Dalam laku tersebut, mereka berjalan tanpa alas kaki. Satu sama lain juga tak diperbolehkan berbicara sebelum menyelesaikan prosesi tersebut. Kurang dari satu jam mereka merampungkan ritual dan memasuki lagi area Pura Mangkunegaran.
”Orang kalau sedang lelaku itu kan merenung diri. Jadi, dia tidak boleh bicara. Ini jadi momen mengevaluasi diri. Setahun ini sudah berbuat apa dan bagaimana setelahnya nanti menghadapi tahun depan,” kata Pengageng Wedana Satriya Pura Mangkunegaran, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Liliek Priarso, mengenai esensi ritual tersebut.
Untuk menjamin ”kesenyapan”, pengawal kirab dibekali handy talkie lengkap dengan earphone agar koordinasi yang mereka lakukan tidak berisik. ”Pesan dari Mangkunegara X, acara ini bukan pesta. Ini ritual. Peraturan yang ada di sini harus kita jaga,” kata Liliek.
Ganjar mengapresiasi Pura Mangkunegaran yang masih mempertahankan tradisinya di tengah segala perubahan zaman.
”Mudah-mudahan memasuki 1 Muharam bisa membikin kita semakin semangat. Bisa refleksikan diri dari tahun-tahun sebelumnya. Yang kurang kita perbaiki, yang sudah bagus kita genjot,” ujar Ganjar, yang undur diri di tengah-tengah perjalanan.
Hal serupa disampaikan Gibran yang mengikuti laku tapa bisu sampai selesai. Itu menjadi kali keduanya mengikuti upacara tersebut. ”Ramai orang tetapi masih sangat khidmat. Luar biasa,” katanya.
Rampungnya ritual tapa bisu ditandai penyerahan kembali pusaka dari GPH Paundrakarna kepada Mangkunegara X. Peserta kirab dipersilakan duduk pada kursi yang disediakan untuk selanjutnya saling beramah-tamah.
Sebagai bentuk syukurnya, Mangkunegara X bersama Gibran berbagi udik- udik. Udik-udik merupakan uang logam yang diberikan oleh raja kepada rakyatnya.
Selain koin, isi plastik itu juga berupa uang kertas dengan pecahan antara Rp 5.000 dan Rp 10.000, serta sejumlah kembang. Mangkunegara X juga mendatangi warga yang duduk lesehan di area pendapa. Kebanyakan yang di area itu warga lansia, anak-anak, dan keluarga. Kepada mereka, Mangkunegara X memberikan langsung udik-udik satu per satu ke tangan tiap warga.
Pemimpin Pura Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara X (kedua dari kiri), membagikan udik-udik kepada warga dalam peringatan pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam Satu Sura di Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/7/2023) malam.
Arif Wijoyo (40), warga Laweyan, termasuk salah seorang warga yang bisa mendapatkan udik-udik ketika sedang duduk di area pendapa. Ia terkejut sekaligus kagum karena kali pertama memperoleh udik-udik langsung dari tangan sang raja.
Liliek menyampaikan, pemberian udik-udik menjadi ungkapan syukur Mangkunegara X dengan cara berbagi rezeki.
Kirab Keraton Surakarta
Keraton Surakarta mengadakan kirab pusaka pada Rabu malam. Rombongan kirab diberangkatkan dari Keraton Surakarta pada pukul 00.00. Para peserta kirab terdiri dari kerabat hingga abdi dalem keraton tersebut. Mereka berjalan mengitari tembok luar atau benteng dengan jarak 6-7 kilometer pada ritual tersebut. Seluruhnya mengenakan pakaian Jawa lengkap tanpa alas kaki.
Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta Kanjeng Pangeran Dani Nur Adiningrat menjelaskan, selama ritual, para peserta dilarang berbicara demi menjaga ketenangan dan kekhusyukan. Tujuan gelaran itu untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.
”Harus selalu berkonsentrasi. Intinya ini adalah laku lampah (laku berjalan kaki). Berjalan kaki sekaligus bertirakat di sepertiga malam,” kata Dani saat ditemui, Rabu sore.
Sembari melangkahkan kaki, ungkap Dani, para peserta kirab memanjatkan doa kepada Tuhan dari dalam hati. Mereka memohon keselamatan bagi diri, keluarga, masyarakat, keraton, hingga negara ini. Diharapkan, ketenteraman dan kedamaian yang selama ini hadir akan terus bertahan.
Keistimewaan kirab ini ialah kehadiran ”kebo bule”. Hewan itu kerbau albino yang menjadi kesayangan raja. Sedikitnya lima kerbau disiapkan untuk kirab kali ini. Mereka memimpin kirab dengan berjalan di barisan paling depan.
”Kerbau ini sebenarnya pengiring salah satu pusaka, yaitu Kanjeng Kiai Slamet. Karena itu, banyak masyarakat yang memahaminya Kiai Slamet adalah kerbau, padahal bukan,” kata Dani.
Di sisi lain, Dani menyatakan, keistimewaan lainnya ialah lahirnya satu kerbau pada 19 Juli. Kebetulan hari itu kali ini bertepatan dengan malam pergantian Tahun Baru Jawa. Untuk itu, kabar tersebut disambut sukacita. Lebih-lebih sebelumnya ada serangan wabah penyakit mulut dan kuku yang mengakibatkan sejumlah kerbau mati. Adapun jumlah kerbau peliharaan sekarang ini 15 ekor.
”Itu adalah sinyal yang baik karena di awal tahun menerima rezeki berupa bertambahnya binatang kesayangan raja. Ini doa yang baik sambil berharap tahun depan akan ada kelimpahan rahmat dan rezeki yang luar biasa bagi Keraton Surakarta dan Indonesia,” kata Dani.
Tidak ada masalah sebenarnya soal perbedaan ini. Soalnya kami harus ngemong publik. Kebijakan Mangkunegara IX begitu karena banyak tamu dari luar kota itu patokannya kalender nasional. (Liliek Priarso)
Perbedaan penanggalan
Peringatan Malam Satu Sura yang diadakan Keraton Surakarta berbeda sehari dengan Pura Mangkunegaran. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan yang dipilih setiap keraton.
Dani menjelaskan, penanggalan Jawa yang dipilih Keraton Surakarta ialah Alip Selasa Pon, atau Asopon. Dalam penanggalan tersebut, 1 Sura jatuh pada Kamis (20/7/2023). Oleh karena itu, peringatan pergantian Tahun Ehe 1956 ke Tahun Jimawal 1957 dilaksanakan pada Rabu malam. Pergantian hari dalam kepercayaan masyarakat Jawa dimulai sejak matahari tenggelam.
Secara terpisah, Pengageng Wedana Satriya Pura Mangkunegaran Kanjeng Raden Mas Tumenggung Liliek Priarso menjelaskan, Pura Mangkunegara menggunakan penanggalan Muharam. Untuk itu, pergantian tahunnya sama seperti yang ditetapkan pemerintah. Kirab juga sudah mereka laksanakan lebih dahulu, yakni Selasa malam.
”Tidak ada masalah sebenarnya soal perbedaan ini. Soalnya kami harus ngemong publik. Kebijakan Mangkunegara IX begitu karena banyak tamu dari luar kota itu patokannya kalender nasional,” kata Liliek.