Polisi Sebut Mutilasi di Sleman Terkait Komunitas dengan Aktivitas Tidak Wajar
Polisi menyebut kasus mutilasi terhadap seorang mahasiswa di Sleman berkait dengan komunitas yang melakukan aktivitas tidak wajar. Korban dan dua pelaku mutilasi itu saling mengenal melalui media sosial.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Kepolisian menyatakan, kasus mutilasi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjadi beberapa hari lalu, berkait dengan sebuah komunitas yang melakukan aktivitas tidak wajar. Seorang korban dan dua pelaku mutilasi itu disebut saling mengenal melalui media sosial.
Kasus mutilasi itu terungkap setelah adanya penemuan sejumlah potongan tubuh di Dusun Kelor, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Sleman, pada Rabu (12/7/2023) malam. Beberapa hari kemudian, juga ditemukan potongan tubuh lainnya di sejumlah wilayah di Sleman.
Berdasar hasil identifikasi oleh kepolisian, korban mutilasi itu adalah seorang laki-laki berinisial R (20). Korban yang berasal dari Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, itu merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sementara itu, pelaku mutilasi tersebut adalah dua orang laki-laki, yakni W (29) dan RD (38). W merupakan warga Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sedangkan RD tercatat sebagai warga Jakarta Selatan. W juga diketahui tinggal di tempat indekos di Desa Triharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah DIY Komisaris Besar FX Endriadi mengatakan, kasus mutilasi itu terjadi pada Selasa (11/7/2023) lalu. Adapun tempat kejadian perkara (TKP) kasus itu adalah di tempat indekos W di Desa Triharjo.
Endriadi menyebut, korban dan dua pelaku mutilasi itu saling mengenal melalui media sosial sejak beberapa bulan lalu. Mereka juga tergabung dalam sebuah grup Facebook. Dari perkenalan itu, W lalu mengajak RD datang ke DIY untuk bertemu dengan korban. Ketiganya kemudian bertemu di tempat indekos W.
”Kemudian, karena mereka ini tergabung dalam sebuah komunitas yang mempunyai aktivitas tidak wajar, mereka melakukan kegiatan berupa kekerasan satu sama lain dan ini terjadi berlebihan sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia,” ucap Endriadi dalam konferensi pers, Selasa (18/7/2023), di Sleman.
Mereka melakukan kegiatan berupa kekerasan satu sama lain dan ini terjadi berlebihan sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia.
Endriadi menambahkan, setelah korban meninggal dunia, W dan RD kemudian merasa panik. Keduanya lalu berniat untuk menghilangkan jejak peristiwa itu. ”Setelah korban meninggal dunia, para pelaku ini panik, lalu melakukan upaya pemotongan atau mutilasi,” ujarnya.
Dalam proses mutilasi itu, Endriadi menyebut, pelaku memotong kepala, pergelangan tangan dan kaki, serta bagian tubuh korban lainnya. Pelaku juga merebus pergelangan tangan dan pergelangan kaki korban untuk menghilangkan sidik jari. ”Setelah dipotong-potong, bagian-bagian tubuh tersebut dimasukkan ke dalam plastik,” katanya.
Sesudah itu, pelaku membuang sejumlah bagian tubuh korban ke beberapa lokasi. Pelaku juga mengubur kepala korban di dekat Sungai Krasak di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Sleman.
Endriadi memaparkan, setelah kasus ini mencuat, polisi melakukan pemeriksaan sidik jari terhadap potongan tubuh korban yang ditemukan. Hasil pemeriksaan sidik jari itu kemudian dicocokkan dengan laporan orang hilang yang diterima kepolisian. Dari hasil itu, polisi berhasil mengetahui identitas korban.
Identik 99 persen
”Kami membandingkan persamaan sidik jari yang ditemukan di TKP dengan temuan orang hilang. Ini nilai identiknya 99 persen,” papar Endriadi.
Selain itu, polisi juga meminta keluarga korban untuk melihat sejumlah barang yang ditemukan di TKP, misalnya kaus, celana pendek, dan sandal gunung. ”Oleh keluarga korban, dipastikan barang tersebut adalah barang milik pribadi korban,” ujar Endriadi.
Dia menambahkan, polisi juga akan melakukan pemeriksaan DNA untuk membandingkan DNA korban dengan orangtuanya. Hal ini dilakukan untuk memastikan identitas korban.
Menurut Endriadi, saat mendatangi TKP, polisi juga menemukan sejumlah barang, misalnya ember, talenan, tali, panci, pisau, cangkul, kompor gas, dan tabung gas. Barang-barang itu diduga digunakan oleh pelaku untuk melakukan tindakan kejinya. Sementara itu, dua pelaku akhirnya bisa ditangkap di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (15/7/2023).
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Ajun Komisaris Besar Tri Panungko menyatakan, polisi melakukan pemeriksaan digital forensik terhadap handphone milik pelaku. Di dalam handphone pelaku, ditemukan sejumlah grup Whatsapp, grup Facebook, dan media sosial lain.
Selain itu, polisi juga membentuk tim satgas siber untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan digital forensik terhadap handphone milik korban. ”Kami juga melakukan pemeriksaan psikologi forensik ataupun psikologi klinis terhadap pelaku. Ini tentunya memakan waktu cukup lama,” ujar Tri.
Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Nugroho Arianto menyatakan, dua pelaku itu dijerat dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana.
Selain itu, pelaku juga dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 170 Ayat (2) ke-3 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama yang menyebabkan korban meninggal, serta Pasal 351 Ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Ancaman hukum untuk dua pelaku itu adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.