Anggaran Kurang, ABC Manado Belum Bisa Kembang Biakkan Anoa Gunung
Anoa Breeding Center Manado kesulitan mengembangbiakkan anoa dataran tinggi karena ketiadaan individu jantan dewasa. Inseminasi buatan bisa dilakukan, tetapi anggaran terbatas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Anoa Breeding Center Manado, Sulawesi Utara, kesulitan mengembangbiakkan anoa dataran tinggi karena ketiadaan individu jantan dewasa. Keadaan itu dapat diatasi dengan inseminasi buatan, tetapi terhalang oleh keterbatasan anggaran. Akibatnya, pengetahuan seputar reproduksi spesies tersebut sangat minimal.
Hal ini diungkapkan Heru Setiawan, Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup (BPSILHK) Manado ketika dihubungi pada Selasa (18/7/2023). Lembaga tersebut merupakan pengelola Anoa Breeding Center (ABC) yang dirintis bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut.
”Salah satu target kami di ABC adalah melakukan inseminasi buatan terhadap salah satu anoa kami, namanya Stella. Dia ini anoa dataran tinggi (Bubalusquarlesi) yang belum ada pasangan jantannya,” kata Heru.
Per Minggu (9/7/2023), ABC merawat 10 anoa yang terdiri dari lima jantan dan lima betina. Hanya Stella yang anoa gunung alias dataran tinggi, sedangkan lainnya anoa dataran rendah (Bubalusdepressicornis). Belum diketahui adanya spesies hibrida dari dua spesies tersebut sehingga ABC tidak melakukan pengembangbiakan dengan persilangan.
Pada saat yang sama, Stella telah memasuki masa kedewasaan reproduksi yang biasanya dicapai pada usia 4-5 tahun. ”Takutnya kalau kami enggak kawinkan, terjadi perubahan-perubahan biologis dan perilaku sehingga sangat mendesak untuk kami lakukan inseminasi buatan,” ujar Heru.
Sampel sperma bisa diambil dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan. Menurut catatan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen KSDAE KLHK), ada anoa dataran tinggi jantan bernama Uben yang ditampung di sana.
Akan tetapi, hal itu terkendala pembiayaan. Sejak 2021, rata-rata anggaran tahunan ABC adalah Rp 260 juta. Sebanyak 60 persen dibiayai oleh tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Cargill Indonesia Amurang. Ini mencakup biaya dokter hewan, pawang, serta pembangunan berbagai sarana. Sementara itu, 40 persen sisanya berasal dari APBN, termasuk biaya pakan dari BKSDA Sulut.
Menurut Heru, anggaran itu sudah cukup untuk biaya operasional normal, tetapi sangat kurang jika ABC ingin mengambil langkah-langkah terobosan. Dalam hal inseminasi buatan, bukan hanya teknologi dan peralatan untuk membawa sampel sperma yang diperlukan, melainkan juga peningkatan kapasitas dokter hewan serta studi banding ke lembaga lain yang sudah berhasil melaksanakan metode pengembangbiakan tersebut.
Keperluan ini belum bisa dibiayai baik oleh PT Cargill maupun anggaran BPSILHK Manado yang berasal dari dana daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Dampaknya, hingga kini ABC belum memiliki pengetahuan tentang hal mendasar terkait pengembangbiakan anoa dataran tinggi, misalnya apakah masa buntingnya berkisar 280-310 hari seperti anoa dataran rendah.
Perlakuan khusus selama masa bunting pun belum dapat dirumuskan. Menurut Heru, ini sangat krusial karena selama 2015-2022 terjadi 11 kali kelahiran anoa dataran rendah, tetapi hanya tiga yang lahir dalam keadaan hidup. Penyebab kematian tertinggi adalah distokia atau sungsang, yang diduga diakibatkan kurangnya kontrol kuantitas pakan.
Inseminasi buatan sangat mendesak bagi Stella.
”Ini jadi PR kami. Dari sisi teknologi seharusnya bisa. Kalau itu sudah berhasil, kami istilahnya sudah bisa sombong sedikit karena sudah tuntas tugas kami dalam mengembangbiakkan anoa dataran rendah dan tinggi. Tinggal pelepasliaran saja,” kata Heru.
Sementara itu, Afifah Hasna, dokter hewan di ABC, juga menyebut inseminasi buatan sangat mendesak bagi Stella. Penyilangan (cross-breeding) dengan anoa dataran rendah ia sebut mungkin saja menghasilkan individu hibrida, tetapi kemampuannya untuk bertahan hidup bisa jadi sangat rendah. ”Bisa juga dia tidak bisa beranak lagi setelah itu,” ujarnya.
Untuk itu, ia berharap sampel sperma anoa dataran tinggi dari Makassar bisa segera didatangkan. Cara itu paling ekonomis, termasuk bagi ABC. Sudah ada pula riwayat keberhasilan inseminasi buatan pada 2010 di Taman Safari Indonesia, Bogor, tetapi pada anoa dataran rendah.
”Di sini pun sebenarnya bisa saja kalau kami mau inseminasi buatan di anoa dataran rendah. Tapi, kendalanya di peralatan. Di sini belum ada. Kami sudah sempat mengajukan bantuan dana ke Global Species Management Plan di bawah Asosiasi Kebun Binatang dan Akuarium Dunia, tapi belum ada konfirmasi,” kata Afifah.
Sementara itu, Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masikki mengatakan, salah satu marwah ABC adalah menambah populasi anoa di alam yang menurut daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) tinggal 2.500 ekor. ”Dalam kebijakan KLHK, anoa adalah salah satu satwa prioritas sehingga kami sangat mendukung apa yang dilakukan ABC,” katanya.
Gol besar konservasi anoa pada akhirnya adalah pelepasliaran ke habitat aslinya di hutan-hutan seluruh Sulawesi, yang sayangnya kini juga mulai terdegradasi. Namun, harapan masih ada setelah pada 1 Februari 2023 Ditjen KSDAE melaporkan keberadaan anoa dataran tinggi di Taman Hutan Raya Abdul Latif di Kabupaten Sinjai, Sulsel.
”Kita harapkan anoa di ABC nantinya bisa dikembalikan ke alam. Makanya, dari sekarang kita harus jaga dengan baik. Untuk sekarang, BKSDA Sulut cuma bisa membantu biaya pakan, tetapi mudah-mudahan bisa kita kembangkan lagi,” kata Askhari.
Sementara itu, PT Cargill Indonesia Amurang belum menyatakan rencana spesifik untuk terlibat dalam pengembangbiakan anoa dataran tinggi. Plant manager cabang perusahaan itu, Imelda Tandako, menyatakan, pihaknya terus berkomitmen mendukung ABC dengan menghadirkan dokter hewan, pawang, serta sarana baru, seperti pusat informasi anoa, di kompleks kandang ABC.