Hingga kini, 41 telur maleo yang terkubur dalam tanah dikumpulkan lalu dibawa ke ”hatchery”. Baru sembilan menetas dan dilepasliarkan. Ikhtiar ini diharapkan memulihkan populasi maleo di Cagar Alam Duasudara di Bitung.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Upaya memulihkan populasi burung maleo di wilayah Cagar Alam Duasudara, Bitung, Sulawesi Utara, perlahan menunjukkan hasil positif. Sejak program ini diinisiasi pada 2019 dengan pelepasliaran 11 individu, 9 dari 41 telur maleo yang ditemukan telah menetas.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Bitung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Yakub Ambagau mengatakan, populasi maleo di hutan Cagar Alam Duasudara sangat rendah sebelum 2019. Hanya satu atau dua ekor yang pernah tampak. Kondisi ini diduga dipicu salah satunya oleh kebakaran hutan yang beberapa kali terjadi.
”Di Duasudara juga tidak ada perlakuan khusus terhadap telur maleo sehingga keburu dimangsa biawak. Populasinya terancam punah karena kemungkinan besar mereka inbreeding (reproduksi sekerabat) sehingga daya bertahan hidup anakan yang dihasilkan rendah,” kata Yakub, Senin (21/11/2022), via telepon.
BKSDA Sulut kemudian bekerja sama dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengintroduksi maleo di wilayah Cagar Alam Duasudara pada 2019. Sebanyak 11 ekor maleo didatangkan Cagar Alam Panua di Pohuwato, Gorontalo, untuk dilepasliarkan. PT PLN, melalui Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Minahasa, menggelontorkan dana tanggung jawab sosial korporat (CSR) sebesar Rp 70,4 juta untuk kegiatan ini.
Menurut Yakub, populasi maleo di Cagar Alam Panua jauh lebih besar. Dapat dipastikan individu yang dilepaskan tidak berasal dari induk yang sama sehingga keberagaman genetik maleo di Cagar Alam Duasudara lebih tinggi. ”Harapannya, populasi di situ bisa berkembang lebih baik,” katanya.
Pada 2020, program introduksi maleo ini disempurnakan dengan pembangunan kandang penetasan (hatchery) dengan dana CSR UPDK Minahasa sebesar Rp 80 juta. BKSDA Sulut kemudian menugaskan dua warga setempat untuk menjadi pengelola dan pengumpul telur maleo di tempat yang dinamakan Habitat Peneluran Maleo Rumesung tersebut.
Hingga kini, 41 telur maleo yang terkubur dalam tanah telah berhasil dikumpulkan lalu dibawa ke hatchery. Namun, baru sembilan yang berhasil menetas dan dilepasliarkan. Menurut Yakub, hal ini disebabkan oleh pengelolaan penangkaran maleo yang belum seprofesional tiga penangkaran di bawah pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
”Kami belum punya alat ukur suhu tanah yang bisa digunakan secara kontinu. Ternyata, suhu tanah di Duasudara fluktuatif, tidak bisa stabil di kisaran 33-34 derajat celsius sehingga tingkat keberhasilannya masih rendah. Namun, kami sudah ganti dengan tanah berpasir yang lebih cocok untuk telur maleo,” katanya.
Kendati begitu, Yakub menilai perkembangan ini positif. Penetasan sembilan telur jauh lebih baik ketimbang membiarkan telur maleo dimangsa biawak karena tidak ada perlakuan khusus dari BKSDA Sulut.
Kepala BKSDA Sulut Ashkari Daeng Masikki mengatakan, kemitraan dengan PT PLN terbukti telah berdampak positif bagi pengawetan fauna demi menjaga keanekaragaman hayati di Sulut. ”Ini prestasi yang bagus bagi upaya konservasi yang ada di Cagar Alam Duasudara,” katanya.
Ia ingin maleo nantinya enjadi ikon bagi Kota Bitung yang selama ini telah dikenal sebagai destinasi wisata bagi para pengagum satwa liar endemik Sulawesi. Selain maleo, ada satwa lain seperti monyet hitam sulawesi (Macacanigra), tarsius (Tarsius tarsier), serta bermacam burung paruh bengkok.
Kami berusaha melibatkan masyarakat sekitar karena kami yakin masyarakat sekitar pasti lebih peduli dengan maleo. Kami juga berharap warga yang tadinya memburu maleo bisa beralih ikut melindungi.
Saat ini, Perserikatan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengategorikan maleo dalam bahaya kritis kepunahan (critically endangered). ”Tetapi berkat kemitraan dengan PT PLN, kita bisa menciptakan kembali habitat maleo. Makanya, 2022 ini kita terus menjalin kerja sama dengan PT PLN,” ujar Ashkari.
Pada 2021, UPDK Minahasa PT PLN menggelontorkan Rp 75 juta untuk pembinaan penjagaan telur maleo bagi pengelola serta masyarakat sekitar Cagar Alam Duasudara. Program yang sama dilanjutkan pada 2022 dengan dana Rp 100 juta.
”Kami berusaha melibatkan masyarakat sekitar karna kami yakin masyarakat sekitar pasti lebih peduli dengan maleo. Kami juga berharap warga yang tadinya memburu maleo bisa beralih ikut melindungi,” kata Edo Susanto, Pejabat Lingkungan UPDK Minahasa PT PLN.
Sebelum pergantian tahun, kata Edo, pihaknya berupaya mengucurkan lagi bantuan sebesar Rp 20 juta untuk membiayai penanaman pohon-pohon penghasil pakan maleo, seperti kemiri, nantu, dan pakoba alias jambu hutan. ”Ini bentuk komitmen PT PLN untuk pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Kepala UPDK Minahasa PT PLN Andreas Napitupulu mengatakan, program CSR ini berpengaruh pada predikat Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong.
Pada 2021, unit pembangkitan ini telah memperoleh status Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Artinya, perusahaan telah mengelola lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam undang-undang, misalnya dengan menjaga keanekaragaman hayati, mengelola limbah padat, serta menurunkan emisi.
Andreas pun bertekad mempertahankan capaian ini. ”Karena itu, program CSR ini kami laksanakan secara sistematis dan berkesinambungan sejak 2019. Harapannya, komitmen kami ini bisa mendukung penilaian predikat proper hiaju untuk PLTP Lahendong,” katanya.
Sepanjang Januari-Oktober 2022, empat unit PLTP Lahendong yang terpusat di Tomohon telah memproduksi listrik sebesar 456.746.627 kilowatt jam (kWh). Jika diasumsikan semua listrik yang itu dialirkan ke rumah pelanggan dengan daya 900 volt ampere (VA) dengan tarif 1.352 per kWh, pembangkit tersebut telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp 617,51 miliar.
Kini, PLTP Lahendong menjadi salah satu pembangkit base load, yakni pembangkit yang harus dioperasikan terus-menerus karena biaya pokok produksi yang relatif lebih murah ketimbang pembangkit lain yang berbahan bakar, misalnya, diesel. Pembangkit ini juga diunggulkan karena mampu memangkas emisi karbon dari pembangkit lain.