Kecurangan Zonasi dalam PPDB Menunjukkan Standar Pendidikan Belum Merata
Proses PPDB 2023 masih menuai masalah terkait zonasi. Adanya kecurangan dari orangtua siswa terkait data kependudukan menunjukkan warga masih menilai kualitas pendidikan tidak merata ke semua daerah.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Permasalahan zonasi dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB menunjukkan kualitas semua sekolah belum merata. Kecurangan dalam pendaftaran dengan pemalsuan data kependudukan bisa diantisipasi dengan ketegasan aturan hingga pemerataan kualitas pendidikan.
Pengamat kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Profesor Cecep Darmawan, menyayangkan permasalahan terkait zonasi dalam PPDB masih saja terjadi. Sejumlah orangtua mencoba mengakali sistem dengan memindahkan anaknya, bahkan membuat kartu keluarga palsu, agar bisa di sekolah tertentu.
”Dari sisi regulasi hingga implementasi, (PPDB) belum sepenuhnya bisa menutupi kecurangan-kecurangan. Kalau mau zonasi berjalan dengan baik, harus ada kerja sama berbagai pihak untuk menghadapi orangtua yang menyiasati kepindahan anak,” ujarnya saat dihubungi di Bandung, Minggu (16/7/2023).
Dari laporan aduan masyarakat terkait PPDB yang masuk ke Dinas Pendidikan Jawa Barat, rata-rata permasalahan berasal dari zonasi. Aduan terkait zonasi juga ditujukan kepada pihak pemerintah kota dan kabupaten serta di lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah provinsi.
”Ini akan menjadi evaluasi karena tidak hanya terjadi di Jabar, tetapi juga di seluruh Indonesia. Kami sudah sangat responsif, dari 2.000-an laporan yang masuk, 90 persen sudah diselesaikan. Rata-rata terkait zonasi. Ini belum termasuk yang di kabupaten dan kota karena kami tidak bisa melebihi kewenangan,” ujar Gubernur Jabar Ridwan Kamil sebelumnya.
Menurut Cecep, kondisi ini terjadi karena stereotipe dari masyarakat menganggap sejumlah sekolah lebih unggul dibandingkan yang lain. Ketimpangan fasilitas, metode ajar yang berbeda, dan pengaruh alumni yang dianggap sukses juga membuat masyarakat hanya ingin anaknya menjadi siswa di sekolah tertentu.
”Selama ini masih ada disparitas antarsekolah sehingga membuat orangtua hanya ingin anaknya di sekolah yang dianggap unggulan. Seharusnya tidak ada istilah itu (sekolah unggul) karena semua harus mendapatkan kualitas pendidikan yang sama,” paparnya.
Masalah kecurangan terkait zonasi yang masih ada ini menunjukkan pembangunan yang tidak merata. Sektor pendidikan, lanjut Cecep, sudah seharusnya menjadi perhatian dalam rencana pembangunan dalam tata ruang wilayah.
Masalah zonasi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperhatikan pemetaan sekolah-sekolah yang ada. Jangan asal membangun.
Penataan ruang pendidikan ini, lanjut Cecep, bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat agar bersedia menyekolahkan anaknya di sekolah mana saja. Dia pun menyarankan pemerintah agar mendata sekolah mana yang dianggap unggulan dan menjadi contoh bagi sekolah lainnya.
Saat semua mendapatkan standar pendidikan yang sama, kualitas belajar para siswa juga menjadi lebih baik dan mengikuti standar terbaik di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, lanjut Cecep, masyarakat tidak akan mempermasalahkan zonasi karena merasa pendidikan sudah merata.
”Masalah zonasi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperhatikan pemetaan sekolah-sekolah yang ada. Jangan asal membangun. Sekolah yang di daerah pinggiran harus punya fasilitas yang sama bagusnya dengan di pusat sehingga tidak ada masyarakat yang mengakali kartu keluarga hanya untuk menyekolahkan anaknya,” ujar Cecep.
Kekhawatiran terkait kualitas sekolah ini juga dirasakan Rais (32), warga Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Meskipun saat ini anaknya masih belum sekolah, dia resah karena tidak ada kepastian kualitas pendidikan yang merata.
”Kalau semua sekolah sama standarnya, saya tidak perlu repot memikirkan anak-anak mau sekolah di mana, yang penting cari yang terdekat. Sampai sekarang saya masih melihat sekolah di kota masih lebih bagus dibandingkan di desa, jadi ya mau tidak mau anak saya lebih baik ke kota,” ujarnya.