Misi Mustahil Menyelamatkan Anoa Tanpa Riset
Upaya pelestarian satwa endemik yang terancam punah salah satunya bersandar pada riset. Namun, hal itu kini sulit diterapkan di Anoa Breeding Center, satu-satunya pusat pengembangbiakan anoa di Indonesia.
Afifah Hasna (25), dokter hewan Anoa Breeding Center Manado, sering menyayangkan situasinya saat ini. Gairahnya begitu besar untuk meneliti satwa liar, tetapi kegiatan ilmiah itu tak mungkin lagi ia kerjakan di sana karena, ironisnya, alasan birokratis. ”Aku ini di tempat yang tepat, tetapi bukan di waktu yang tepat,” ujarnya, Rabu (5/7/2023).
Tepat pada 1 Juni 2021, Afifah tiba di Anoa Breeding Center (ABC) untuk mengisi posisi dokter hewan yang sudah sebulan kosong. Tugasnya tak lain adalah merawat dan mendorong pengembangbiakan anoa (Bubalus sp) sesuai marwah ABC selaku satu-satunya pusat pengembangbiakan anoa di Indonesia.
Kala itu, dokter hewan lulusan IPB University itu tak tahu banyak tentang anoa. ”Jujurly, yang aku tahu soal anoa itu sebatas yang ada di Google. Kayak, dia hewan endemik Sulawesi, dilindungi, jumlah populasinya berapa, dan dia udah mau punah,” katanya.
Kendati begitu, Afifah tak khawatir karena nantinya bakal paham lebih banyak. Apalagi, saat itu, secara struktural ABC berada di bawah pengelolaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado. Instansi itu di bawah Kementerian LHK yang tugas utamanya adalah riset.
Namun, dalam kondisi itu pun Afifah masih merasa literatur ilmiah tentang anoa, yang populasinya tinggal 2.500-an ekor di Sulawesi, sangatlah kurang. Puncaknya adalah ketika anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) betina bernama Rita bersalin, belasan hari setelah kedatangan Afifah. Anaknya sulit keluar akibat distokia alias sungsang dan akhirnya mati.
Usut punya usut, dari 11 kebuntingan di ABC antara 2015 dan 2021, hanya tiga yang lahir dengan selamat, sedangkan yang lain mati. Penyebab kematian yang paling utama adalah distokia. Namun, tak ada literatur yang menjelaskan alasannya.
Baca juga: Keragaman Hayati di Kepulauan Wallacea dalam Ancaman
”Yang kita enggak tahu, apakah di alam distokianya setinggi ini juga? Enggak pernah ada yang meneliti. Apakah distokia itu faktor bawaan si anoa dari sananya? Bahkan, hal yang basic ajaenggak ada, kayak gimana kita memprediksi dia bakal distokia? Waktu intervensi, obat bius apa yang dipakai? Metodenya apa? Itu semua belum terstandardisasi,” kata Afifah.
Keadaan makin buruk enam bulan setelah kedatangannya. BP2LHK mengalami perubahan nomenklatur menjadi Balai Penerapan Standar Instrumen LHK (BPSILHK). Tugas dan fungsinya pun berubah dari riset menjadi standardisasi pelestarian lingkungan karena semua tugas penelitian dipindahkan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BPSILHK bahkan harus merelakan satu peneliti yang fokus di anoa untuk pindah ke BRIN. Dua peneliti lainnya harus berganti jabatan menjadi pengendali ekosistem hutan (PEH) karena memilih bertahan sebagai pegawai KLHK. BPSILHK Manado bahkan kehilangan pos anggaran untuk riset yang selama ini nilainya Rp 80 juta-Rp 100 juta.
Akibat perubahan itu, riset tak lagi bisa dilakukan secara institusional di ABC. Kesulitan ini sangat dirasakan Afifah, terutama dalam kaitannya dengan pengembangbiakan. Dari sekian banyak hal, satu yang sangat ia sulit ketahui jawabannya adalah cara deteksi dini kebuntingan anoa. Padahal, itu sangatlah krusial untuk memulai perlakuan khusus selama 9-10 bulan masa bunting.
Baca juga: Anoa Breeding Center Manado Butuh Dokter Hewan dan Pawang Berstatus PNS
”Aku nyoba ambil sampel sitologi atau lendir vaginanya, terus aku lihat di mikroskop. Terus aku coba deteksi dari air seninya pakai berbagai jenis test kit, tetapi hasilnya selalu negatif. Itu bisa dipakai di sapi, tetapi enggak bisa di anoa. Apa jenis hormonnya beda? Kandungan atau kadarnya? Itu yang aku belum tahu sampai sekarang,” kata Afifah.
Riset tentang itu pun butuh biaya sangat besar. ”Kalau mau uji hormon, itu sampelnya harus ambil tiap hari, terus kirim ke laboratorium. Satu kali kirim bisa berapa ratus ribu itu? Itu bisa sepanjang 9-10 bulan anoa bunting. Tetapi dananya sudah tidak ada,” ujarnya.
Dampak keadaan ini terasa pada kebuntingan betina 13 tahun bernama Denok. Karena tak ada literatur tentang metode deteksi dini, Afifah baru mengetahui kebuntingan Denok di tiga bulan terakhir sebelum kelahiran. Perlakuan khusus, seperti pembatasan pakan menjadi 10 kilogram sehari dan pengurangan makanan tambahan, pun tidak berlangsung maksimal.
Akhirnya, Raden, anakan yang dilahirkan Denok, bobotnya mencapai 6,1 kg, di atas batas normal 5 kg. Sekalipun distokia terjadi lagi, Raden bisa lahir dengan selamat melalui operasi caesar yang dilakukan oleh Afifah. Keberhasilan itu pun bukan dituntun oleh riset, melainkan perkiraan praktik baik (best practices) yang dirumuskannya sendiri.
Total anggaran tersebut sudah cukup untuk operasional sehari-hari, tetapi sangat kurang untuk berbuat lebih.
”Masih banyak yang bisa diungkap soal anoa, tetapi belum tereksplorasi maksimal. Makanya, Pak Heru (Heru Setiawan, Kepala BPSILHK Manado), sering bilang, aku bisa ngajuingrant (pembiayaan) riset ke lembaga luar, tetapi kalau bisa yang peralihan dananya bisa ke rekening personal, seakan-akan aku orang luar yang penelitian di sini. Enggak bisa kalau masuk rekening institusi,” kata Afifah.
Heru pun tak memungkiri betapa pentingnya riset untuk merumuskan praktik baik dalam pengembangbiakan anoa. Saat ini, anggaran ABC hanya Rp 260 juta per tahun. Sebanyak 60 persen, yang berasal dari dana tanggung jawab sosial korporat PT Cargill Indonesia Amurang, dialokasikan untuk gaji Afifah dan pawang anoa.
”Sementara yang 40 persen itu untuk operasional, pemeliharaan kandang, dan obat-obatan. Itu dari dana DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran). Kalau pakan, itu dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sulut. Tetapi untuk riset, kita sudahenggak bisa,” katanya.
Heru menilai total anggaran tersebut sudah cukup untuk operasional sehari-hari, tetapi sangat kurang untuk berbuat lebih. Contohnya, BPSILHK Manado belum bisa melakukan inseminasi buatan untuk mendorong kebuntingan satu-satunya anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) betina bernama Stella.
Baca juga: Habitat Terganggu, Anoa Berkeliaran di Lokasi Perusahaan Tambang di Konawe
Karena riset bukan lagi bagian tugas dan fungsinya, kata Heru, BPSILHK Manado hanya bisa mendorong ”riset-riset kecil” untuk menentukan standar perlakuan terhadap anoa sehingga bisa diterapkan di pusat-pusat konservasi lain yang memelihara anoa. Ini mencakup prosedur pengawinan anoa, pemberian pakan selama bunting, prosedur operasi caesar, jenis tapakan kandang, pencegahan penyakit, dan sebagainya.
Demi menyempurnakannya, Heru berharap banyak instansi yang terjun dalam riset soal anoa, seperti BRIN dan perguruan tinggi. ”Tiap tahun kita menerima mahasiswa juga yang riset terkait anoa lewat program Kampus Merdeka. Beberapa waktu lalu ada juga peneliti dari Universitas Indonesia yang meneliti darah anoa. Dari Universitas Sam Ratulangi juga ada,” katanya.
Wildlife Detection Dog North Sulawesi Team Leader di Wildlife Conservation Society (WCS), Recaroline Tasirin, memahami pemusatan kegiatan riset ke BRIN sebagai upaya pemerintah untuk memudahkan proses birokratis penelitian. Namun, langkah ini justru menyulitkan ABC untuk berkembang. Tanpa basis riset yang cukup, pengelola ABC akan sulit mengambil beragam keputusan yang tak bisa ditunda-tunda lagi demi kesejahteraan anoa.
Pemusatan riset pun rentan membuat anoa semakin terlupakan karena Indonesia memiliki beragam satwa liar yang dinilai ”lebih seksi”, seperti orangutan dan harimau, ketimbang kura-kura hutan sulawesi, ikan napoleon, dan tentunya anoa. Pendanaan riset pun bisa jadi timpang antara satwa yang satu dan yang lain.
Lembaga yang melakukan penelitian anoa harus membuat rencana matang untuk sederet pendataan.
”Memang kalau (lembaga) penelitiannya terpusat, dananya berpotensi terbagi lebih merata. Tapi siapa yang memutuskan pembagian dana ini? Apa faktor yang menentukan dana mengalir ke mana? Selama ini, biasanya organisasi-organisasi konservasi melobi langsung penyedia dana dengan proposal dan program-program. Setelah riset dipusatkan di BRIN, lobi-lobi ini tidak hilang. Apa itu akan lebih bagus atau lebih buruk?” kata Recaroline.
Di sisi lain, meneliti anoa bukanlah hal yang mudah dan murah, terutama di habitat aslinya. Sebab, anoa tinggal di medan yang sulit dijangkau, hidup soliter, dan juga bersifat agresif. Satu-satunya cara paling efektif untuk mengamatinya adalah dengan jebakan kamera (camera trap). Hal itu pula yang menyebabkan minimnya riset tentang anoa.
”Lembaga yang melakukan penelitian anoa harus membuat rencana matang untuk sederet pendataan. Ini bukan data yang bisa diambil di Jumat, Sabtu, Minggu, dan tentunya bukan proyek dengan dana kecil,” ujar Dea.
Untuk sementara, Heru mengaku bersyukur punya dokter hewan seperti Afifah yang tak hanya menyukai riset, tetapi juga punya inisiatif untuk melaksanakannya secara mandiri. Namun, ia tahu suatu saat Afifah akan pergi dari ABC untuk mengembangkan diri, entah untuk bekerja di tempat lain atau untuk melanjutkan pendidikan.
Karena itu, BPSILHK Manado telah melakukan analisis beban kerja lalu mengajukan permohonan formasi pegawai negeri sipil (PNS) untuk dokter hewan dan pawang anoa. Heru yakin, upaya pengembangan kapasitas bagi mereka akan lebih mudah dilakukan dan efeknya berkepanjangan.
”Banyak sekali tawaran short course dan pelatihan-pelatihan untuk dokter hewan. Tetapi melihat status dokter di ABC yang bukan ASN, lembaga penyelenggara pelatihan juga tidak mau karena takutnya habis pelatihan malah resign. Jadi, ini salah satu usaha kita agar ada dokter hewan yang berstatus PNS,” katanya.
Sementara itu, Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masikki mendukung inisiatif BPSILHK Manado untuk mendapatkan alokasi posisi dokter hewan dan pawang berstatus PNS di ABC. Dengan demikian, pelayanan publik dalam bentuk pelestarian anoa akan menjadi lebih baik.
Tujuannya hanya satu, yaitu menjaga keberadaan ABC sebagai pusat pengembangbiakan anoa demi menambah populasinya di alam serta pusat edukasi masyarakat. ”ABC ini aset daerah dan nasional. Kita enggak mau sampai anoa hilang. Jadi, kami berkomitmen mempertahankannya,” katanya.
Baca juga: Raden Si Anoa Menang Melawan Maut