Melindungi Wilayah Adat, Menyelamatkan Kehidupan
Pengakuan dan perlindungan wilayah adat memberi kepastian wilayah kelola masyarakat adat. Mereka pun tetap bisa menjaga alam sebagai ”ruang” hidup bersama dan mengoptimalkan potensi yang ada dengan bijaksana.
Bandi (80) atau akrab disapa Apai Janggut, Pemimpin Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menyusuri hutan adat di Sungai Utik, Senin (26/6/2023). Beberapa saat kemudian, Apai Janggut menepi, lalu memetik sehelai daun, kemudian menggosoknya.
”Kami menyebutnya daun ndak betuk untuk mengobati luka bakar. Gosok daunnya, lalu oleskan,” ujar Apai Janggut sembari mempraktikkan penggunaannya.
Beberapa saat kemudian, Apai Janggut kembali memetik sehelai daun yang bisa dipergunakan sebagai obat saat terkena sengatan lebah. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama daun akar kubal.
”Gosokkan getahnya pada bagian tubuh yang tersengat lebah,” ucapnya lagi.
Langkah Apai Janggut berlanjut menyusuri jalan setapak di tengah rimbunnya pepohonan. Beberapa saat kemudian, langkah Apai terhenti. Tangannya menunjuk ke arah tanaman yang disebutnya daun engkerebai (Srylocoryne Spp).
Daun tersebut biasanya dipergunakan para penenun di Rumah Panjang Sungai Utik sebagai pewarna alami untuk tenun. Tak hanya itu, berdasarkan pengalaman masyarakat turun-temurun, daun engkerebai ternyata bisa untuk obat malaria. Saat daunnya dimakan serasa pahit.
Di situ juga dijumpai tanaman yang disebut masyarakat setempat dengan nama akar tengang untuk obat sakit pinggang. Air dari akar tengang diminum untuk obat sakit pinggang. Akar tengang berdiameter 8-10 cm.
Bahkan, terdapat beragam buah lokal, seperti durian (Durio zibethinus), pekawai (Durio kutejensis), dan mentawa (Artocarpus anisophyllus). Pohon ulin atau belian (Eusideroxylon zwageri) dan rotan (Calamus axillaris) juga masih dijumpai. Kemudian terdapat buah mawang (Mangifera pajang Kostermans) sebanyak 164 pohon di wilayah adat menua Sungai Utik.
Beragam pangan lokal juga bisa dijumpai di hutan Sungai Utik, antara lain pakis (Pteridophyta), rebung (Dendrocalamus asper), dan beragam jamur sebagai salah satu sumber ketahanan pangan. Sumber ketahanan pangan juga dari budaya berladang.
”Beras hasil berladang bisa mencukupi kebutuhan setahun lebih. Selain padi, kami juga menanam beragam sayur. Selain dikonsumsi, sayur juga dijual,” ujar Helena Maria Cerembang (47), salah satu peladang di Sungai Utik.
Saat pandemi Covid-19, pangan mereka juga tetap terpenuhi. Di sana juga terdapat tengkawang sekitar 2.000 batang, salah satunya jenis Shorea stenoptera. Pohon itu termasuk keluarga Dipterocarpaceae atau meranti-merantian. Buahnya diolah menjadi lemak nabati.
Luas wilayah adat Sungai Utik 10.048 hektar, dengan 9.480 hektar di antaranya merupakan hutan adat. Keberadaan biodiversitas di dalamnya juga dapat memberikan sumbangsih bagi ruang penelitian sebagai ”laboratorium alam”.
Hal itu juga tidak terlepas dari kearifan lokal masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam menjaga kelestarian alam turun-temurun. Bahkan, hingga kini mereka kerap menanami hutan dengan beragam potensi yang ada dan pohon yang langkah, misalnya ulin. Dengan menjaga alam, mereka turut merawat kehidupan.
Hutan adat di Sungai Utik memiliki beberapa fungsi. Fungsi pertama disebut Kampung Taroh atau semacam hutan lindung. Di kawasan itu, masyarakat boleh mengambil rotan dan obat-obatan alam. Kemudian, Kampung Galau, berfungsi seperti hutan cadangan, yakni pada waktu sangat dibutuhkan, warga boleh mengambil satu atau dua pohon di kawasan itu.
Ketiga, Kampung Endor Kerja yang berfungsi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Dalam Endor Kerja, jika satu pohon dipergunakan, harus diganti dengan menanam dua pohon.
Jumlah masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sekitar 281 orang. Mereka ada yang tinggal di rumah tunggal dan ada pula yang tinggal di Rumah Panjang yang membentang sepanjang 168 meter yang berdiri sejak 1978. Di Rumah Panjang, mereka tinggal di 28 bilik. Di Rumah Panjang pula mereka merawat identitas dan warisan budaya turun-temurun, seperti tenun dan kerajinan anyaman.
Seda (80), salah satu penenun di Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik, misalnya, Selasa (27/3/2023), sedang menenun untuk membuat selendang. Ia mulai menenun sejak beranjak dewasa hingga kini menapaki usia 80 tahun. Ada beberapa jenis tenun yang ia buat, misalnya sidan, ikat, sungkit, pileh, subak, dan pileh selam.
Kelestarian hutan bagian terpenting juga untuk keberlangsungan tenun. Sumber pewarnaan alami berasal dari hutan. Ia menggunakan pewarna alami yang bersumber dari daun dan akar tumbuhan. Bahan baku kerajinan anyaman juga didapat dari hutan.
Pengakuan dan perlindungan
Didasari pentingnya masyarakat adat dan wilayah adat, baik alam, beragam kebudayaan, maupun biodiversitas yang dirawat masyarakat adat sejak ratusan tahun tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kabupaten Kapuas Hulu dan sejumlah lembaga mendorong pembentukan peraturan daerah (perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Perjuangan membuahkan hasil dengan terbitnya Perda Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Kapuas Hulu.
Pengakuan dan perlindungan juga kian kuat dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kapuas Hulu Nomor 561 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Setahun setelah itu, tahun 2020, terbit pula SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Hutan Adat Menua Sungai Utik.
Ketua AMAN Kabupaten Kapuas Hulu Herkulanus Sutomo Manna menuturkan, pentingnya pengakuan melalui perda dan SK tersebut untuk memastikan hak kelola masyarakat, bahwa wilayah adat itu milik mereka. Dengan demikian, batas-batas wilayah adat juga menjadi jelas.
”Posisi tawar masyarakat adat pun menjadi lebih kuat secara hukum. Kami juga sebetulnya membantu negara menyelesaikan konflik, baik vertikal maupun horizontal,” ujar Tomo.
Selain itu, masyarakat merasa aman ketika sudah ada penetapan. Apalagi ketika sudah ada SK Pengakuan Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah adat Sungai Utik sudah masuk dalam peta tata ruang sehingga tidak mudah diintervensi secara sepihak.
Selain itu, masyarakat adat juga bisa membuat perencanaan usaha guna mengoptimalkan potensi yang ada karena wilayah kelolanya sudah jelas. Ketika memiliki payung hukum, masyarakat memiliki kedaulatan dan keleluasaan mengelola wilayah adatnya sehingga bisa berkreativitas.
Hasil alam jenis buah-buahan perlahan mulai diolah. Buah tengkawang diolah menjadi lemak tengkawang dengan harga Rp 100.000 per kilogram. Buah mawang diolah menjadi selai dan sirop. Usaha-usaha tersebut dikelola Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). BUMMA juga membeli barang-barang yang diproduksi komunitas, misalnya tenunan dan anyaman. Potensi lain di daerah tersebut adalah ekowisata.
Proses transfer pengetahuan kearifan lokal kepada generasi muda juga berjalan melalui sekolah adat. Meskipun transfer pengetahuan itu dilakukan dalam keseharian, dengan adanya sekolah adat diharapkan transfer pengetahuan kearifan lokal bisa lebih cepat, terarah, dan efektif.
Sekolah adat mengajarkan beberapa materi, antara lain cara berladang, makanan tradisional, anyaman, tenun, dan sastra. Selain itu, juga permainan tradisional, musik tradisional, hukum adat, dan ritual. Pengajar dari para tetua Sungai Utik yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang tersebut.
Tongkat estafet kepada generasi muda untuk pengembangan usaha di BUMMA pun dipersiapkan. Akhir Juni lalu, di Sungai Utik dilaksanakan lokakarya bagi generasi muda dari tiga desa dan tujuh kampung di Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka merupakan siswa SMP, ada juga mahasiswa, dan generasi muda setempat yang baru lulus kuliah.
”Mereka mulai dikader melalui pelatihan sehingga siap ketika menerima tongkat estafet, misalnya pengembangan usaha-usaha di BUMMA. Mereka dilatih menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan di komunitas,” ujar Furbertus Ipur dari Lembaga Pemberdayaan Gerakan Rakyat (Elpagar) yang diundang AMAN Kapuas Hulu sebagai fasilitator lokakarya tersebut.
Kegiatan itu juga memberikan penguatan-penguatan kepada generasi muda agar tidak tercerabut dari akat budayanya di tengah arus perubahan dalam teknologi, corak politik, dan persaingan usaha saat ini.
”Kegiatannya menarik. Kami diperkenalkan dengan apa itu BUMMA dan sekolah adat. Sekarang tinggal bagaimana pengembangannya, termasuk pengembangan materi sekolah adat,” tutur Anjela (23), salah satu generasi muda Sungai Utik.
Di Kabupaten Kapuas Hulu sudah ada sembilan SK Bupati Kapuas Hulu tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Salah satu penerima SK tersebut adalah masyarakat adat Sungai Utik.
Sementara delapan SK Bupati Kapuas Hulu diberikan kepada Menua Kulan (Desa Batu Lintang/Kecamatan Embaloh Hulu), Menua Ungak (Desa Langan Baru/Kecamatan Embaloh Hulu), dan Menua Kelayam (Desa Menua Sadap/Kecamatan Embaloh Hulu). Selain itu, Nanga Danau, Nanga Tubuk, dan Rantau Kalis (Kecamatan Kalis). Kemudian, Ketemenggungan Punan Uheng Kereho (Tiga Desa dan Enam Dusun) Kecamatan Putussibau Selatan. Lalu, Punan Hovongan (Desa Tanjung Lokang/Kecamatan Putussibau Selatan) Ketemenggungan Punan Hovongan.
Sungai Utik satu-satunya di Kapuas Hulu yang sudah menerima dua SK, yaitu SK Bupati Kapuas Hulu tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta SK Pengakuan Hutan Adat dari KLHK. Sementara delapan daerah lain baru menerima SK Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dari Bupati Kapuas Hulu dan sedang dalam proses pengusulan untuk mendapatkan SK Pengakuan Hutan Adat dari KLHK.
Upaya perlindungan itu terus dilakukan mengingat ancaman ekspansi usaha korporasi masih dirasakan oleh sejumlah masyarakat adat. Namun, dengan SK pengakuan dari bupati yang telah dimiliki saat ini, setidaknya posisi tawar mereka sudah lebih kuat.
Masyarakat Adat Dayak Kalis di Desa Nanga Danau, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Teddy Winardi (60), menyebutkan, wilayah adatnya sudah mendapatkan SK Bupati Kapuas Hulu tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tahun 2021. Dengan adanya SK tersebut, masyarakat memiliki kekuatan hukum karena diakui.
”Korporasi tidak bisa masuk begitu saja. Wilayah adat di desa kami sekitar 2.000 hektar. Jumlah masyarakat adatnya 500 lebih,” ucap Teddy.
Ia melanjutkan, ancaman ekspansi korporasi masih ada. Mereka diam-diam ingin memasukkan investasi di wilayah tersebut, tetapi ditolak masyarakat adat. Sebab, jika hutan hilang sementara masyarakat tidak memiliki keahlian dalam bidang investasi yang ditawarkan korporasi, masyarakat hanya akan menjadi ”penonton”.
Masyarakat Adat Dayak Kalis, Nanga Danau, terus berupaya melindungi wilayah adatnya agar semakin kuat secara hukum dengan mengajukan SK Pengakuan Hutan Adat kepada KLHK yang kini sedang berproses. Luas hutan adat yang diusulkan kepada KLHK untuk mendapatkan SK sekitar 400 hektar.
Hutan adat di daerah tersebut memiliki beragam biodiversitas, misalnya pohon damar (Agathis dammara). Selain itu, ada gaharu (Aquilaria malaccensis) dengan harga Rp 40.000 per kilogram. Ada juga jenis gaharu yang harganya mencapai Rp 1 juta. Di sungainya terdapat beragam ikan. Buah-buah lokal pun masih ada di dalam hutan. Sekarang mereka menginisiasi penanaman pinang (Areca catechu) untuk menambah biodiversitas.
Jika mendapatkan SK Pengakuan Hutan Adat dari KLHK, diharapkan memiliki dasar hukum yang lebih kuat lagi untuk mempertahankan wilayah adat. Selain itu, masyarakat juga bisa mengoptimalkan potensi untuk kesejahteraan secara mandiri.
Di lokasi lain, Yohanes Sungkin (59), Temenggung Punan Uheng Kereho yang meliputi tiga desa dan enam dusun di Kecamatan Putussibau Selatan, menuturkan, wilayah ketemenggungannya telah mendapatkan SK Bupati Kapuas Hulu tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tahun 2021. SK tersebut sangat berarti.
”Dengan SK tersebut, ada niat baik pemerintah memberikan kewenangan kepada kami (masyarakat adat) untuk mengatur wilayah masing-masing. Jumlah masyarakat adat di wilayah kami sekitar 2.000 dengan luas wilayah adat 217.000 hektar,” ujar Yohanes.
Korporasi tidak bisa masuk begitu saja. Wilayah adat di desa kami sekitar 2.000 hektar. Jumlah masyarakat adatnya 500 lebih.
Meskipun demikian, ancaman masuknya investasi masih dirasakan. Upaya negosiasi dari korporasi masih ada, hanya masyarakat menolak. Sekarang, dengan adanya SK pengakuan dari bupati, posisi masyarakat untuk mempertahankan wilayah adat setidaknya lebih kuat.
”Sebelum ada SK pengakuan dari bupati, korporasi langsung menggarap lahan. Sekarang tidak bisa langsung seperti itu. Posisi tawar masyarakat kini lebih kuat,” kata Yohanes.
Untuk lebih memperkuat perlindungan, masyarakat adat di ketemenggungan tersebut juga dalam proses mengajukan SK Pengakuan Hutan Adat kepada KLHK. Sekarang masih menunggu verifikasi.
Perlindungan secara hukum terus diupayakan karena wilayah adat mereka memiliki beragam potensi yang bisa dioptimalkan untuk mendongkrak kesejahteraan. Potensi yang ada di wilayah adat tersebut antara lain tumbuhan obat, kayu untuk bangunan, buah-buahan lokal, dan juga lokasi berladang sebagai sumber diversifikasi serta ketahanan pangan. Kekayaan alam itu bisa dimanfaatkan ataupun diolah baik secara kelompok maupun individu.
Wakil Bupati Kapuas Hulu Wahyudi Hidayat menuturkan, pengakuan wilayah adat dan masyarakat adat sangat penting. Dengan pengakuan berarti memberi kepastian hukum terhadap masyarakat adat. Di samping itu, menjaga kelestarian hutan karena masyarakat juga berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah tetap mendorong selama hal itu baik bagi masyarakat adat. Apa yang diperlukan oleh masyarakat adat pihaknya siap membantu baik berupa pengakuan maupun berdiskusi dengan pihak luar termasuk KLHK.
“Masyarakat adat sangat berarti bagi kami. Kami (pemerintah) tidak mampu menjaga alam sendirian sehingga peran masyarakat adat menjaga alam sangat berkontribusi besar bagi pembangunan,” lanjutnya.
Dengan adanya Perda dan SK Bupati Kapuas Hulu tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, paling tidak mereka bisa berinovasi. Selain itu, mereka bisa mengelola potensi yang ada untuk mendongkrak ekonomi.
”Bagi masyarakat hukum adat lainnya yang ingin mengusulkan SK, baik di kabupaten maupun ke KLHK, dipersilakan untuk duduk bersama dan berdiskusi. Intinya, silakan berkomunikasi dengan kami. Kami siap mendukung dan mendampingi,” ujarnya lagi.